REVOLUSI
yang evolusioner. Itulah istilah yang dipilih Cak Nun untuk
menggambarkan Indonesia beberapa waktu ke depan, ialah sebuah perubahan
total yang diperhitungkan secara matang dan bertahap, tidak sakdek saknyet. Kalau di Kenduri Cinta ada istilah Bangsa Penunggu Maghrib, tidak demikian dengan orang Maiyah. Orang-orang yang datang ke Padhang Mbulan atau forum-forum maiyahan lainnya dengan keistiqamahannya
masing-masing adalah manusia yang sedang mengerjakan maghrib,
melewatinya untuk kemudian bertemu dengan sunyinya malam tempat segala
kontemplasi, tafakur, dan tadabur nyaman ditumpahkan.
Ketika esok menjelang, orang Maiyah akan memperoleh fajar dan matahari
baru untuk sebuah kehidupan yang jauh lebih baik.
Terkait hal itulah, kalau kemudian beberapa waktu ke depan (paling tidak tahun depan jika Allah mengizinkan) akan terjadi kejadian-kejadian besar, kejatuhan-kejatuhan, ataupun mungkin kematian-kematian, hal itu diharapkan dipandu langsung oleh Allah sebagai bagian dari rahmat Allah untuk Bangsa Indonesia. Artinya, orang Maiyah bukan berarti tidak melakukan apa-apa ketika hal itu benar-benar terjadi. Keikhlasan datang ke Padhang Mbulan atau tempat-tempat lainnya dengan niat kejernihan dan kesejatian seperti diungkapkan diatas itulah “setoran-setoran” yang sedikit banyak akan memengaruhi segala hal yang akan terjadi atas Indonesia.
“Opo awakmu gak melok?” pertanyaan Cak Nun retoris,”Lho, ngene iki tok wis melok. Anda hanya datang ke sini sudah merupakan keikutsertaan terhadap semua itu. Kalau suatu hari nanti ternyata dibutuhkan, Anda sudah siap dan stand by. Tapi semoga saja tidak perlu. Awakmu ngene iki tok wis cukup. Yang penting anak istrimu dijaga, keluargamu diuri-uri temenan, ibadahmu ojo nemen-nemen bogange.” nasehat Cak Nun lebih lanjut.
Cak Nun memang Cak Nun. Hanya berangkat dari nasehat Ibadahmu ojo nemen-nemen bogange saja sudah mampu menyeret jamaah pada bahasan yang tidak hanya luas, namun penuh makna. Ia mengaku, tidak mungkin memberikan nasehat kepada jamaah agar sregep dalam beribadah, paling banter yang bisa dipesankan adalah agar ibadah tidak terlalu diabaikan. Sebab, setiap zaman memiliki keunggulan dan kelebihannya masing-masing. Ditengah hiruk-pikuk dan gegap-gempitanya zaman modern, tak mungkin jika manusia modern mampu beribadah sebagaimana para pendahulunya. Menurut Cak Nun, manusia zaman sekarang sangat tidak bisa diandalkan, berbeda manusia masa lalu yang beribadah tidak hanya intens, tapi mampu melakukan ritual-ritual ibadah yang sangat luar biasa.
“Biyen mbah-mbah iku moco Al Waqi’ah 700 iku kuat, saiki jajal awakmu kuat opo ora? Mendanio entek kopi piro moco waqi’ah ping 700,” guyonan Cak Nun disambut tawa para jama’ah,” Jadi Tuhan tidak mungkin akan menagih Anda beribadah sebagaimana Sunan Kalijogo, sebagaimana Syaikhona Kholil, Imam lapeo, Mbah Khamid, Mbah Ud, Mbah Sahlan, dan lain sebagainya. Anda tidak mungkin akan dituntut seperti mereka. Jadi yo, sak kuat-kuate....”
Cak Nun kemudian membagikan “ilmu” dari maiyahan di Monumen Serangan Umum 1 Maret Yogjakarta. Bahwa sejatinya kewajiban ibadah, baik berupa shalat, puasa, dan jenis-jenis ibadah mahdlah maupun mu’amalah lainnya yang dibebankan kepada manusia menyulutkan ketidak-senangan dan ketidak-enakan. Justru Tuhan memberikan kewajiban itu lantaran manusia memang tidak senang. Dan tidak masalah jika mereka tidak menyembunyikannya dan melahirkan ke permukaan. Rumusnya menurut Cak Nun sederhana, tanda orang dewasa dan memiliki kemuliaan adalah orang yang sanggup dan bersedia secara ikhlas melakukan apa yang tidak disukai, dan tidak melakukan apa yang disukai.
“Awakmu gak seneng sembahyang, tapi ikhlas sembahyang. Jadi, kamu bersedia secara ikhlas melakukan kewajiban yang aslinya tidak engkau senangi, mulane derajatmu mulyo ndek ngarepe Gusti Allah. Nek awakmu nglakoni sing kok senengi iku istimewane opo..... ”
“Dadi awakmu gak usah wedi nek gak seneng. Anggitmu tentara baris iku seneng ta. Hanya karena ia tentaralah, yang membuat ia bersedia melakukan kewajiban itu. Kamu tidak usah berpura-pura senang dengan kewajiban-kewajiban yang dibebankan Allah atasmu, sementara hatimu sejatinya tidak senang dengan semua itu. Katakan saja apa adanya. Ini transparansi namanya. Yang penting, dalam ketidaksenanganmu itu, engkau berjuang secara ikhlas untuk melakukan semua itu demi menghamba kepada Tuhan pencipta hidupmu. Itulah kemuliaan.”
Begitulah, sesuatu yang sebelumnya tak pernah terpikirkan dan berlalu begitu saja dalam lalu lintas kehidupan, ditafsiri secara gamblang oleh Cak Nun sehingga memutikkan hikmah dan pemahaman baru di kalangan para jamaah. Bahkan lebih jauh Cak Nun menuturkan, ketidak-senangan itu tak hanya berlaku di wilayah-wilayah ibadah mahdlah, dalam ibadah mu’amalah pun tak bisa dinafikan. Misalnya saja dalam hubungan suami-istri. Kesenangan-kesenangan hidup berumah-tangga mungkin hanya berlaku dalam tahun-tahun awal pernikahan. Ketika perkawinan memiliki bilangan usia yang tak lagi sedikit, ketidaksenangan-ketidaksenangan itu akan semakin mengendap ke permukaan dari tahun ke tahun. Dan kemuliaan suami istri adalah, dalam ketidaksenangan itulah mereka sanggup melalui dan melewatinya secara ikhlas sampai akhir hayat.
Demikianlah pengajian di Maiyah, segalanya dikupas secara luas dan mendalam. Jamaah yang hadir pun kian serius, meskipun kerapkali tergelak ketika menyimak penuturan-penuturan Cak Nun yang tak hanya bermakna, tapi juga menyegarkan.
Lebih luas Cak Nun kemudian mengkritisi fenomena yang berkembang di masyarakat dalam kurun waktu terakhir, ialah merebaknya status-status atau label-label islam. Parahnya, yang “laku” di kalangan masyarakat adalah hal tersebut. Tak pelak, Islam pada akhirnya berhenti hanya sebagai label tanpa memperdulikan substansi. Hal itu berlangsung hampir di semua wilayah dalam kehidupan. Dari soal musik dikenal ada musik islami, lembaga pendidikan yang laku di masyarakat adalah lembaga yang ada AL-nya (SDIT Al-Huda, TK Al-Hidayah, dlsb). Gara-gara itulah, kemudian ada orang non islam yang membikin lembaga sekolah sengaja diberi nama AL agar diminati masyarakat.
Menurut Cak Nun, hal itu tidak sepenuhnya salah. Namun keadaan tersebut akan merugikan islam secara strategis. Secara sederhana Cak Nun memberikan analog, ibarat warung, islam adalah bahan-bahan makanan yang akan diolah, sekaligus cara memasaknya. Begitu beralih-rupa menjadi hidangan yang siap dimakan, islam tak usah diperlihatkan karena yang terutama adalah kesehatan dan kemaslahatan. Ketika islam ditunjukkan, hal itulah yang menyebabkan orang lain memberikan kemasan-kemasan dengan label yang penting islam. Padahal secara substansi tidak sesuai, bahkan mungkin bertolak-belakang dengan ajaran-ajaran islam.
Masih tentang islam, Cak Nun lantas menuturkan bahwa islam atau tidak islamnya seseorang, tak bisa dilakukan oleh orang lain, kecuali oleh dirinya sendiri. Maka, adalah hal yang aneh jika kemudian ada orang diislamkan oleh Kiai A atau Kiai B. Sebab sejatinya, tanpa diketahui oleh seorang manusia sekalipun, ketika secara sungguh-sungguh manusia berikrar bersyahadat mengakui Tuhan dalam setiap relung kehidupannya, sudah islamlah ia. Itu pulalah yang membuat Cak Nun bersedia ketika dimintai tolong oleh seorang tokoh Hindu di Bali yang ingin pergi ke Mekkah. Sebab menurutnya, hati si Tokoh tersebut sudah sangat bertauhid. Hanya lantaran dibesarkan di lingkungan Hindulah yang kemudian membuatnya seperti sekarang.
Pengajian malam itu kian malam kian gayeng. Cak Nun kemudian menutup uraian pengantarnya itu dengan menuturkan sebagaimana di awal, bahwa kehadiran jamaah di Padhang Mbulan bukanlah sesuatu yang tidak berguna. Karena hal itu akan merangsang rahmat Allah bagi masa depan bangsa Indonesia dalam waktu yang tidak terlalu lama(*)
Terkait hal itulah, kalau kemudian beberapa waktu ke depan (paling tidak tahun depan jika Allah mengizinkan) akan terjadi kejadian-kejadian besar, kejatuhan-kejatuhan, ataupun mungkin kematian-kematian, hal itu diharapkan dipandu langsung oleh Allah sebagai bagian dari rahmat Allah untuk Bangsa Indonesia. Artinya, orang Maiyah bukan berarti tidak melakukan apa-apa ketika hal itu benar-benar terjadi. Keikhlasan datang ke Padhang Mbulan atau tempat-tempat lainnya dengan niat kejernihan dan kesejatian seperti diungkapkan diatas itulah “setoran-setoran” yang sedikit banyak akan memengaruhi segala hal yang akan terjadi atas Indonesia.
“Opo awakmu gak melok?” pertanyaan Cak Nun retoris,”Lho, ngene iki tok wis melok. Anda hanya datang ke sini sudah merupakan keikutsertaan terhadap semua itu. Kalau suatu hari nanti ternyata dibutuhkan, Anda sudah siap dan stand by. Tapi semoga saja tidak perlu. Awakmu ngene iki tok wis cukup. Yang penting anak istrimu dijaga, keluargamu diuri-uri temenan, ibadahmu ojo nemen-nemen bogange.” nasehat Cak Nun lebih lanjut.
Cak Nun memang Cak Nun. Hanya berangkat dari nasehat Ibadahmu ojo nemen-nemen bogange saja sudah mampu menyeret jamaah pada bahasan yang tidak hanya luas, namun penuh makna. Ia mengaku, tidak mungkin memberikan nasehat kepada jamaah agar sregep dalam beribadah, paling banter yang bisa dipesankan adalah agar ibadah tidak terlalu diabaikan. Sebab, setiap zaman memiliki keunggulan dan kelebihannya masing-masing. Ditengah hiruk-pikuk dan gegap-gempitanya zaman modern, tak mungkin jika manusia modern mampu beribadah sebagaimana para pendahulunya. Menurut Cak Nun, manusia zaman sekarang sangat tidak bisa diandalkan, berbeda manusia masa lalu yang beribadah tidak hanya intens, tapi mampu melakukan ritual-ritual ibadah yang sangat luar biasa.
“Biyen mbah-mbah iku moco Al Waqi’ah 700 iku kuat, saiki jajal awakmu kuat opo ora? Mendanio entek kopi piro moco waqi’ah ping 700,” guyonan Cak Nun disambut tawa para jama’ah,” Jadi Tuhan tidak mungkin akan menagih Anda beribadah sebagaimana Sunan Kalijogo, sebagaimana Syaikhona Kholil, Imam lapeo, Mbah Khamid, Mbah Ud, Mbah Sahlan, dan lain sebagainya. Anda tidak mungkin akan dituntut seperti mereka. Jadi yo, sak kuat-kuate....”
Cak Nun kemudian membagikan “ilmu” dari maiyahan di Monumen Serangan Umum 1 Maret Yogjakarta. Bahwa sejatinya kewajiban ibadah, baik berupa shalat, puasa, dan jenis-jenis ibadah mahdlah maupun mu’amalah lainnya yang dibebankan kepada manusia menyulutkan ketidak-senangan dan ketidak-enakan. Justru Tuhan memberikan kewajiban itu lantaran manusia memang tidak senang. Dan tidak masalah jika mereka tidak menyembunyikannya dan melahirkan ke permukaan. Rumusnya menurut Cak Nun sederhana, tanda orang dewasa dan memiliki kemuliaan adalah orang yang sanggup dan bersedia secara ikhlas melakukan apa yang tidak disukai, dan tidak melakukan apa yang disukai.
“Awakmu gak seneng sembahyang, tapi ikhlas sembahyang. Jadi, kamu bersedia secara ikhlas melakukan kewajiban yang aslinya tidak engkau senangi, mulane derajatmu mulyo ndek ngarepe Gusti Allah. Nek awakmu nglakoni sing kok senengi iku istimewane opo..... ”
“Dadi awakmu gak usah wedi nek gak seneng. Anggitmu tentara baris iku seneng ta. Hanya karena ia tentaralah, yang membuat ia bersedia melakukan kewajiban itu. Kamu tidak usah berpura-pura senang dengan kewajiban-kewajiban yang dibebankan Allah atasmu, sementara hatimu sejatinya tidak senang dengan semua itu. Katakan saja apa adanya. Ini transparansi namanya. Yang penting, dalam ketidaksenanganmu itu, engkau berjuang secara ikhlas untuk melakukan semua itu demi menghamba kepada Tuhan pencipta hidupmu. Itulah kemuliaan.”
Begitulah, sesuatu yang sebelumnya tak pernah terpikirkan dan berlalu begitu saja dalam lalu lintas kehidupan, ditafsiri secara gamblang oleh Cak Nun sehingga memutikkan hikmah dan pemahaman baru di kalangan para jamaah. Bahkan lebih jauh Cak Nun menuturkan, ketidak-senangan itu tak hanya berlaku di wilayah-wilayah ibadah mahdlah, dalam ibadah mu’amalah pun tak bisa dinafikan. Misalnya saja dalam hubungan suami-istri. Kesenangan-kesenangan hidup berumah-tangga mungkin hanya berlaku dalam tahun-tahun awal pernikahan. Ketika perkawinan memiliki bilangan usia yang tak lagi sedikit, ketidaksenangan-ketidaksenangan itu akan semakin mengendap ke permukaan dari tahun ke tahun. Dan kemuliaan suami istri adalah, dalam ketidaksenangan itulah mereka sanggup melalui dan melewatinya secara ikhlas sampai akhir hayat.
Demikianlah pengajian di Maiyah, segalanya dikupas secara luas dan mendalam. Jamaah yang hadir pun kian serius, meskipun kerapkali tergelak ketika menyimak penuturan-penuturan Cak Nun yang tak hanya bermakna, tapi juga menyegarkan.
Lebih luas Cak Nun kemudian mengkritisi fenomena yang berkembang di masyarakat dalam kurun waktu terakhir, ialah merebaknya status-status atau label-label islam. Parahnya, yang “laku” di kalangan masyarakat adalah hal tersebut. Tak pelak, Islam pada akhirnya berhenti hanya sebagai label tanpa memperdulikan substansi. Hal itu berlangsung hampir di semua wilayah dalam kehidupan. Dari soal musik dikenal ada musik islami, lembaga pendidikan yang laku di masyarakat adalah lembaga yang ada AL-nya (SDIT Al-Huda, TK Al-Hidayah, dlsb). Gara-gara itulah, kemudian ada orang non islam yang membikin lembaga sekolah sengaja diberi nama AL agar diminati masyarakat.
Menurut Cak Nun, hal itu tidak sepenuhnya salah. Namun keadaan tersebut akan merugikan islam secara strategis. Secara sederhana Cak Nun memberikan analog, ibarat warung, islam adalah bahan-bahan makanan yang akan diolah, sekaligus cara memasaknya. Begitu beralih-rupa menjadi hidangan yang siap dimakan, islam tak usah diperlihatkan karena yang terutama adalah kesehatan dan kemaslahatan. Ketika islam ditunjukkan, hal itulah yang menyebabkan orang lain memberikan kemasan-kemasan dengan label yang penting islam. Padahal secara substansi tidak sesuai, bahkan mungkin bertolak-belakang dengan ajaran-ajaran islam.
Masih tentang islam, Cak Nun lantas menuturkan bahwa islam atau tidak islamnya seseorang, tak bisa dilakukan oleh orang lain, kecuali oleh dirinya sendiri. Maka, adalah hal yang aneh jika kemudian ada orang diislamkan oleh Kiai A atau Kiai B. Sebab sejatinya, tanpa diketahui oleh seorang manusia sekalipun, ketika secara sungguh-sungguh manusia berikrar bersyahadat mengakui Tuhan dalam setiap relung kehidupannya, sudah islamlah ia. Itu pulalah yang membuat Cak Nun bersedia ketika dimintai tolong oleh seorang tokoh Hindu di Bali yang ingin pergi ke Mekkah. Sebab menurutnya, hati si Tokoh tersebut sudah sangat bertauhid. Hanya lantaran dibesarkan di lingkungan Hindulah yang kemudian membuatnya seperti sekarang.
Pengajian malam itu kian malam kian gayeng. Cak Nun kemudian menutup uraian pengantarnya itu dengan menuturkan sebagaimana di awal, bahwa kehadiran jamaah di Padhang Mbulan bukanlah sesuatu yang tidak berguna. Karena hal itu akan merangsang rahmat Allah bagi masa depan bangsa Indonesia dalam waktu yang tidak terlalu lama(*)
DARI SUMUR PADHANG MBULAN 15/8/2011 (III)
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>