• Home
  • About
  • Hubungi Kami
  • Privacy Policy
  • Disclaimer
Menu

Pejalan Sunyi

iklan banner
  • Home
  • Daftar Isi
  • News
  • Inspirasi
  • Seputar Guru
    • Regulasi Pendidikan
    • Perangkat Pembelajaran
    • Media Pembelajaran
    • Guru Menulis
    • Sertifikasi Guru
    • Pendataan Pendidikan
  • Tips & Trik
  • Budaya
    • Opini
    • Esai
    • Resensi Buku
    • Cerpen
    • Puisi
    • Anekdot
  • Maiyah
    • Tentang Maiyah
    • Kolom Mbah Nun
    • Kolom Jamaah Maiyah
    • Reportase Maiyah
  • Literasi
  • Download
  • Kirim Artikel

Artikel Populer

  • Kiai Arief Hasan, Cermin Pengilon Dari Beratkulon
  • MENELISIK FUNGSI GADGET DALAM KEGIATAN PEMBELAJARAN
  • Tak Hanya Isi Beha yang Bikin 'Telan Ludah', Omset Jual Beha juga Mampu Membuat Mata Terpana
  • Menjelang Idul Fitri
  • Guru Menulis, Antara Mulia dan Karya
  • Seharusnya Berjudul Celana Dalam
  • JALAN PINTAS

Inspirasi

Pengunjung

Free counters!
top personal sites
top personal sites
Home / Archived For August 2013

Saturday, August 3, 2013

Menjelang Idul Fitri

Cerpen
“KETIKA Ramadan akan berakhir, alam semesta mencucurkan air mata. Langit dengan cakrawalanya tak terbatas tak kuasa membendung air mata. Sementara bumi yang menopang kehidupan umat manusia menangis meraung-raung seperti anak kecil yang ditinggal pergi kedua orang tuanya.”
Kalimat itu meluncur dari mulut Kiai Saleh, saya dengarkan dua puluh dua tahun silam, saat bersama kakek mengikuti pengajian selepas tarawih yang dilaksanakan di masjid. Kalimat-kalimat itu terngiang-ngiang di kepala saya hingga kini, bahkan ketika telah berkeluarga dan memiliki dua orang anak.

“Kepergian Ramadan adalah musibah,” kalimat Kiai Saleh terngiang lagi,”Dinamakan musibah, karena ia bulan penuh cahaya yang segala keistimewaan dihamparkan. Doa-doa yang dipanjatkan meluncur menembus langit. Tak ada satupun rintangan yang menyebabkan doa itu tak dikabulkan oleh Tuhan. Sementara kebaikan menjelma bebutiran pahala tikel matikel. Segala siksa dan derita menjadi tertahan dan tertangguhkan.”

Suara-suara Kiai Saleh terus terngiang berloncatan memenuhi ruangan masjid yang tidak seberapa luas. Sebagai anak kecil, saya belum bisa mencernanya ketika itu. Saya hanya duduk disamping kakek sembari mempermainkan tasbih yang biasa dipergunakan untuk wirid. Ketika kalimat-kalimat itu masuk ke telinga saya, sederet tanya justru berkeliweran memenuhi ruang kepala. Mengapa kepergian Ramadan adalah musibah? Bukankah Ramadan tak berbeda dengan bulan-bulan lain yang memiliki keniscayaan bergulir mengikuti irama waktu? Bukankah ketika Ramadan pergi, justru hal itu merupakan pertanda datangnya hari raya. Bukankah hari raya adalah hari kemenangan yang ditunggu-tunggu setelah sebulan penuh mengekang nafsu, berpuasa berjuang mengalahkan rasa lapar dan dahaga?

***
Bagi bocah seperti saya, kehadiran Ramadan memang menyulutkan kegembiraan teramat sangat. Namun kegembiraan itu sama sekali tak ada hubungannya dengan ibadah. Saya ingat, kebiasaan yang membuat saya bersuka cita ketika Ramadan tiba adalah menjadikan masjid sebagai rumah kedua bagi saya dan teman-teman. Selepas sekolah, kami biasanya langsung menuju masjid melaksanakan shalat dluhur berjamaah, tak kalah dengan bapak-bapak kami yang begitu antusias menyambut Ramadan hingga membentuk shaf berderet-deret. Usai berjamaah, kami tiduran di serambi sembari berceloteh hal bermacam-macam laiknya anak kecil. Sebagian teman ada yang bermain skak atau macan-macanan. Ketika matahari terbenam, kami lantas pulang ke rumah masing-masing menunggu azan maghrib untuk menyantap menu berbuka yang telah disediakan oleh orang tua kami di rumah.

Hal paling mengesankan yang terbawa bahkan ketika kami dewasa adalah masa-masa selepas shalat tarawih. Kami tadarus barang sepuluh atau lima belas menit sebelum digantikan para pemuda desa atau bapak-bapak. Selama tadarus itulah, berbagai makanan kecil bisa kami dapatkan. Ada kolak kacang ijo, rondo royal, ote-ote, tahu berontak, getuk lindri, sawut singkong, serta jajanan tradisional lainnya. Makanan itu sengaja dikirimkan oleh penduduk kampung secara bergantian untuk mereka yang bertadarus. Setelah puas menyantap jajanan itu, kami lantas bermain jumpritan dan gobak sodor. Beberapa teman bermain sepak bola di lapangan, mencari jangkrik di sawah-sawah milik penduduk. Ketika dini hari menjelang, kami kembali berkumpul di masjid mempersiapkan alat-alat kotekan. Kami kemudian berkeliling kampung membangunkan ibu-ibu agar mempersiapkan makan sahur untuk keluarganya.


Begitulah, Ramadan akhirnya menjadi bulan yang begitu mengasyikkan. Apalagi saat-saat terakhir menjelang hari raya. Kegembiraan kami sebagai anak kecil semakin bertambah-tambah. Tradisi weweh membuat isi kantong kami akan segera penuh. Kami juga akan mendapatkan baju baru dari orang tua masing-masing sebagai hadiah karena telah mampu berpuasa. Bermacam-macam makanan dan minuman yang jarang ditemui di bulan-bulan lain, akan segera kami rasakan ketika hari raya tiba.

Maka, ketika Kiai Saleh mengatakan bahwa kepergian Ramadan adalah musibah, saya hanya mengernyitkan kening. Saya sama sekali tak mengerti dengan yang dituturkannya itu.

***
Baru ketika usia saya mulai beranjak dewasa, saya lantas mengetahui bahwa yang disampaikan Kiai Saleh itu dilhami ucapan Kanjeng Nabi Muhammad, bahwa Ramadan adalah bulan yang menawarkan berjuta kemuliaan. Sehingga wajar, jika Ramadan meninggalkan kehidupan umat manusia adalah musibah paling besar. Sebab, tak ada jaminan jika manusia dapat kembali menemui Ramadan di tahun-tahun berikutnya.

Namun yang membuat saya sedikit agak tertegun adalah pertanyaan yang tiba-tiba saja dilontarkan oleh anak saya yang masih berumur delapan tahun. Saat saya ceritakan ucapan Kanjeng Nabi itu padanya (tentu saja dengan pemahaman seorang anak kecil), dengan begitu saja ia mempertanyakan hal yang sama, sebagaimana yang pernah membuat saya musykil semasa kecil dulu.

“Mengapa ketika Ramadan akan segera berakhir, langit dan bumi menangis, Ayah?”

“Karena Ramadan adalah bulan penuh cahaya, anakku. Di bulan ini, segala jenis doa dikabulkan, setiap kebaikan dilipatgandakan, setan-setan dibelenggu, dan manusia memperoleh kemungkinan lahir kembali menjadi manusia yang suci dan bersih dari dosa-dosa, karena dosa dan kesalahannya telah diampuni oleh Tuhan semesta alam.” jawaban yang sama saya berikan, meskipun saya bumbui dengan sejengkal pengetahuan baru seiring dengan pertambahan usia.

“Untuk apa manusia harus berpuasa? Bukankah makan dan minum adalah pekerjaan mengasyikkan bagi seorang manusia?" pertanyaan anak saya sekali lagi. Kali ini saya terdiam, sebelum kemudian berusaha mencari kalimat yang tepat untuk menjawabnya.

Entahlah, anak saya ini memang berbeda. Sejak kecil, ia sering kali mempertanyakan hal-hal yang mengusik pikirannya. Memang sedari kecil, sering saya ajak ia berjalan-jalan menziarahi setiap tempat yang menawarkan cakrawala baru bagi perkembangan akal dan pikirannya. Terkadang saya bawa dia ke pantai. Saya ajak dia bercengkrama dengan luasnya laut, dengan ombak berdebur yang saling berkejaran, dengan angin laut yang berhembus kencang menerbangkan bebutiran pasir yang menghampar, dengan matahari yang hampir tenggelam di kaki langit, dengan kelepak sayap camar yang menembus angkasa.

Suatu waktu, saya dedahkan padanya keindahan purnama dengan mencengkramai langit yang dipenuhi gugusan bintang gemintang. Saya perkenalkan padanya hijaunya daun yang menampung tetes-tetes embun yang mengantarkannya menemui cahaya, pada burung-burung berkicau yang menasbihkan simponi pada semesta waktu yang kian bergulir, pada air terjun yang turun dari atas bukit menciptakan suara gemuruh, serta pada keindahan alam yang demikian eloknya.
Terhadap semua itu, tujuan saya hanya satu, ingin mengenalkannya pada asal-usul hidupnya. Bahwa kemegahan alam semesta ini tak mungkin ada dengan sendirinya tanpa adanya zat yang menciptakan. Maka perjalanan itulah yang saya gunakan untuk mengenalkan dia pada Tuhan semesta alam. Saya berharap, ketika sejak dini saya perkenalkan ia pada alam semesta dengan hamparan keindahannya yang niscaya, ia akan memperoleh kesadaran ketuhanan yang berujung pada kekagumannya pada Tuhan. Menurut saya, itulah modal awal yang amat berharga baginya ketika ingin menempuh jalan ketuhanan pada kehidupannya kelak ketika dia telah dewasa.

Maka ketika ia bertanya tentang seluk beluk puasa, saya berusaha mengantarkannya pada situasi terdalam dari hakekat puasa. Saya tak ingin jika anak saya kelak memahami puasa sebagai kegiatan yang hanya menahan lapar dan minum semata. Saya harus menunjukkan, bahwa puasa juga memiliki fungsi sosial yang jelas dalam kehidupan.

“Makan dan minum memang pekerjaan manusia, anakku. Agar ia tetap hidup dan dapat melakukan aktifitas kehidupan sebagaimana mestinya,” jawab saya hati-hati,”Namun suatu saat, manusia juga butuh puasa, agar ia bisa menjadi manusia yang menyenangkan.” .

“Maksud ayah?”

“Kamu tahu kupu-kupu?” anak saya mengangguk.“Kupu-kupu bisa menjadi kupu-kupu yang indah karena bersedia melakukan puasa. Kamu pasti sudah diajari gurumu. Sebelum kupu-kupu berbentuk kupu-kupu, ia masihlah berwujud seekor ulat. Betul bukan?” kembali anak saya mengangguk.

“Kamu tahu anakku, pekerjaan utama ulat adalah makan. Ia makan apa saja yang dihinggapinya. Tak perduli apakah itu dedaunan liar yang tumbuh dari pohon-pohon, ataukah dari tanaman petani yang telah diusahakan sedemikian rupa pertumbuhannya. Ulat tak pernah berpikir apa-apa selain makan. Ketika pekerjaan utama seekor ulat hanyalah makan, keberadaannya begitu dibenci oleh banyak orang. Ulat sangat ditakuti oleh anak kecil sepertimu. Oleh petani, ulat menjadi musuh yang harus dimusnahkan karena mengganggu tanamannya. Itulah sebabnya kenapa ulat menjadi hewan yang harus dibasmi keberadaannya.”

Saya mengambil nafas sebelum kemudian melanjutkan, “Tapi perhatikan ketika ulat bersedia berpuasa beberapa waktu dengan menjadi kepompong, ia akan berubah wujud menjadi kupu-kupu yang sedap dipandang mata. Tak hanya manusia yang begitu suka dengan keindahan warnanya, namun kuncup-kuncup bunga selalu menantikan kehadiran kupu-kupu demi supaya bisa mempersembahkan bebuah dalam kehidupan manusia.”

“Jadi puasa berfungsi merubah manusia menjadi kupu-kupu?” dengan lugunya anak saya bertanya.

Saya tersenyum,“Betul, anakku. Puasa memang merubah manusia menjadi kupu-kupu, namun dalam sifatnya. Maka kelak ketika engkau dewasa, engkau harus mampu puasa dalam segala bentuknya, agar engkau bisa menjadi kupu-kupu dan lulus menjadi manusia.”

***
Beberapa waktu kemudian, selepas berbincang-bincang dengan anak saya itu, denyar kerinduan tiba-tiba saja begitu menyengat jiwa saya pada Ramadan kali ini. Entahlah, harum tanah pedesaan, bau apek tikar masjid, gema teriakan anak-anak kecil ketika bermain petak umpet menyeruak begitu saja ke permukaan tanpa bisa dihalang-halangi, membuat kenangan puluhan tahun silam itu mencuat kembali ketika perjalanan waktu mengantarkan kehidupan saya seperti sekarang ini. Tiba-tiba saja saya ingin segera pulang ke kampung halaman. Maka tak seperti biasanya, kurang satu minggu sebelum lebaran, sengaja saya niatkan mudik lebih awal. Disamping agar bisa leluasa bersilaturrahmi dengan sanak famili, yang terpenting sesungguhnya saya ingin merasakan kembali kenangan masa lalu itu.

Namun apa lacur, baru sehari merasakan udara di kampung, saya hanya mampu memungut perih. Alih-alih bisa merasakan kenangan masa kecil, justru kegetiran demikian pahit yang saya rasakan. Seiring dengan perjalanan waktu, semuanya telah berubah. Masjid yang dulu bangunan kuno tempat saya berdiam diri selama Ramadan bersama teman-teman, kini berdiri megah dengan arsitektur tak kalah dengan masjid yang ada di kota. Suasana masjid lengang ketika siang hari. Tak ada lagi celotehan riang bocah-bocah kecil bermain skak atau macan-macanan.

Ketika malam menjelang, hanya ada bapak-bapak renta yang melaksanakan tadarus dengan suara terbata-bata. Kata Kang Wagiman ketika saya berbincang dengannya selepas taraweh, saat ini para pemuda enggan berlama-lama tinggal di kampung ketika mereka beranjak remaja, mereka lebih tergiur mengais rezeki pada gemerlapnya kota dan baru pulang kampung ketika lebaran akan tiba. Kian malam, masjid kian sepi. Tak ada lagi anak-anak kecil berkumpul dan kotekan menjelang sahur. Anak-anak sekarang lebih suka berdiam diri di rumah sembari bermain game atau menikmati acara-acara televisi.

Dan malam ini, rasa perih itu kian menikam. Ketika sedang bertadarus, seorang tetangga mengabarkan bahwa baru saja terjadi peristiwa menggemparkan di desa sebelah. Seorang anak yang masih SMP tega menusuk bapaknya dengan pisau dapur. Si anak minta sepeda motor. Bukannya si Bapak tak mau membelikan, tapi bagi seorang buruh tani, terlalu sulit baginya memenuhi keinginan anaknya itu.


Si anak tak mau tahu, ia kemudian marah-marah. Tanpa pikir panjang, ia ambil pisau dan menikamkan begitu saja ke dada bapaknya hingga berdarah-darah. Si anak marah, karena motor itu rencananya akan digunakan membonceng pacarnya untuk melihat pertunjukan orkes dangdut di alun-alun kota, sehari setelah lebaran di rayakan.(*)

Lamongan, Ramadan 1430-1431 H
cerpen. Em. Syuhada'
Admin Pada Saturday, August 03, 2013 5 Komentar

Sastra dan Tiga Gelombang

Reportase Maiyah

BISAKAH kitab suci disampaikan tanpa sastra? Adakah kalimat Nabi yang tidak indah? Bagaimana jadinya sembahyang tanpa rasa khusyuk? Sastra bukanlah sisi lain dari kehidupan kita, melainkan bagian dari kehidupan itu sendiri. Jangan lihat puisinya, tapi rasakan puitikanya. Inilah yang namanya rasa, satu dari sekian banyaknya lapisan-lapisan ruh. Demikian Cak Nun membuka Padhangmbulan Juli 2013 yang bertepatan dengan tanggal 23.
Padhang Mbulan Juli 2013Melalui sastra, manusia dididik untuk terus-menerus memiliki kelembutan. Sekarang begitu banyak orang beragama tanpa kelembutan. Mentang-mentang majlis taklim, seenak sendiri arak-arakan sepeda motor tanpa helm dan yang lain harus bersedia minggir. Mentang-mentang bulan puasa, warung-warung yang buka di siang hari dipaksa tutup, dipecahi gelas piringnya. Padahal manusia disuruh puasa supaya mampu menghormati sesamanya.


Dan lagi, tidak semua orang berpuasa. Para musafir, wanita haid, ibu menyusui – dan Allah sendiri yang langsung menyebutkan kemurahan-Nya melekat pada ayat perintah puasa. Budaya kita tidak mengakomodasi kehendak Allah, tidak memberi ruang kepada kemauan Allah. Tidak ada harmoni strategis antara fiqih agama, moral, dan budaya. Tidak pernah ada perundingan mengenai, misalnya, kalaupun benar untuk melarang orang tidak puasa, apakah tepat untuk merusak warung-warung itu?

"Kok bisa hatimu tak punya kelembutan seperti itu? Kok bisa orang Indonesia menginjak-injak copet yang tertangkap? Itulah perlunya sastra : supaya terdidik kelembutan kita.”

Pertimbangan inilah yang menyebabkan Cak Nun giat mendukung penuh dan membiayai pementasan-pementasan teater, dan kini penerbitan Majalah Sastra Sabana yang dikerjakan oleh sastrawan-sastrawan senior di Jogja. Ada kira-kira 13 tulisan di edisi perdananya, belum termasuk puisi-puisi. ‘Sastra Tidak Mati di Jaman Edan’ misalnya, mencoba mengatakan bahwa tak peduli kalaupun seisi dunia habis dimakan manusia materialis, karena kekasih Allah adalah orang-orang yang memiliki langkah-langkah untuk mendekatkan diri kepada peruhanian diri.

Membiayai sekolah anak, menambah seribu dua ribu untuk tukang parkir, merupakan contoh peruhanian uang karena yang terjadi adalah kasih sayang dan akhlak. Prinsip Maiyah sejak awal adalah meruhanikan setiap uang dan apa saja yang kita punyai.
Ada juga satu tulisan mengenai bagaimana Pangeran Mangkubumi mengkonsep tata ruang di Jogja sedemikian rupa sehingga politik (Keraton) terletak di selatan, agama (masjid) di barat, ekonomi (Pasar Bringharjo dan mall) di utara, dan kebudayaan (Purawisata – yang sedang dialihfungsikan dari tempat dangdut menjadi pusat kebudayaan) di timur. Tulisan ini berjudul ‘Cakrawala Pangurakan’ oleh Joko Umbaran (Cak Nun sendiri, Red).
"Apa saja yang kompatibel terhadap Allah, saya dukung. Kalau perlu saya bayari tanpa saya punya kepentingan pribadi di dalamnya. Kalau atas dasar kepentingan saya, itu tak ubahnya dengan jual-beli.

“Sekarang musimnya manusia yang tidak punya pendidikan ruhani, moral, dan bahkan etika. Di Jogja saja, lampu merah masih 35 detik sudah diterobos. Inilah yang namanya E dhayohe teka, e gelarno klasa, e klasane bedhah, e tembelen jadah, e jadahe mambu, e pakakno asu, dan seterusnya. Terlalu banyak mengurusi ini-itu, lama-lama manusia menjadi kehilangan logika. Ini sindiran dari Mbah-Mbah kita, bagaimana pikiran kita menjadi tidak lagi sehat. Mana ada menambal tikar dengan ketan? Mana ada anjing mau makan ketan? Begitu kok khalifah.”

Peragian Spiritual
Cak Nun pernah menafsirkan bahwa puasa merupakan peragian spiritual. Kalau sholat, pencahayaan yang dilambangkan oleh air hujan. Hujan bisa turun karena ada proses alam dimana laut dicahayai oleh matahari, sebagian menguap menjadi awan, bergabung dengan komplikasi suhu sehingga pada posisi tertentu menjadi gumpalan cairan, terkena gaya gravitasi sehingga menjadilah hujan. Orang yang sholat adalah orang yang rajin mencari pencahayaan untuk jiwa dan pikirannya.
Sementara itu zakat dilambangkan oleh air susu; menginformasikan pada manusia bahwa hidup adalah tentang berbagi. Kita butuh keberadaan penjahit untuk bisa berpakaian. Karena kita tidak membenci si tukang jahit, berarti ada silaturahmi yang baik antara kita dengannya. Kita juga butuh keberadaan pembuat pompa air, sepeda motor, mobil. Mereka rata-rata bukan Muslim, apakah berarti kita bekerja sama dengan orang kafir?

Dalam logika hukum dan otoritas, yang punya hak untuk memperbolehkan dan melarang, untuk menyebut sebagai kafir atau tidak, adalah pemilik atau pemegang saham – dalam hal ini Allah. Ulama hanya boleh meneruskan informasi dari Allah, tidak berhak untuk meletakkan seseorang dengan sebutan kafir. Hanya Allah yang punya otoritas untuk mengklaim dan menjatuhkan hukuman.

Kasus Budaya atau Kasus Syariat“Misalnya ada orang yang bersiul-siul ketika ada orang shalawatan di masjid. Beberapa menghakimi bahwa yang dilakukannya adalah syirik, di masjid kok bersiul. Padahal siulan itu hasil dari bunyi mulut dan lidah, kok dikafirkan? Landasannya adalah ada perjanjian budaya di Indonesia bahwa bersiul itu jangan di masjid tapi di lapangan. Ini perjanjian budaya. Jadi, klausul budaya jangan diterapkan sebagai klausul agama. Agama itu ibadah mahdloh, rukun Islam, syariat. Yang tidak boleh secara syariat itu bukan bersiulnya, melainkan kalau bersiul ketika sholat.”

“Kadang-kadang kita tidak memperhitungkan faktor-faktor semacam itu dan kita nggak ngerti apakah suatu perkara merupakan urusan syariat, mahdloh, atau estetika. Masyarakat semakin tak punya pengetahuan – apalagi yang detail – mengenai pilah-pilah antara garis syariah, budaya, estetika.”

Tiga GelombangSebagaimana di Maiyahan Pati dan Tasyakuran Nahdlatul Muhammadiyin beberapa hari lalu, Cak Nun menerangkan bahwa terdapat tiga gelombang dalam hidup ini. Gelombang pertama adalah yang mainstream dalam kehidupan modern, yang baku dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Bekerja di kantor, korupsi, menjalankan aturan-aturan negara, menentukan isi televisi berdasar rating, dan parpol yang terus dianggap sah untuk menghasilkan pemimpin meskipun sudah terbukti selalu gagal.

“Anda datang ke sini searus dengan mainstream-nya negara dan masyarakat nggak? Anda ke sini mencari sesuatu yang lain kan? Ini adalah gelombang kedua yang sedang berusaha mencari gelombang ketiga.”

Gelombang kedua adalah yang berada di tengah-tengah. Ada dua kemungkinan : tenggelam oleh gelombang pertama atau mencari yang lain, yakni gelombang ketiga. Di gelombang ketiga ada Allah, Rasulullah, kejujuran, kemurnian, kedalaman, ilmu sejati, Maiyah.

“Coba cari di dalam dirimu sendiri berapa persen yang merupakan unsur dari gelombang pertama, dan berapa yang dari gelombang ketiga. Sebab Anda adalah pelaku gelombang kedua.”

Sesi Tanya-JawabKetika dibuka sesi tanya-jawab, ada tiga penanya. Yang pertama mengeluhkan dirinya yang sudah tidak merasakan sensasi puasa Ramadhan, juga keadaan Indonesia yang tidak menentu. Penanya kedua mengaku pada Ramadhan kali ini jarang berpuasa, sambil meminta doa dari Cak Nun agar mendapat barokah. Penanya ketiga menyampaikan uneg-unegnya yang menolak dorongan dari masyarakat untuk mencalonkan diri sebagai lurah karena sudah tidak sepakat dengan apa yang diperebutkan.

“Saya husnudzon ya,” jawab Cak Nun,

“Satu benda atau peristiwa itu kan makna atau nilainya tak terbatas. Misal puasa Ramadhan, itu kan pintu saja untuk memasuki makna-makna yang bisa dionceki dari hakikat puasa – misalnya cari definisi puasa dari segi syariat, psikologi, mental, intelektual. Anda sudah mencapai tahap dimana thariqat Ramadhan tidak mencukupi untuk kadar Anda menghayati puasa. Maka Anda dikasih hal-hal yang Anda keluhkan tadi. Puasamu adalah puasa sistem, puasa sosial, puasa yang lebih luas, bukan puasa fiqih saja sebab fiqih kan hanya cara untuk melatih kita. Kita dikasih sholat untuk melatih disiplin kontinuitas komitmen kita kepada Allah. Puasa pun begitu. Ia bisa bermakna kesanggupan dan keikhlasan Anda untuk melakukan sesuatu yang tidak Anda sukai atau untuk tidak melakukan sesuatu yang Anda sukai.”
“Puasa sangat penting karena Anda akan mengalami peristiwa-peristiwa dan keadaan yang hanya bisa Anda hadapi dengan metode puasa. Kalau Anda mengeluhkan ketika keluar dari Padhangmbulan Anda bertemu dengan gelombang pertama, ya di situlah puasa Anda. itulah Ramadhanmu. Anda harus puasa di tengah gelombang pertama yang menyiksa Anda. puasamu harus lebih tinggi, lebih kontekstual, dan lebih multidimensi. Yang harus dipegang oleh jamaah Maiyah adalah selalu ingat untuk memiliki multiple consciousness, multiple awareness, multiple intelligent.”
“Begitu Anda mengeluh tentang suatu hal, Anda tidak akan menemukan jalan kalau cara berpikirnya mono-intelligent. Tapi begitu Anda berpikir dengan multi-intelligent, Anda akan bertemu dengan hikmah, solusi, dan kenikmatan macam-macam. Kalau puasa Ramadhan hanya Anda lihat sebagai nggak makan dari Shubuh sampai Maghrib, ya nggak misterius lagi.”

“Goal-mu itu goal metode gelombang pertama atau ketiga? Maunya kan tercapai dengan gelombang pertama to? Negara makmur, presiden tepat, DPR berlaku rasional. Tapi siapa yang bilang bahwa dunia seperti itu? Kapan pernah seperti itu? Orang Indonesia berada pada posisi serba tidak ikhlas, tidak lega, tidak terima. Dan itu merupakan produk dari tidak pernahnya terpenuhi hak-hak rakyat oleh yang berkewajiban, yaitu pemeritah yang kita bayar. Dan disitulah kita hidup. Inilah puasa.”

“Saya ini juga nggak karuan. Mau tanding kesengsaraan sama saya? Kalau dilihat dari cara berpikir gelombang pertama, yang saya lakukan selama ini berat, sengsara, dan tidak produktif. Tapi saya melihatnya dari cara berpikir gelombang ketiga. Saya tidak punya kepentingan lain kecuali menikmati gelombang ketiga.”

Cak Nun menceritakan pengalamannya ketika diundang untuk menjadi pembicara di Masjid Agung Batu, Malang. Dari Jogja Cak Nun naik bus, numpang mandi di terminal, lalu menjelang acara ngopi-ngopi di warung sambil melihat dari jauh apakah panitia sudah datang. Sampai satu jam kemudian, tak ada tanda-tanda acara.

“Saya nggak getun. Alhamdulillah saya sudah berjuang, dapat pengalaman ngebis, pengalaman mandi di terminal, seluruh ibadah yang dituntutkan kepada saya sudah selesai saya kerjakan. Malah dikurangi kewajiban saya untuk ceramah. Saya nggak pakai gelombang pertama, yaitu supaya terkenal, supaya naik karier saya, atau supaya dapat akses. Pokoknya nekat – dalam arti, masa’ Allah nggak tanggung jawab terhadap nasib saya sedangkan terhadap ayam pun Dia tanggung jawab penuh?”

“Tidak masalah kalau Anda tidak mampu mengubah apapun, karena rumusnya adalah Allah diam-diam berjanji akan menegaskan perubahan itu dengan syarat manusia melakukan perubahan. Kita kan sudah revolusi diri besar-besaran. Sekarang tahap saya adalah bertanya-tanya kapan Allah akan mengubah. Saya khawatir kalau bangsa Indonesia tak mengalami perubahan signifikan dan fundamental dalam 2-3 tahun ini, kita akan mengalami kesia-siaan gelmbang pertama untuk jangka waktu yang lebih panjang dan itu bisa berakibat lebih buruk karena pelaku gelombang kedua dan ketiga tidak bisa mewariskan perjuangan kepada adik-adik dan anak-anaknya.”

“Kita terkatung-katung pada tuntutan ‘seharusnya begini kok dapatnya begitu’, padahal kita tinggal melangkah satu langkah menuju hikmah. Kalau dipastikan Anda tidak bisa mengubahnya dalam jangka waktu lima tahun, ya sudah jangan pikirkan itu selama lima tahun. Orang Indonesia sangat menggemari perayaan. Ada penderitaan diraya-rayakan, dibesar-besarkan, diundhat-undhat terus.”

“Allah menciptakan manusia dengan batasan-batasan, karena kalau tidak, hancurlah dia. Saya kira yang harus dicari adalah rahasia di dalam. Ada begitu banyak faktor Allah di dalam dirimu yang engkau tidak tahu. Nikmatnya hidup adalah Allah selalu memberikan misteri-misteri.”

“Kalau kamu mau bergabung dengan Allah, kamu harus ikhlas dengan apapun yang dikehendaki Allah yang besok mungkin berubah. Maka Allah mengancam, ‘Barangsiapa tidak menerima ketentuan-Ku atas hidupnya, Aku persilahkan mencari Tuhan yang lain dan pindah ke sana’. Itu bukan karena Dia diktator, tapi karena Dia mengikatmu dengan cinta dalam dinamika terus-menerus supaya kamu bertanya, bertemu dengan jawaban sedikit, lalu bertanya lagi. nikmatilah proses itu.”

Terhadap penanya ketiga Cak Nun menjawab, “Tidak apa-apa kalau Anda mencalonkan diri untuk jadi lurah, tapi harus Anda kuasai dulu medan perangnya, cuacanya, pelurunya, apakah peluang untuk berbuat baik banyak atau tidak. Tidak harus 100% melakukan seluruh kebaikan yang Anda niatkan karena kondisi tanahnya tandus kok, jadi tidak semua tanaman akan tumbuh. Bisa menanam sedikit sudah lumayan. Kalau saya nggak ada masalah Anda mau maju. Tapi kalau sudah awang-awangen melihat suap atau biayanya, ya nggak usah. Atau bisa juga Anda nyalon lurah bukan untuk terpilih, melainkan untuk kenal banyak orang, menjalin komunikasi. Saya tidak pernah melarang, jadi monggo-monggo saja.”

Padhangmbulan kemudian diakhiri dengan doa bersama yang dipimpin oleh Cak Fuad.

Reportase Pengajian Padhang Mbulan Juli 2013
[Source: Yasin, Verbatim: Ratri Dian Ariani]
Admin Pada Saturday, August 03, 2013 1 Komentar
Subscribe to: Posts (Atom)
  • Artikel Terbaru
  • Arsip Blog

Artikel Terbaru

Arsip Blog

  • October (1)
  • June (14)
  • May (18)
  • April (2)
  • February (1)
  • January (1)
  • January (1)
  • November (1)
  • August (2)
  • July (2)
  • June (3)
  • May (13)
  • April (26)
  • March (30)
  • February (43)
  • January (50)
  • December (4)

Resensi Buku

Kategori

Anekdot Berita Pendidikan Cerpen Download Esai Guru Menulis Inspirasi Kolom Kolom Cak Nun Kolom Jamaah Maiyah Literasi News Opini Pendataan Pendidikan Puisi Regulasi Reportase Maiyah Resensi Buku Sertifikasi Guru Tentang Maiyah Tips & Trik
Pejalan Sunyi

Followers

Pejalansunyi.id berusaha berbagi informasi yang bermanfaat. Jika ada ide, kritik, atau saran, silahkan hubungi kami dengan kontak berikut. Salam!

Name Email Address important Content important

Reportase Maiyah

Contact Form

Name

Email *

Message *

Artikel Random

Memuat...
Copyright © Pejalan Sunyi
Template by Arlina Design