ASONGAN merupakan sebuah kata yang sering dianggap sebagai sebuah keudikan. Kata “asong” memiliki kesetaraan dengan kata “ngasak” dalam bahasa Jawa. Ngasak memiliki arti tindakan memungut sisa-sisa penenan yang tersisa dari suatu proses pemanenan. Tindakan ngasak sering dilakukan oleh orang ketiga yang sama sekali bukan pemiliki sawah maupun para buruh panen. Jelasnya seorang pengasak melakukan tindakan ngasak untuk memungut sisa-sisa panen yang sudah tidak lagi dihiraukan orang. Meskipun hanya sekedar memungut sisa-sisa panenan, namun dari yang “sisa-sisa” dan dianggap sia-sia itu justru seorang pengasak menopangkan nafkah hidupnya. Jadi secara lebih umum ngasak ataupun ngasong bisa dimaknai tindakan oleh orang kecil untuk memungut, mengumpulkan, dan kemudian mendayagunakan hal-hal kecil yang dianggap orang lain sebagai sesuatu sisa-sisa yang sia-sia nan remeh temeh untuk menjadi barang yang sangat berguna.
Kata akhirat memang merupakan kata serapan dari bahasa Arab. Namun demikian, dalam pengertian bahasa Jawa, kata akhirat merupakan gabungan dua kata yang manunggal menjadi satu, masing-masing kata “akhir” dan kata “rat”. Kata akhir bermakna penghujung dari sebuah peristiwa. Adapun kata rat semakna dengan jagad, alam, dunia, atau semesta. Jadi akhirat dapat diartikan sebagai alam akhir. Gabungan dua kata, “asongan akhirat”, inilah sentra utama pembicaraan dan diskusi yang diangkat dalam Majlis Kenduri Cinta edisi Maret 2013 malam itu di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat.
Andai ada seorang Calon Bupati datang ke sebuah pesantren. Sang Kiai menyindir dengan mendehem-dehem, “Arek-arek ki gawe gedung sithok ae ora rampung-rampung, jare isih kurang gendenge!” Si Calon Bupati langsung tanggap dan memerintahkan jajarannya untuk segera membelikan genteng kebutuhan pesantren tersebut. Maka di kalangan penghuni pesantren timbul kesimpulan bahwa calon bupati yang baik adalah yang mau menyumbang untuk keperluan pesantren tersebut. Hal seperti ini dianggap sebagai sebuah kebenaran. Benarkah demikian?
Sebenarnya sang Calon Bupati itu menyumbang ke pesantren apakah benar-benar karena ingin berderma atau bersedekah, ataukah ada maksud udang di balik batu yang lain? Yang terjadi sesungguhnya adalah sang Calon Bupati melakukan hal itu untuk dirinya sendiri, bukan untuk kepentingan pesantren. Ia sebenarnya sedang melakukan penyogokan untuk mendapatkan dukungan suara dalam pencalonannya. Namun apakah pihak pesantren peduli dengan hal itu? Apakah mereka mempertanyaakan uang tersebut apakah uang halal ataukah hasil korupsi? Tidak! Bagi pesantren, yang penting mereka mendapatkan sumbangan untuk kepentingan pembangunan pesantrennya. Perkara dari mana asal uangnya, halal atau haram tidak lagi dpusingkan. Hal ini sudah dianggap bukan masalah lagi!
Semua memang sudah terlanjur menjadi salah kaprah. Sesuatu yang sudah kadung salah kaprah inilah yang seringkali menjungkirbalikkan tata nilai yang sebelumnya kita yakini sebagai suatu pegangan hidup. Kenapa salah kaprah demikian, dan sekian kejadian yang lain, masih terjadi dan kian berlarut-larut? Untuk itu kita secara jujur dan obyektif kita harus mengevaluasi kembali cara dan pola pikir yang selama ini kita lakukan. Kenapa hal ini menjadi sangat penting?
Sebuah nilai kebaikan, kebenaran, dan keindahan hidup, sejatinya berpangkal kepada pola pikir. Cara pikir yang benar akan menghasilkan perkataan yang benar. Perkataan yang benar akan berdampak kepada perbuatan atau kelakuan yang benar. Selanjutnya perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang akan menjadi sebuah kebiasaan. Kebiasaan-kebiasaan akan terhimpun menjadi sebuah nilai kebudayaan. Sebuah kebudayaan yang terus-menerus bertahan konsisten dari waktu ke waktu akan membentuk sebuah peradaban hidup. Di tingkat peradaban, sesuatu yang sudah menjadi peradaban tidak akan bisa diubah oleh manusia, kecuali Tuhan sendiri yang turun tangan untuk menghancurkan sebuah peradaban, sebagaimana telah banyak diriwayatkan dalam kisah-kisah para nabi.
Sholat yang tidak khusuk ibarat kita mengajak orang lain salaman, namun yang kita ajak bersalaman meskipun mengulurkan tangan untuk menyambut tangan kita tetapi dalam waktu yang bersamaan ia malah memalingkan muka. Bukankah kita akan tersinggung diperlakukan demikian? Kita sholat tetapi hati dan jiwa kita tidak kita hadapkan kepada Allah. Bagaimanakah sikap Allah? Apakah sholat kita kira-kira akan diterima-Nya?
Dikarenakan sesuatu yang besar berasal dari sesuatu hal kecil yang fundamental, maka orang yang mengasong akhirat sejatinya sedang melakukan tindakan-tindakan yang tidak umum, dianggap sia-sia, bahkan dianggap gila guna mengakhiratkan dunia dan menduniakan akhirat. Meskipun sekedar mengasong, dengan telaten melakukan perbaikan dan pembenahan dalam skala kecil, namun kelak di akhirat justru para pengasong inilah yang benar-benar akan memetik panenan karya baktinya ketika masih di dunia. Jangan dikira orang-orang yang sedang panen dengan pangkat, dengan harta, dan jabatan, dengan gelimang uang, mampu “menyumbang” pesantren, bolak-balik umrah dan haji, kelak akan benar-benar panen di akhirat jika semua itu diongkosi oleh keculasan, kecurangan, tipu daya, dan pengkhianatan atas hak rakyat dan ummat. Tuhan jelas tidak bisa diperdayai oleh manusia.
Demikian kira-kira petikan hikmah yang mencerahkan dari kehangatan cinta di Kenduri Cinta yang dipaparkan secara gamblang, jelas dan tuntas oleh Cak Nun. Malam itu penuh kesyahduan suasana jazzy atas hadirnya Mas Benben, Dasta and Friends, Escoret dan Farid Mbah Surip hingga waktu demikian cepat menjelang pagi hari. []
SUMBER: Sang Nananging Jagad
Kata akhirat memang merupakan kata serapan dari bahasa Arab. Namun demikian, dalam pengertian bahasa Jawa, kata akhirat merupakan gabungan dua kata yang manunggal menjadi satu, masing-masing kata “akhir” dan kata “rat”. Kata akhir bermakna penghujung dari sebuah peristiwa. Adapun kata rat semakna dengan jagad, alam, dunia, atau semesta. Jadi akhirat dapat diartikan sebagai alam akhir. Gabungan dua kata, “asongan akhirat”, inilah sentra utama pembicaraan dan diskusi yang diangkat dalam Majlis Kenduri Cinta edisi Maret 2013 malam itu di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat.
Jaman sekarang memang jaman edan. Di dalam jaman edan semua tatanan nilai telah mengalami jungkir balik dan kesemrawutan. Yang baik bisa menjadi jelek, sedangkan yang jelek bisa menjadi baik. Kebenaran bisa terbalik menjadi kesalahan, sedangkan kesalahan bahkan menjadi suatu kebenaran. Yang mulia justru direndahkan, sedangkan yang rendahan malah dimuliakan. Koruptor dan maling bisa menjadi pahlawan, sedangkan orang jujur justru dianggap sebagai koruptor, dan lain sebagainya. Semua itu terjadi dikarenakan “kesakitan-kesakitan”, keretakan, dan kesalahan-kesalahan yang sangat mendasar dalam pola pikir manusia Indonesia.Oleh karena itu pada kesempatan tersebut Cak Nun mengajak semua yang hadir untuk kembali merenungkan secara mendasar tentang cara berpikir yang selama ini telah dilakukan. Berpikir merupakan hal yang sangat fundamental di balik perisitiwa-peristiwa yang terjadi di hadapan kita. Banyak kejadian di masa kini yang sama sekali bertentangan ataupun tidak dapat dijelaskan menurut nalar yang sehat. Kenapa hal ini terjadi? Pasti ada sesuatu yang salah dengan cara pikir kita selama ini.
Andai ada seorang Calon Bupati datang ke sebuah pesantren. Sang Kiai menyindir dengan mendehem-dehem, “Arek-arek ki gawe gedung sithok ae ora rampung-rampung, jare isih kurang gendenge!” Si Calon Bupati langsung tanggap dan memerintahkan jajarannya untuk segera membelikan genteng kebutuhan pesantren tersebut. Maka di kalangan penghuni pesantren timbul kesimpulan bahwa calon bupati yang baik adalah yang mau menyumbang untuk keperluan pesantren tersebut. Hal seperti ini dianggap sebagai sebuah kebenaran. Benarkah demikian?
Sebenarnya sang Calon Bupati itu menyumbang ke pesantren apakah benar-benar karena ingin berderma atau bersedekah, ataukah ada maksud udang di balik batu yang lain? Yang terjadi sesungguhnya adalah sang Calon Bupati melakukan hal itu untuk dirinya sendiri, bukan untuk kepentingan pesantren. Ia sebenarnya sedang melakukan penyogokan untuk mendapatkan dukungan suara dalam pencalonannya. Namun apakah pihak pesantren peduli dengan hal itu? Apakah mereka mempertanyaakan uang tersebut apakah uang halal ataukah hasil korupsi? Tidak! Bagi pesantren, yang penting mereka mendapatkan sumbangan untuk kepentingan pembangunan pesantrennya. Perkara dari mana asal uangnya, halal atau haram tidak lagi dpusingkan. Hal ini sudah dianggap bukan masalah lagi!
Semua memang sudah terlanjur menjadi salah kaprah. Sesuatu yang sudah kadung salah kaprah inilah yang seringkali menjungkirbalikkan tata nilai yang sebelumnya kita yakini sebagai suatu pegangan hidup. Kenapa salah kaprah demikian, dan sekian kejadian yang lain, masih terjadi dan kian berlarut-larut? Untuk itu kita secara jujur dan obyektif kita harus mengevaluasi kembali cara dan pola pikir yang selama ini kita lakukan. Kenapa hal ini menjadi sangat penting?
Sebuah nilai kebaikan, kebenaran, dan keindahan hidup, sejatinya berpangkal kepada pola pikir. Cara pikir yang benar akan menghasilkan perkataan yang benar. Perkataan yang benar akan berdampak kepada perbuatan atau kelakuan yang benar. Selanjutnya perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang akan menjadi sebuah kebiasaan. Kebiasaan-kebiasaan akan terhimpun menjadi sebuah nilai kebudayaan. Sebuah kebudayaan yang terus-menerus bertahan konsisten dari waktu ke waktu akan membentuk sebuah peradaban hidup. Di tingkat peradaban, sesuatu yang sudah menjadi peradaban tidak akan bisa diubah oleh manusia, kecuali Tuhan sendiri yang turun tangan untuk menghancurkan sebuah peradaban, sebagaimana telah banyak diriwayatkan dalam kisah-kisah para nabi.
Dalam konteks tindakan korupsi misalkan, tidak sedikit para pengamat maupun aktivis anti korupsi yang sering menyatakan bahwa korupsi sudah menjadi budaya di masyarakat Indonesia. Sesuatu yang telah membudaya akan dianggap biasa dan tidak melanggar nilai. Di negeri ini justru kemudian ketika tidak ikut korupsi malah akan dianggap aneh, tidak umum, bahkan bisa jadi dianggap orang yang tidak waras. Maka urusan memberantas korupsi di negara kita jelas bukan persoalan mudah jika sindrom korupsi justru sudah mendarah daging di setiap jiwa manusia Indonesia.Dalam konteks ibadah sholat, khusuk merupakan tingkatan pencapaian keindahan dalam bersholat. Niat mengerjakan sholat merupakan tindakan kebaikan. Sholat dengan memenuhi semua syarat syah dan kaifiatnya merupakan tindakan kebenaran. Kekhusukan sholat sebagai puncak prestasi sholat menjadi pralambang keindahan. Ketiganya merupakan satu kesatuan utuh yang tidak terpisahkan. Ketiadaan salah satu unsur diantaranya menyebabkan sholat kita tidak diterima oleh Allah.
Sholat yang tidak khusuk ibarat kita mengajak orang lain salaman, namun yang kita ajak bersalaman meskipun mengulurkan tangan untuk menyambut tangan kita tetapi dalam waktu yang bersamaan ia malah memalingkan muka. Bukankah kita akan tersinggung diperlakukan demikian? Kita sholat tetapi hati dan jiwa kita tidak kita hadapkan kepada Allah. Bagaimanakah sikap Allah? Apakah sholat kita kira-kira akan diterima-Nya?
Dikarenakan sesuatu yang besar berasal dari sesuatu hal kecil yang fundamental, maka orang yang mengasong akhirat sejatinya sedang melakukan tindakan-tindakan yang tidak umum, dianggap sia-sia, bahkan dianggap gila guna mengakhiratkan dunia dan menduniakan akhirat. Meskipun sekedar mengasong, dengan telaten melakukan perbaikan dan pembenahan dalam skala kecil, namun kelak di akhirat justru para pengasong inilah yang benar-benar akan memetik panenan karya baktinya ketika masih di dunia. Jangan dikira orang-orang yang sedang panen dengan pangkat, dengan harta, dan jabatan, dengan gelimang uang, mampu “menyumbang” pesantren, bolak-balik umrah dan haji, kelak akan benar-benar panen di akhirat jika semua itu diongkosi oleh keculasan, kecurangan, tipu daya, dan pengkhianatan atas hak rakyat dan ummat. Tuhan jelas tidak bisa diperdayai oleh manusia.
Demikian kira-kira petikan hikmah yang mencerahkan dari kehangatan cinta di Kenduri Cinta yang dipaparkan secara gamblang, jelas dan tuntas oleh Cak Nun. Malam itu penuh kesyahduan suasana jazzy atas hadirnya Mas Benben, Dasta and Friends, Escoret dan Farid Mbah Surip hingga waktu demikian cepat menjelang pagi hari. []
SUMBER: Sang Nananging Jagad
Catatan Kenduri Cinta: ASONGAN AKHERAT
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>