SETELAH bulan sebelumnya ditiadakan, Jumat malam tanggal 8 Februari 2013
Kenduri Cinta kembali hadir di pelataran Taman Ismail Marzuki dengan
mengusung tema ‘Decoding Indonesia Raya’. Dengan dimoderasi oleh Tri Mulyana, beberapa sesepuh KC mengantarkan jamaah pada latar belakang penentuan tema.
“Seperti
biasanya, tema yang diangkat di Kenduri Cinta lebih merupakan lontaran
pertanyaan. Kali ini, pertanyaannya adalah apakah Indonesia sudah
merupakan bentuk yang layak berjalan ataukah masih berupa versi yang
belum sempurna, apakah sudah rilis program yang paling bagus atau masih
beta (Indonesia tanah air beta, begitu kata lagu), apakah sudah berupa
final version atau masih perlu penyempurnaan-penyempurnaan untuk bisa
stabil?” Mas Adi mengawali prolog dengan pertanyaan-pertanyaan.
Mengenai
gerakan perubahan pada Indonesia Raya, Mas Pram menawarkan kemungkinan
lebih mudahnya, yakni dengan terlebih dulu mengubah komponen-komponen
pembangunnya : keluarga masing-masing. Jalannya dengan selalu meng-upgrade fisik,
otak, hati, dan jiwa berdasarkan nilai-nilai yang benar, baik, dan
indah. Untuk perubahan besar, kita mulai dari mengubah fisik menjadi
lebih bersih, sehat, dan wangi, lalu dibarengi dengan peningkatan
pengetahuan secara terus-menerus, serta diimbangi dengan pembersihan
hati dan penyehatan jiwa. “Kenduri Cinta menemani Indonesia melewati
jalannya sejarah melalui individu-individu.”
Mas Ibrahim
menambahi dengan terlebih dulu membahas Kenduri Cinta yang pertama kali
diadakan tahun ini bukan pada Januari melainkan pada Februari.
“Yang
pertama dalam hitungan itu bismillah, yang kedua baru alhamdulillah.
Bismillah kita sudah sejak 12 tahun yang lalu, lalu kapan
alhamdulillahnya? Kadang kita tidak tahu kenapa diperjalankan di
Februari – seperti halnya kenapa dipertemukan dengan ‘taksi’ yang itu
(menggunakan istilah Cak Nun). Ini yang namanya perjodohan. Kita tidak
lepas dari perjodohan ruang dan waktu.”
“Code disebut
di dalam Alquran menggunakan kata ‘ayat’. Kita bisa belajar dari dua
sisi perjalanan panjang manusia. Ada simpul-simpul dalam sejarah di mana
Tuhan menempatkan kejayaan-kejayaan di situ. Pada suatu waktu bendera
kejayaan Tuhan taruh di Amerika, pada waktu yang lain di tempat yang
lain juga. Kita pernah punya Sriwijaya, Majapahit, Kediri, dan masih
banyak lagi.”
Di lingkar satu Kerajaan Kediri ada yang
mencoba-coba berontak. Karena saking saktinya, diusirlah dia dengan cara
diletakkan pada jabatan yang rendah ( di bawah bupati). Dialah Tunggul
Ametung yang berkuasa di Tumapel. Untuk mencapai hasratnya menjadi
orang nomor satu, ditariknya pajak dalam jumlah yang melebihi jumlah
seharusnya. Kelebihan bagian pajak itu digunakan untuk membangun Tumapel
sampai-sampai menyaingi kerajaan Kediri itu sendiri. Rakyat tersiksa.
Pada
masa-masa gelap waktu itu, dihadirkan dalam sejarah seseorang yang
juga gelap. Ken Arok, pemuda itu, mengajak pemuda-pemuda Tumapel untuk
memutus kiriman-kiriman dari Tumapel ke Kediri dengan cara merampoknya.
Hasil rampokan itu dikembalikan lagi kepada rakyat. Jajaran intelijen
Kediri saat itu tak mampu membendung pergerakan rakyat ini.
“Di
jalur Islam, kita melihat Maiyah ini selama 12 tahun perjalanannya
tidak pernah dinilai apapun, tak pernah masuk atau dianggap.
Jangan-jangan kita adalah generasi yang di dalam doa Nabi Zakariya
disebut sebagai generasi yang warisannya hilang? Karena kekhawatiran itu
Beliau berdoa, Robbi latadzarni wa Anta khoirul-warisin (QS Al-Anbiya : 89). Warisan yang dimaksud bisa berupa warisan ilmu, kebudayaan, kesenian, peradaban, etika, dan sebagainya.”
Sebelum
diskusi dilanjutkan, jamaah menyampaikan pertanyaan atau komentar. Mas
Karna, ingin tahu tentang Reboan : bagaimana formatnya dan apa saja
yang dilakukan di sana.
“KC juga melakukan decoding,”
jawab Mas Pram, “Pada tahun 2000 awal kami berdiri, dulu yang tidak
bisa berteriak di istana tempatnya di sini. Pada masa saya dulu tidak
ada Reboan, hanya ada KC untuk mereposisi Indonesia menjadi lebih baik.
Waktu itu muncul tagline ‘Menegakkan cinta menuju Indonesia
mulia’. Pada masa itu gerakan bersifat progresif revolusioner, sangat
berbeda nuansanya dengan saat ini. Dulu penuh sesak sampai ke
jalan-jalan; entah yang 90% itu BIN atau jamaah.”
“Dulu
KC ada untuk mengimbangi macan-macan di istana. Nah, setelah kemudian
macannya hilang, masih perlu nggak kita menjadi macan? Yang kemudian
diperlukan adalah masyarakat yang kembali lahir untuk men-decode nilai
yang sesuai dengan prinsip benar-baik-indah. Perkembangan tiga prinsip
ini tidak mungkin hanya dilakukan sebulan sekali, maka
ditransisikanlah menjadi sekali setiap pekan dan diadakan pada hari
Rabu. Inti dari aktivitas ini adalah saling belajar untuk setiap
harinya berubah menjadi lebih baik.”
“Akibat dari melaksanakan nilai-nilai tadi adalah Anda harus siap sendirian. Yang lain korupsi, Anda enggak.
Anda tahukah, CN itu sendirian atau tidak? Semua datang ke CN hanya
untuk kepentingan mereka – setelah mendapat apa yang dicari, mereka
tinggalkan CN. Pejalan Maiyah adalah pejalan sunyi; tapi sunyi yang
damai. Anda akan memberi manis dunia sekitar dengan nilai yang Anda
pegang.”
“Reboan adalah sarana untuk silaturahmi. Reboan
merupakan komitmen kita sebagai individu-individu yang sungguh-sungguh
bersaudara. Dari Reboan pula tema KC didapatkan. Di Reboan kita
bicarakan KC secara teknis, kita bicarakan ilmu secara lebih mendalam,
kita mempererat pertemanan yang ikhlas. Yang mau merapat di Reboan,
dipersilahkan,” Mas Rusdi menambahkan.
“Jangan lari
sprint karena Anda akan mengalami kelelahan dan kekecewaan yang sangat
fatal. Kalau marathon, Anda akan petik hikmah-hikmahnya. KC pada dua
bulan terakhir memang agak lambat. Kita kemarin memberikan sedikit
metode baru. Dan lagi, ada perbedaan dalam masyarakat di Jakarta dengan
Jogja dan Surabaya.”
Sebagai hiburan, Pak Yovie membawakan dua lagu, masing-masing berjudul Juragan Politik dan jangan Jadikan Aku Presiden. Kemudian dilanjutkan dengan penampilan Mas Beben dan kawan-kawan. Lagu pertama Night and Day dari Cole Porter.
“Orang jazz bukan orang yang ngapalin,
melainkan – sebagaimana diungkapkan oleh Cak Nun – adalah seorang
salikin, pencari kemungkinan-kemungkinan baru. Jazz bukan cuma musik,
melainkan prinsip hidup. Jazz adalah manifestasi atas kebebasan,” ujar
Mas Beben sebelum memainkan lagu kedua, Just The Two Of Us dan lagu ketiga, Fly Me To The Moon.
Hadir di sesi Diskusi ada Teuku Chandra (peneliti simbol), Mas Nanang Hape (dhalang, pengusung Wayang Urban), dengan dimoderasi oleh Mas Ibrahim.
Teuku
Chandra yang sejak tahun 1981 menekuni kegiatan meneliti
simbol-simbol, 17 tahun kemudian menemukan pola yang lalu dituangkannya
dalam ‘9 hipotesis’ di dalam buku yang terbit pada 2003, Selamat Tinggal Indonesia. Seminggu setelah terbit, Beliau dipanggil Menko Polhukam dan mendapatkan ucapan terima kasih.
Pak
Chandra pertama kali pada tahun 1996 mengangkat ke permukaan bahwa ada
kesalahan dalam pemilihan nama Indonesia – pada waktu itu dalam
forum-forum kecil.
Beberapa catatan yang disampaikan oleh Pak Chandra adalah sebagai berikut :
- Imbuhan ke-an menjadikan kata dasar yang diimbuhinya menjadi rusak. Contoh: menteri; ketika diimbuhi menjadi kementerian. Tuhan; ketika diimbuhi menjadi ketuhanan
2. Sebuah kata jika ditambah dengan kata ‘Raya’ akan menjadi kata yang hebat
3. Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945/9 ramadhan, tapi tak pernah berdoa pada tanggal 9 Ramadhan
Mas
Nanang Hape membuka uraiannya dengan mengatakan bahwa di dunia
pewayangan – sebagaimana di pesantren – adalah warisan; melanjutkan
pewarisan cerita-cerita ke generasi berikutnya. Mungkin masa lalu kita
punya banyak cacat, tapi jangan-jangan kita belum cukup mengenalnya.
Sejarah sering dihidangkan dalam bentuk satu sisi mata uang tanpa kita
pernah tahu seperti apa sisi sebaliknya.
Di wayang
dicontohkan ketika Pandawa masih punya musuh bersama, yaitu Kurawa,
mereka bersatu. Pada generasi keduanya, Amarta pernah bergabung (melalui
jalan perkawinan) negeri para raksasa, Pringgondani. Di negeri ini
setiap raksasanya bisa terbang. Ini melambangkan kekuasaan. Perkawinan
antara Bima dengan Arimbi seperti merupakan wujud bahwa Pandawa sudah
meramalkan terjadinya Bharatayuda.
“Ada rahasia-rahasia yang tidak diwariskan. Kita agak kantu ketika
mewariskan. Gathotkaca bukan hanya pendekar yang gagah perkasa, tapi
ia juga setengah raksasa dari darah ibunya. Tak pernah diceritakan
bahwa Gathotkaca punya taring dan pernah membalas raksasa dengan
menggigit.” “Saya kira mesti dibuka sejarahnya dan disebarkan. Di
setiap jaman ada chaos-nya.”
“Tentang jangka
(yang selama ini diartikan sebagai ‘ramalan’), menjangka adalah
menjangkau. Ini bukan soal klenik, tetapi seperti kita membuat
lingkaran. Kalau kita mau menengok sejarah ke belakang, seluas itulah
jangkauan.”
Mas Nanang kemudian bercerita bahwa Sudjiwo
Tedjo pernah mengatakan, “Di tataran makrifat, baik-buruk, kejam-tak
kejam, itu tak ada bedanya.” Balik ditanya, “Berarti negeri ini mau
lanjut atau tidak, mau berubah bentuk atau tidak, itu sama saja?” Beliau
tak bisa menjawab.
“Bicara kedalaman itu untuk diri
sendiri, tapi kalau pas nyembul itu untuk orang lain. Saya anggap
pembicaraan ini sebagai mimpi. Boleh bermimpi, tapi harus berani bangun.
Kalau nggak kerja, nggak akan terjadi riilnya.”
Lantas
Mas Nanang Hape diminta untuk membacakan sebuah puisi yang dibuat dan
dikirim langsung oleh Cak Nun untuk Kenduri Cinta malam ini.
Kenduri Cintaku
Sudah terbunuh beribu kali
Habilku oleh Qabil Indonesiaku
Sudah karam beribu kali
Kapal Nuhku oleh bandang banjir Indonesiaku
Sunyi sepi jiwa Yunusku
Tak kunjung lepas dari panas perut Indonesiaku
Lunglai baja besi kapak Ibrahimku
Di sela reruntuhan berhala-berhala Indonesiaku
Putus leher beribu-ribu Ismailku
Oleh gigir pedang jahiliyah Indonesiaku
Terbelah laut dan tenggelam Firaun oleh tongkat Musaku
Tongkatku patah, lahir Firaun demi Firaun berwajah Musa
Kuthariqati seribu puasa pada setiap hari Daudku
Yang lahir bukan Sulaimanku, melainkan Bulqis klenik Indonesiaku
Tetapi ketika merapuh tulang belulang Zakariaku
Allah mengirim Yahya di pancaran wajahmu
Cahaya menyebar wangi bayi Isa
Puncak adegan segera dikuakkan tabirnya
Menuju penjelmaan kedua Nur Muhammad
Kenduri cintaku menerangi semesta jagat
Yogya, 8 Februari 2013. 22:25 WIB.
Ustadz
Wijayanto yang kebetulan mampir di KC, diminta mengisi waktu beberapa
saat sebelum beliau pulang untuk kembali ke Yogya. “Tidak mudah untuk
membangun Indonesia, harus ada decoding serius. Decoding berasal dari kata code.
Dalam terminologi bahasa ada tiga macam kode, yakni indeks, icon, dan
simbol. Indeks adalah tanda yang hanya berfungsi sebagai pembeda, tidak
memiliki konsekuensi. Icon sudah memiliki makna. Kalau ada gambar kuda
laut, itu berarti menunjukkan Pertamina, dan sebagainya. Sementara
itu, simbol sarat dengan makna dan memiliki konsekuensi. Kalau lampu
merah menyala, Anda harus berhenti.”
Dalam semua aspek diperlukan simbol. Decoding harus menyangkut setiap aspek. Al-aqil yakfi bil isyaroh. Orang pandai cukup dengan isyarat.
“Simbol diperlukan, tapi di atasnya ada nilai (value).
Dalam makan, simbol orang Islam adalah tangan kanan dengan tiga jari.
Tapi nilai terletak bukan pada tiga jarinya, melainkan pada tangan
kanan dan doanya. Doa juga merupakan simbol tapi sayang sekarang
dimaknai berbeda menjadi mantra.”
“Nabi berkata bahwa
tidak akan terkabul doa dari yang hatinya kosong. Kalau fisik tidak
dibarengi pikiran, tak ada artinya. Simbol punya pengaruh pada
perilaku, apalagi kalau si pelaku bisa menangkap nilainya. Nilai
membutuhkan simbol, tapi seringkali simbol tidak sempat dikabarkan
‘mengapa’-nya.”
“Apa yang dipuisikan Cak Nun tadi penuh
dengan nilai. Kita bisa belajar pada perjalanan para Nabi. Kisah Nabi
Nuh beserta keluarganya telah menjadi contoh di dalam Alquran. Nabi Nuh
berdakwah selama 950 tahun dan dalam rentang waktu itu ‘hanya’
mendapatkan 80 orang. Tak tahu apa yang harus dilakukan lagi, Allah
memberikan perintah untuk membuat perahu. Di mata orang-orang
kebanyakan, penyakit gilanya Nabi Nuh bertambah. Sebagai bentuk
cemoohan, berbondong-bondong orang membuang kotoran di perahu Nuh. ‘Dia
yang mengotori, dia yang membersihkan’, begitu janji Tuhan kepada
Nabi-Nya.”
Sesudah kembali bersih perahu Nuh, datanglah
banjir besar. Istri dan anak Nabi Nuh tak termasuk dalam rombongan yang
diselamatkan. Turunlah Surat Asy-Syuara. Keluarga tak terbatas pada
hubungan darah, melainkan mereka yang memiliki ikatan batin.
Kisah
Nabi Nuh dari Ustadz Wijayanto disambung dengan hiburan dari Mas
Ikhwan Ramadhan, yang menyanyikan puisi dari putri Wiji Thukul, Fitri
Nganti Wani, berjudul Pulanglah Pak.
Sehabis itu, tampil di depan sebuah band dari Komunitas Jazz Kemayoran bernama First of December (FOD). Dengan format dua gitar dan satu vokal, FOD menyuguhkan lagu-lagu jazz dengan unsur etnik. A Song for Mr. Jazz, sebuah lagu khusus untuk Mas Beben, My Favorite Things dari The Sound of Music, dan Round Midnight.
“Jazz baru bermakna kalau bermanfaat bagi orang lain,” ujar Mas Beben.
Teuku
Chandra lalu memaparkan hal-hal dalam simbol negara Indonesia yang
semestinya diperbaiki karena melambangkan makna yang tidak baik, yakni :
- Arah lambang negara kita berlawanan dengan arah jarum jam
- Mulut burung garuda terbuka; melambangkan kondisi burung yang sudah tua dan sakit-sakitan
- Sayapnya pendek seperti shuttle cock, berbeda dari sayap burung lambang Amerika yang sayapnya dibuat selebar mungkin
- Kaki burung Garuda diberi beban
- Tidak ada unsur angka 9 dalam lambang negara
Tiga jamaah lalu menyampaikan pertanyaan-pertanyaan mereka :
- Susunan mana dari nama ‘Indonesia’ yang salah? Siapa yang pertama kali mengusulkannya? Apakah arti dari nama saya, Imam Sapargo?
- Apakah berarti logo-logo yang tertera dalam perisai yang dibawa Garuda juga tidak tepat?
- Adakah rumus sederhana dalam membuat nama?
Teuku
Chandra lalu menjawab pertanyaan yang dilontarkan satu demi satu.
Menurut Beliau, yang terpenting dari sebuah nama adalah sisi hoki-nya,
atau keberuntungan.
Nama Indonesia pertama kali ditemukan
oleh seorang ahli etnologi Inggris bernama James Richardson Logan.
Nama ini kemudian digunakan untuk menggantikan nama Hindia-Belanda agar
penjajahan terkesan lebih santun. Nama ini belum punya arti sampai
sekarang. Tapi kalau dilihat nuansanya, bisa dilihat bahwa indo berarti
keturunan dan nesia berarti lupa ingatan. Tak heran kalau sekarang
menjadi seperti ini. Bahkan banyak bisnisnya yang membuat lupa.
Ketidaktepatan
juga menyangkut simbol-simbol dalam perisai Garuda yang melambangkan
setiap sila dalam Pancasila. Bintangnya satu, kurang bersinar. Hal yang
beradab disimbolkan dengan rantai yang membelenggu, persatuan
dilambangkan dengan pohon beringin yang terkenal angker, musyawarah
dilambangkan dengan kepala banteng di mana binatang banteng tak punya
karakter musyawarah, dan keadilan sosial dilambangkan dengan sedikit
padi (rejekinya sedikit) dan banyak kapas (banyak tidur).
“Setiap
menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya sebenarnya Anda sedang
marah pada Indonesia, tercermin dalam lirik ‘..tanah tumpah darahku..’.
kemudian ada ajakan untuk ‘Marilah kita berseru’ yang menunjukkan
bahwa pencapaian tertinggi kita hanya sampai pada ‘berseru’. Dan lagi,
yang didoakan agar bangun jiwa dan badannya bukanlah Indonesia,
melainkan Indonesia Raya.”
“Sebenarnya penggantian nama
bukan merupakan masalah besar. Ada beberapa negara yang pernah
mengganti namanya. Contohnya Malaka, yang kemudian diganti sampai
sekarang menjadi Malaysia. Dari sedikit perubahan itu, dapat kita lihat
bagaimana perkembangan kemajuannya.”
“Dua hal yang bisa
dijadikan pedoman dalam memberi nama adalah : nama belakang lebih
dahsyat daripada nama depan, atau yang lebih sederhana dengan mengambil
nama dari tokoh hebat dari daerah setempat.”
Pukul dua dini hari, Kenduri Cinta disudahi. Mas Rusdi mengajak semua jamaah untuk berdiri dan berdoa bersama.
(Red KC/Ratri Dian Ariani , Dok Foto: Agus Setiawan).
(Red KC/Ratri Dian Ariani , Dok Foto: Agus Setiawan).
Reportase Kenduri Cinta Februari 2013; "DECODING INDONESIA RAYA"
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>