GATRA.com – SAYA sedang menikmati
pemandangan indah: berpendar-pendarnya matahari terbit kebangkitan Islam
di Indonesia. Kekuatan mana di muka bumi ini yang berani melawan
kedahsyatan simpanan kekuatan umat Islam, kalau santri sekelas Amrozi
dan rombongannya saja mampu mengguncang dunia dan memerangahkan bumi?
Dengan kemampuan teknologi bom yang ultramodern?
Ini baru level santri. Belum kiai ini,
kiai itu. Belum Syekh Fulan atau Polan, Habib sana atau Habib sini, atau
Gus Anu atau Gus Ano. Beberapa santri saja sudah cukup membuat Polri,
BIN, Mossad, CIA, dan dinas intelijen Australia porak-poranda
kesombongannya. Baru sekadar Amrozi!
Itu baru Lamongan sayap dusun luar –dunia
sudah guncang. Belum Lamongan bagian Langitan dan kantong-kantong
kekuatan bom Islam lainnya di kabupaten itu. Belum Bojonegoro, Tuban,
Gresik. Jangankan lagi omong Pasuruan, Probolinggo, Jember, Situbondo
–dan jangan pula sebut Jombang! Tandingan Jombang bukan pasukan-pasukan
elite kelas dunia. Jombang disiapkan untuk menaklukkan
ultra-sophisticated teknologi perang Dajjal yang kini ditatar di
kedalaman laut Bermuda Triangle.
Kalau semua kekuatan Islam itu, cukup
Jawa Timur saja, pada suatu hari serempak ber-triwikrama, mateg aji,
unjuk kebolehan, pastilah Amerika dan Eropa rata tanah, seluruh
permukaan bumi jadi padang pasir!
***
Memang, sebagian kecil kaum muslimin
berprihatin dan bersedih hati atas persangkaan dihancurkankannya citra
ulama dan kiai, dirusaknya nama baik dunia pesantren oleh kasus-kasus
terorisme belakangan ini –atas yang mereka sangka tentang nasib Amrozi
dan Imam Samudra. Atas seolah terpecahnya kepemimpinan Islam.
Berserak-serak dan tercerai-berainya kekuatan umat Islam. Atas mitos dan
prasangka tentang krisis moral, krisis akhlak, krisis bermacam-macam
yang akhirnya disebut krisis total, dan sebagainya.
Padahal, Tuhan kasih kunci: “Engkau
menyukai sesuatu yang sebenarnya buruk bagimu, dan engkau membenci
sesuatu yang sesungguhnya baik bagimu.” Apa yang kau sangka pengikisan
nilai Islam ternyata pembangkitan nilai Islam. Sebaliknya, apa yang kau
pikir mengibarkan nilai Islam nanti terbukti justru merusaknya. Apa yang
kau kira de-Islamisasi sesungguhnya memiliki rahasia Islamisasi.
Sebaliknya, apa yang kau yakini sebagai Islamisasi nanti kau jumpai
sebagai proses penyirnaan Islam.
Kalau pengetahuanmu tidak rangkap dan
gampang dijebak oleh sesuatu yang seolah-olah menyenangkan atau
seakan-akan menjengkelkan, engkau akan sangat kaget jika suatu hari
mendengar Amrozi memberikan pengakuan bahwa sesungguhnya dia jualah yang
meledakkan Gunung Papandayan. Dan kalau para aparat tidak mau ngemong
hati orang Islam, siap-siap suatu hari ada pasukan santri siluman lagi
yang meledakkan Gunung Semeru, meletuskan Merapi, serta menumpahkan air
samudra ke permukaan Pulau Jawa.
Hendaknya para penguasa membatasi
keangkuhannya dengan menyadari bahwa para santri memegang warisan
kekuatan-kekuatan dari masa silam: tongkat Nabi Musa, kapak Ibrahim,
keris Kolomunyeng Sunan Giri, tongkat pendek Syekh Abdul Qodir Jaelani,
serban Sunan Kalijaga, Setan Kober Penangsang, Sangkelat Karebet, dan
belum lagi ilmu-ilmu sirrul asror dari Mbah Hamid, Sakajiwa-nya Adipati
Kolopaking, kain mandarnya Imam Lapeo, atau air liur mustajabnya Gus Ud
Kedungcangkring.
Itu semua simpanan baku tradisional umat
Islam. Santri macam Samudra dan Amrozi bukan pemegang warisan kelas
utama. Kalau nanti yang bergerak adalah mbahurekso kaum muslimin
benar-benar, akibatnya tan kinoyo ngopo tan keno kiniro. Tak bisa Anda
bayangkan dan rumuskan.
Sementara itu, jangan disangka umat Islam
adalah kaum yang sibuk membangga-banggakan khazanah masa silam. Kalau
engkau pelajari dengan saksama, kekuatan mutakhir yang dibangun umat
Islam juga tidak bisa diremehkan siapa pun. Baik di bidang politik dan
kekuasaan, di bidang pemikiran, di bidang tarikat dan batiniah, maupun
di bidang teknologi dan budaya.
***
Apalagi kekuatan tasawuf kaum
muslimin. Nashrudin Hoja, sesudah keledainya dicuri orang di halaman
masjid, malah masuk masjid lagi dan bersujud lama sekali. Orang-orang
bertanya: kehilangan kendaraan kok malah bersujud? Nashrudin menjawab:
“Saya tadi melakukan sujud syukur. Sungguh saya berterima kasih kepada
Allah bahwa hanya keledai saya yang hilang, sedangkan diri saya ini
tidak ikut dicuri orang…”
Ini bukan hanya bermakna kritik atas
hilangnya kepribadian manusia yang dicuri kekuatan nafsu kekuasaan,
keserakahan kapitalistik, ditelan ideologi dan bukan me-manage ideologi
pilihannya, dehumanisasi oleh industri, depersonalisasi oleh
komunalisme, lenyapnya kemanusiaan oleh kepandaian atau oleh kebodohan.
Tak hanya itu. Kisah Nashrudin ini juga bermakna sufistik, misalnya
bahwa rezeki itu tidak hanya berbentuk memperoleh atau mendapatkan,
melainkan bisa juga berbentuk kehilangan. Keuntungan tidak selalu
berarti memiliki, bisa juga pada saat tidak memiliki. Kemenangan tidak
hanya berarti menang dalam perebutan dan kenduri, kemenangan malah
mungkin terjadi pada seseorang yang berpuasa dari perebutan, pesta pora,
dan kerakusan.
Orang mengatakan bahwa kekuatan politik
umat Islam terpecah-pecah, karena ia tidak tahu bahwa itu memang
strategi yang disengaja. Politisi Islam tahu, jangan sampai terjadi
hegemoni Islam di negara yang bukan Islam. Islam itu ngemong, bukan
menguasai. Apa yang tampak terpecah-pecah itu sesungguhnya dinamika
pluralisme dalam tubuh umat Islam. Islam itu memerdekakan, membuka pintu
tafsir atau interpretasi seluas jumlah pemeluknya. Bisa ada sejuta
mazhab dalam Islam. Jangankan sekadar beberapa puluh partai politik
Islam.
Orang bilang ekonomi kaum muslimin
terpuruk, karena mereka tidak mengerti pilihan utama pemeluk Islam
berada di tengah-tengah. Ada level ghony, kaya. Ada level miskin dan ada
level fakir. Orang Islam tidak memilih kaya, tapi juga menolak menjadi
fakir. Cukup pilih miskin saja. Rasulullah Muhammad sendiri adalah
‘abdan nabiyya: Nabi yang rakyat jelata. Beliau ditawari punya kekuasaan
dan kekayaan seperti Nabi Sulaiman, namun menolak.
Itu pun, umumnya kaum muslimin masih
tergolong kaya dibandingkan dengan Nabi Muhammad, yang rumah tinggalnya
bersama Siti Aisyah panjangnya hanya 4,80 m, lebarnya 4,62 m. Itu pun
tanpa kulkas, tanpa VCD player, AC, furnitur, dan aksesori. Jadi, kalau
dari sisi negatif, perekonomian umat Islam seperti terpuruk, dari sisi
positif hal itu menunjukkan bahwa mereka lebih memilih kekayaan akhirat
daripada kekayaan dunia.
***
Jadi, apa yang perlu dicemaskan dari
keadaan umat Islam di Indonesia? Kalau dikalahkan di dunia, toh engkau
menang di akhirat. Dunia cuma sekejap, akhirat abadi. Apa keberatanmu?
Kalau namamu dicoreng kehinaan di bumi,
engkau memperoleh kemuliaan di langit. Bumi hanya mikrokosmos, sedangkan
langit makrokosmos. Apa alasanmu untuk tidak bersyukur?
Makin namamu dihancurkan, ditangkap,
dihukum di dunia, makin populer dan tinggi indah kursimu di surga.
Nikmat Allah yang mana yang masih engkau dustakan?
Allah menagih jihadmu, dan tidak
mempertanyakan kemenangan duniawimu. Allah menantikan syahidmu, dan
membayar penderitaan duniamu dengan pendaran-pendaran cahaya wajah-Nya
sendiri yang abadi menggiurkanmu.
Katakanlah kita mulai kehilangan Buya
Hamka, kita memiliki yang lebih dari itu: Quraish Shihab. Kita
kehilangan Muhammad Natsir, malah muncul Yusril Ihza Mahendra. Mulai
kehilangan Cak Nurcholish Madjid, malah dianugerahi Ulil Abshar Abdalla.
Umpamanya pun kehilangan Ustad Zainuddin MZ, kita punya yang lebih
dimensional: Aa Gym. Dan kalaupun akhirnya pada suatu hari nanti Gus Dur
uzur, kita punya Saifullah Yusuf.
Kita punya banyak tokoh Islam
fenomenologis. Pemikiran-pemikirannya mungkin menggelisahkan dan
menjengkelkan ulama-ulama tua, tapi lambat laun orang-orang tua harus
belajar kepada anak-anaknya.
Mereka itu letaknya di pinggir, tak
terlalu dianggap kental Islamnya, tapi nanti akan ternyata keilmuannya
memang ijtihadiyah –hanya saja, kita orang-orang tua terlambat
memahaminya.
Kita punya banyak Nashrudin lain.
Kecenderungan sikapnya seolah bertentangan dengan tradisi konvensional
kaum tua. Padahal, sungguh kritik mereka sangat menohok. Setelah kaum
muslimin “kehilangan keledai”, Nashrudin-Nashrudin ini seakan tidak
menunjukkan sikap militan untuk mengutuk si pencuri. Mereka malah
kelihatan seperti melakukan sujud syukur atas tertangkapnya Ustad
Ba’asyir, Amrozi, dan Samudra. Bahkan terdengar seakan memuji-muji pihak yang dianggap musuh dan justru kaannahum mengutuk saudara-saudaranya seagama.
Itu semata-mata karena model kritisisme
Nashrudin memang mempersyaratkan kecerdasan pikiran tingkat tinggi,
kepekaan dan kejernihan hati yang sungguh-sungguh –untuk mampu
menangkapnya. Itulah sebabnya, “yang kau anggap baik ternyata berbahaya,
yang kau anggap buruk malah sebenarnya baik”. Islam liberal malah
dicurigai, sementara Islam sensual justru dibiarkan saja merajalela di
mana-mana dari kampus-kampus hingga mal-mal.
***
Sungguh saya menikmati berpendarnya
matahari kebangkitan Islam di Nusantara, terutama selama Ramadan, ketika
siang, malam, pagi, sore, kita diguyur kenikmatan dan kemuliaan
acara-acara Ramadan di sekian banyak siaran (syiar) televisi. Engkau
yang berpengalaman melanglang buana ke mancanegara, jawablah apa ada
Ramadan sesemarak tayangan TV-TV kita?
Engkau ingat hukum kompetensi: yang
berwenang atas kualitas dunia sepak bola adalah PSSI, tinju adalah KTI,
tepung adalah Bogasari, rawon adalah Probolinggo, dan gudeg adalah
Yogyakarta. Jangan pesan gudeg ke Banyuwangi, jangan cari petinju hebat
ke PSSI, dan jangan menambal ban bocor ke penjual rujak. Kalau mau
berdakwah, PSSI-nya adalah ulama.
Siaran TV Ramadan memuat
penyamaran-penyamaran strategis yang tentu didasarkan pada tiga prinsip
dakwah: dengan hikmah, perlakuan yang tepat, menyerbu konsumen
berdasarkan apa yang baik bagi konsumen. Kalau Topan-Leysus ada tanpa
ustad, acara bisa tetap jalan. Kalau hanya ustad yang ada sedangkan
Topan-Leysus tak ada, acara bisa batal. Demikian juga yang primer adalah
Eko Patrio dan Ulfah Dwiyanti, Taufiq Savalas dan Elma Theana, dan
seterusnya. Ustad yang hadir berposisi sekunder.
Apakah industri TV melanggar prinsip
kompetensi? Tidak. Itu yang disebut penyamaran strategis. Supaya orang
lain tak gampang mengidentifikasi kita, maka hijau disamarkan dengan
kuning, merah disamarkan dengan jingga. Ustad atau kiai yang
sesungguhnya adalah Topan, Leysus, Eko, Taufiq, dan lain-lain. Kiai yang
tawadlu adalah yang menghindarkan diri dari sifat-sifat yang Tuhan
tersinggung kepada pelakunya: riya’, takabur, ujub, suka pamer,
menonjol-nonjolkan diri.
Kiai-kiai sejati kita itu sepanjang tahun
tidak pernah menunjukkan siapa mereka sebenarnya, tidak pernah
memamerkan kekiaiannya, mereka menyamar jadi artis. Hanya pada Ramadan
mereka harus polos luar-dalam, sebab puasa adalah ibadah yang diminta
Allah pribadi secara langsung.
Siapa tahu, ternyata mereka itulah Wali Songo abad ke-21.
BZ3QBEP842ZS
[Emha Ainun Nadjib, Budayawan]
BZ3QBEP842ZS
[Emha Ainun Nadjib, Budayawan]
[Kolom, GATRA, Nomor 04 Beredar Kamis 13 Desember 2002]
Berpendar-pendarnya Matahari Islam
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>