(Reportase Maiyahan di Batang Jawa Tengah)
NADA dering handphone saya berbunyi, pertanda kalau ada pesan pendek masuk. Saya buka inbok, ternyata sms dari seorang teman yang sekarang merantau di Surabaya. Ia memberitahu kalau pada malam satu januari, atau lebih tepatnya malam tahun baru, di Alun-alun Batang Jawa Tengah, akan diselenggarakan Maiyahan. Teman saya ini adalah Jamaah Maiyah Bangbang Wetan Surabaya.
Ternyata istri saya juga membaca isi sms itu. Ia langsung merespon, “Pokoknya, kita harus berangkat,” demikian istriku meminta. Maklumlah, karena kesibukan sebagai Ibu rumah tangga, tak mungkin lagi dia bisa seperti dulu, selalu aktif menghadiri Mocopat Syafaat ketika masih menuntut ilmu di Yogyakarta. Kini, guru kami akan mengunjungi Kota Batang yang bersebelahan dengan Kabupaten Pekalongan, kota yang sekarang kami tempati, tentu saja kami tak menyia-nyiakan kesempatan itu.
Memasuki hari senin, langit diliputi mendung yang semakin menebal. Mendung itu mencurahkan tetesannya selepas ashar tiba. Hanya Allah yang tahu. Dan hanya para ‘petugas dinas hujan’ yang tahu rahasianya, kenapa hujan diguyurkan selepas ashar. Saya hanya bisa menebak dalam hati, ketika maghrib tiba, mungkin hujannya mereda.
Saya yang waktu itu berniat ingin menemui Cak Nun sebelum beliau naik panggung, sangat tak disangka melihat kedatangan Cak Nun memasuki pendopo Kabupaten Batang. Gayung bersambut, tanpa sungkan saya mendekati. Tergerai rambut ikal sebahu menambah kegagahan beliau. Waktu itu, beliau duduk bersebelahan dengan Ustadz Solmed. Tanpa ba bi bu, saya meraih tangan beliau lalu saya cium. Semerbak aroma wangi menelusup ke hidung. Saking bahagianya ketemu guru yang sudah lama saya rindukan. Saya lupa untuk berjabat tangan dengan Ustadz Sholmed. Maaf Ustadz.
Saya langsung menyodorkan sebotol air mineral yang tutupnya sudah dibuka, “Nuwun pandongane Cak.” Belum juga saya meneruskan omongan, Cak Nun begitu cepat merespon, “Ustadz Solmed yang memberikan doa, nanti saya amini,” demikian beliau berkata. Tangan kiri Cak Nun memegang sebotol air mineral ukuran satu liter, tangan kanannya memegang bahu saya. Betapa bahagianya hati ini, di pegang guru sejati yang beberapa tahun ini tak pernah berjumpa lagi. Rinduku terobati.
Setelah Ustadz Solmed memberikan doa, dan Cak Nun mengamininya, beliau kemudian menepuk-nepuk pundak saya sambil bertanya, “Hati yang sakit, ataukah hati yang berpenyakit?” Saya berfikir sebentar, lantas menjawab, “Hati yang berpenyakit.” “Bagus, kalau hatinya sakit tidak usah diobati.” Kata-kata itu sampai sekarang masih saya pikirkan, dan belum menemukan hidayah untuk memahaminya secara benar.
Setelah bertemu dengan Cak Nun, saya dan istri menerobos ribuan orang yang berkerumun di sekitar panggung. Ingin mendekat , supaya bisa menyimak setiap kata yang disampaikan Cak Nun. Agaknya Ustadz Solmed sudah memulai ceramahnya. Ia menerangkan tentang syukur. Ia memeragakannya dengan memberikan uang seratus ribu kepada janda yang diundangnya ke panggung.
Setelah Ustadz menyelesaikan ceramahnya. Personel Kiai Kanjeng dengan pakaian serba hitam menaiki panggung dan duduk di belakang alat musiknya masing-masing. Disusul Cak Nun menaiki panggung dengan menenteng kupluk Maiyah. Disamping kiri Cak Nun, ada Mas Yoyok Selaku Bupati Batang. Di samping kanan, ada Ustadz Solmed. Cak Nun bertanya kepada para hadirin tentang siapa nama orang disamping kanan kirinya. Mereka bersahutan menjawab “Pak Yoyok, Ustadz Solmed.”
Menurut Cak Nun, “Solmed itu singkatan dari Shollallohu Ala Muhammed. Mudah-mudahan besok-besok TV bilang Solmad, bukan Solmed lagi.” Ustadz Solmed hanya tersenyum. Cak Nun juga mengapresiasi Bupati Batang yang usianya lebih muda dibanding anak pertamanya, Sabrang Mawa Damar Panuluh, yang akrab dipanggil Noe."
“Saya baru pertama kali menemukan bupati yang memakai celana jeans, baju jeans, dan sepatu kets. Pakaiannya seperti pakaian rakyatnya,” Mendengar penuturan Cak Nun, Bapak Bupati hanya tersenyum. “Sayangnya ia tidak berkumis dan tidak gondrong. Tapi tidak apa-apa, saya gondrong dan kumisan ini karena untuk menyeimbangkan wajah saya. Karena wajah saya ini penceng.” kata Cak Nun apa adanya.
Cak Nun dengan pakaian serba putih terus melayani setiap orang, mengajak kepada masyarakat. “Agar lebih pas. Kita membaca al-Qur’an bersama-sama dulu. Surat yang pendek-pendek saja. Tiga Qul, atau ayat kursi dulu.” Sambil memanggil beberapa anak kecil agar menaiki panggung untuk membacakan ayat kursi bersama-sama. Beberapa anak yang dipanggilnya tak bersedia, karena malu. Tiba-tiba dari samping panggung, ada anak putri berjilbab berjalan mendekati Cak Nun. Cak Nun merangkulnya, memberikan microphone, dan menanyakan nama bapak ibunya. Setelah ditanya Cak Nun anak kecil itu ternyata hafal doa khataman Qur’an Allahummarhamni bil Qur’an…
“Kita anggap selama setahun telah menyelesaikan al-Qur’an, dan besok kita mulai dari al-Baqarah lagi.” Lalu kita para hadirin mengikuti lantunan doa yang banyak dihafal murid-murid TPQ TPA itu. Dengan alunan nada demi nada dari Kiai Kanjeng, kita serempak terhanyut. “ya Allah kasihanilah kami….”
Selepas membaca doa hataman Qur’an, Cak Nun mengajak membaca ayat Kursi. “Membaca ayat kursi, berarti kita dijamin aman dari sentuhan kejahatan makhluk apapun dan siapapun. Dengan ayat kursi ini, semoga kursi kekuasaannya bapak bupati tambah bermanfaat untuk rakyatnya.” Beliau meminta ustadz Solmed mengartikan “wa laa ya’ uduhu khifdzuhuma wahuwal ‘aliyyul adhim". Tetapi Ustadz Solmed mempersilahkan Kiai, -begitu Ustadz Solmed menyebut Cak Nun- untuk menerjemahkannya. “Wa laa ya’uduhu khifdzuhuma, berarti tidak akan ada satu kejahatan makhlukpun yang bisa menembus penjagaan Tuhan.” terang Caknun. Dipandu Cak Nun, jamaah membaca ayat kursi. “Allahu laa ilaaha illa huwal hayyul qayyum…” bersama-sama.
Selesai baca Ayat Kursi, kita dituntun baca tiga Qul oleh Cak Nun. Lalu Cak Nun menanyai kepada Bapak Yoyok, selaku bupati Batang, “keinginan-keinginannya apa?” tanya Cak Nun. Bupati berharap dengan momentum perenungan pada malam tahun baru, bisa mengoreksi diri sendiri, lalu bisa meninggalkan kesalahan, dan meraih kebaikan-kebaikan. Kata Bapak Yoyok, “batang yang baru, adalah batang yang anti korupsi, perlu diketahui bahwa uang pendapatan daerah maupun dari pusat pada tahun ini tidak ada yang digunakan untuk membeli mobil dinas seperakpun.” Diapresiasi oleh pengunjung dengan bertepuk tangan.
“Selama ini kita merayakan tahun baru dengan hura-hura, hiburan yang tidak ada manfaatnya kebaikannya. Itu salah, maka pada malam hari ini kita memilih malam permenungan, hingga kita mengundang Cak Nun, Kiai Kanjeng dan Ustadz Solmed” Terang Bupati Yoyok dengan seulas senyum ramah.
“Menurut Bapak Bupati, bahwa tahun baru ini layaknya idul fitri, selalu berusaha untuk kembali ke fitrah. Jadi pergantian tahun, harus ditandai dengan kembali ke fitrahnya manusia.” Kurang lebihnya begitu Kata Cak Nun.
Cak Nun juga membahas tentang kalender hijriah dan masehi, atau penanggalan apapun itu merupakan hasil dari kesepakatan orang-orang, bukan alamiah dari alam. Jadi yang menentukan satu januari itu orang. Bedanya kalau Masehi ditandai dengan kelahiran Isa al-Masih, sehingga sebutannya Masehi, sedangkan hijriah diawali oleh pekerjaannya Nabi, yakni hijrah.
Cak Nun bertanya kepada masyarakat batang, “coba sebutkan tiga makanan khas Batang.” Mereka menjawabnya, “megono, srabi, mendoan.” “srabi dan mendoan dimana saja ada, jadi bukan khas batang.” Para hadirin kebingungan mencari makanan khas lainnya. Megono pun itu bukan khas batang, karena asal usul megono dari Pekalongan. “tapi tak apalah kita pakai srabi dan mendoan itu” kata Cak Nun dalam posisi berdiri, dan bergerak ke kanan-kiri panggung “kita bagi menjadi tiga kelompok, sebelah kanan kelompok mendoan, tengah srabi dan kiri megono.” Cak Nun melafadzkan megono dengan Begono. “Kita bersama-sama bershalawatan.”
Cak Nun memandu tiga kelompok untuk secara kompak melafadlkan shalawat “Alhamdulillah,” untuk kelompok mendoan, “Wasyukrulillah,” kelompok srabi, dan kelompok megono “Azka Shalati wasalami lirasuulillah.” Masing-masing kelompok melafalkan dengan terang.
Kelompok ketiga yang melafadzkan shalawat yang paling panjang pun, mereka mampu. Diantara hadirin ada yang melafadzkan wasyukrulillah dengan wasyukurillah. Di luruskan oleh Cak Nun bahwa yang benar adalah wasyukrulillah. Masing-masing kelompok melafalkan dengan kompak, dan ternyata sudah banyak yang hafal. “lihat Mas Yoyok, bahwa rakyat panjenengan sudah menyatu dengan Rasulullah. Mereka semua hafal dengan shalawatan ini.” Secara bergantian Cak Nun melukir pelafalan shalawat untuk tiga kelompok. Mereka dengan kompak melafalkan shalawat yang dipandu Cak Nun. Mereka kebanyakan menguasai shalawat itu.
Cak Nun mengundang perwakilan dari ulama Batang untuk sedia menaiki panggung, “kami Ustadz Sholmed disini tamu, dan kalianlah tuan rumahnya, maka kalian yang pantas memberikan doa.” Demikian Cak Nun memberikan arahan kepada ketiga kiai yang mewakili ulama Batang.
“Bahwa ada ketidakrelaan dari murid-muridnya Musa untuk meracuni manusia agar menjauhi Tuhan dan Rasulnya. Tapi, selama di kampung-kampung, di pedesaan masih ada para kiai, dan ulama seperti mereka, maka kita bisa tenang. Karena mereka yang akan menjaga generasi dari peracunan itu.” Terang Cak Nun sambil mengapungkan tangan kearah tiga kiai yang duduk berderet.
“Saya akan bertanya kepada semua yang hadir disini. Kira-kira dosa besar apa yang pernah diperbuat?” tanya Cak Nun. Bersahutan mereka menjawab, “durhaka kepada suami, selingkuh, kumpul kebo,” suasana riuh rendah yang dihiasi seorang ibu naik kepanggung yang berniat akan curhat, di tengah lantunan lagu dan shalawat. Kata Cak Nun, “nanti ada waktunya tersendiri.”
“Gak ada yang maling ya… paling ngutil dikit-dikit.” Kali ini Cak Nun dan rombongan Kiai Kanjeng terlihat tak ada yang merokok. “Allah menyediakan ampunan begitu luas, hingga jenis ampunan yang diberikan oleh Allah begitu banyak.” Cak Nun bertanya kepada ketiga Kiai itu, “dalam al-Qur’an jenis-jenis ampunan Allah apa lagi?” ketiga kiai itu bimbang untuk menjawab, kemudian Cak Nun meneruskan sabdanya “Ada tawwab, ghafur, ghafar, ‘affuw dan lainnya. Itu berarti bahwa pengampunan Allah itu luas, besar melebihi besarnya dosa kita. Jenis kesalahan apapun sudah disediakan pengampunannya.”
Mas Islamyanto mendekati Bupati untuk menyodorkan buku kumpulan lyric. Lalu disusul dengan membawakan lagu Sebelum Cahaya secara bersamaan dari kelompok music Letto asal Yogyakarta yang vokalisnya bernama Noe, anak mbarep Emha. “ku teringat hati…yang bertabur mimpi…kemana kau pergi…cintaaaa…”
Cak Nun memperhatikan Ibu-Ibu, Bapak-bapak yang kurang bisa mengikuti lagu tersebut. “Mungkin lagu tadi terlalu muda, bagi bapak, dan ibu.” Terang Cak Nun, “Kita bawakan lagu ini saja, rasa cinta….pasti ada…pada makhluk yang bernyawa…” Semua bersama-sama membawakan lagu pengantar kemesraan ini, sambil mulut hadirin-hadirat menyungging senyuman. Ada yang berlenggak lenggok. Juga ada empat anak usia belasan tahun. Yang berjoget di bawah panggung. Kemudian oleh Cak Nun mereka ditarik untuk menaiki panggung, agar mereka berjoged di atas panggung. Tangan Cak Nun memutar mereka agar menghadap ke penonton. Satu diantara bertiga anak berjoged dengan memutarkan daerah pantat/ daerah syahwat.
“Kita melihat tadi anak ini menggoyangkan pantat” sambil menunjuk ke area syahwat. Menurut Cak Nun goyangan pantat merupakan penonjolan syahwat, sedangkan tarian ala rodat yang mengunci daerah syahwat, sehingga gerakannya ada di sekitar pusar ke atas.
Cak Nun meneruskan bertanya, “Kalau di sebut nama Mas Yoyok, yang terbayang apanya? Pantatnya apa wajahnya” hadirin menjawab serentak “Wajahnya.” “kalau Inul?” “pantatnya.” “Kalau bikin KTP yang difoto pantatnya apa wajahnya? Kalau kentut kira-kira yang malu pantatnya apa wajahnya?” hadirin menjawab satu persatu pertanyaan itu. identitas manusia menurut Cak Nun diwakili oleh wajahnya. Dan kalau menutup aurat itu yang terutama ditutup adalah daerah syahwat bukan kepalanya ditutup tetapi, daerah syahwatnya ngapret.
“Saya belum punya kenangan apapun dari Bapak Bupati, agar nanti saya pulang ke Jogja punya kenangan dari bapak bupati. Saya minta satu dua lagu dari Bapak Bupati, tapi entah apakah nanti Kiai Kanjeng bisa mengiringinya dengan music, lagu yang akan dibawakan Bapak Bupati.” Cak Nun meminta Bapak Yoyok membawakan lagu. Bupati muda ini memilih membawakan lagu Jawa. Lir ilir tandure wus sumilir….
Secara bersamaan, diiringi music dari Kiai Kanjeng kita membawakan lagu lir ilir.
Malam semakin larut dalam pencerahan, dalam alunan music, dalam dzikir-dzikir alam. Air hujan tampak turun, tetapi tak tega membasahi para hadirin yang datang dari berbagai dusun dan kampong ini.
Jelang pukul 00:00 lampu dimatikan, “kita khusyuk kepada Allah, memejamkan mata, pandangan mata tidak melihat Ustadz Solmed, Saya dan Bapak Bupati.” Pinta Cak Nun. Dalam hatiku berujar mungkin akan didendangkan syair shohibul baiti. Music Kiaikanjeng telah beralun, tetapi ada gangguan teknis yang segera membuat Cak Nun bergegas ke belakang mengonfimasi kesalahan teknis kepada personel Kiai Kanjeng. Lampu dinyalakan lagi. Kemudian diganti shalawatan bersama-sama.
Acara dipungkasi dengan bersalaman. Wallahu ‘alaam
Pekalongan, 20:11
Kamis, 5 Rabiul Awwal 1434 H (17 Januari 2013 M)
Ahmad Saifullah www.maiyah.net
Ternyata istri saya juga membaca isi sms itu. Ia langsung merespon, “Pokoknya, kita harus berangkat,” demikian istriku meminta. Maklumlah, karena kesibukan sebagai Ibu rumah tangga, tak mungkin lagi dia bisa seperti dulu, selalu aktif menghadiri Mocopat Syafaat ketika masih menuntut ilmu di Yogyakarta. Kini, guru kami akan mengunjungi Kota Batang yang bersebelahan dengan Kabupaten Pekalongan, kota yang sekarang kami tempati, tentu saja kami tak menyia-nyiakan kesempatan itu.
Memasuki hari senin, langit diliputi mendung yang semakin menebal. Mendung itu mencurahkan tetesannya selepas ashar tiba. Hanya Allah yang tahu. Dan hanya para ‘petugas dinas hujan’ yang tahu rahasianya, kenapa hujan diguyurkan selepas ashar. Saya hanya bisa menebak dalam hati, ketika maghrib tiba, mungkin hujannya mereda.
Saya yang waktu itu berniat ingin menemui Cak Nun sebelum beliau naik panggung, sangat tak disangka melihat kedatangan Cak Nun memasuki pendopo Kabupaten Batang. Gayung bersambut, tanpa sungkan saya mendekati. Tergerai rambut ikal sebahu menambah kegagahan beliau. Waktu itu, beliau duduk bersebelahan dengan Ustadz Solmed. Tanpa ba bi bu, saya meraih tangan beliau lalu saya cium. Semerbak aroma wangi menelusup ke hidung. Saking bahagianya ketemu guru yang sudah lama saya rindukan. Saya lupa untuk berjabat tangan dengan Ustadz Sholmed. Maaf Ustadz.
Saya langsung menyodorkan sebotol air mineral yang tutupnya sudah dibuka, “Nuwun pandongane Cak.” Belum juga saya meneruskan omongan, Cak Nun begitu cepat merespon, “Ustadz Solmed yang memberikan doa, nanti saya amini,” demikian beliau berkata. Tangan kiri Cak Nun memegang sebotol air mineral ukuran satu liter, tangan kanannya memegang bahu saya. Betapa bahagianya hati ini, di pegang guru sejati yang beberapa tahun ini tak pernah berjumpa lagi. Rinduku terobati.
Setelah Ustadz Solmed memberikan doa, dan Cak Nun mengamininya, beliau kemudian menepuk-nepuk pundak saya sambil bertanya, “Hati yang sakit, ataukah hati yang berpenyakit?” Saya berfikir sebentar, lantas menjawab, “Hati yang berpenyakit.” “Bagus, kalau hatinya sakit tidak usah diobati.” Kata-kata itu sampai sekarang masih saya pikirkan, dan belum menemukan hidayah untuk memahaminya secara benar.
Setelah bertemu dengan Cak Nun, saya dan istri menerobos ribuan orang yang berkerumun di sekitar panggung. Ingin mendekat , supaya bisa menyimak setiap kata yang disampaikan Cak Nun. Agaknya Ustadz Solmed sudah memulai ceramahnya. Ia menerangkan tentang syukur. Ia memeragakannya dengan memberikan uang seratus ribu kepada janda yang diundangnya ke panggung.
Setelah Ustadz menyelesaikan ceramahnya. Personel Kiai Kanjeng dengan pakaian serba hitam menaiki panggung dan duduk di belakang alat musiknya masing-masing. Disusul Cak Nun menaiki panggung dengan menenteng kupluk Maiyah. Disamping kiri Cak Nun, ada Mas Yoyok Selaku Bupati Batang. Di samping kanan, ada Ustadz Solmed. Cak Nun bertanya kepada para hadirin tentang siapa nama orang disamping kanan kirinya. Mereka bersahutan menjawab “Pak Yoyok, Ustadz Solmed.”
Menurut Cak Nun, “Solmed itu singkatan dari Shollallohu Ala Muhammed. Mudah-mudahan besok-besok TV bilang Solmad, bukan Solmed lagi.” Ustadz Solmed hanya tersenyum. Cak Nun juga mengapresiasi Bupati Batang yang usianya lebih muda dibanding anak pertamanya, Sabrang Mawa Damar Panuluh, yang akrab dipanggil Noe."
“Saya baru pertama kali menemukan bupati yang memakai celana jeans, baju jeans, dan sepatu kets. Pakaiannya seperti pakaian rakyatnya,” Mendengar penuturan Cak Nun, Bapak Bupati hanya tersenyum. “Sayangnya ia tidak berkumis dan tidak gondrong. Tapi tidak apa-apa, saya gondrong dan kumisan ini karena untuk menyeimbangkan wajah saya. Karena wajah saya ini penceng.” kata Cak Nun apa adanya.
Cak Nun dengan pakaian serba putih terus melayani setiap orang, mengajak kepada masyarakat. “Agar lebih pas. Kita membaca al-Qur’an bersama-sama dulu. Surat yang pendek-pendek saja. Tiga Qul, atau ayat kursi dulu.” Sambil memanggil beberapa anak kecil agar menaiki panggung untuk membacakan ayat kursi bersama-sama. Beberapa anak yang dipanggilnya tak bersedia, karena malu. Tiba-tiba dari samping panggung, ada anak putri berjilbab berjalan mendekati Cak Nun. Cak Nun merangkulnya, memberikan microphone, dan menanyakan nama bapak ibunya. Setelah ditanya Cak Nun anak kecil itu ternyata hafal doa khataman Qur’an Allahummarhamni bil Qur’an…
“Kita anggap selama setahun telah menyelesaikan al-Qur’an, dan besok kita mulai dari al-Baqarah lagi.” Lalu kita para hadirin mengikuti lantunan doa yang banyak dihafal murid-murid TPQ TPA itu. Dengan alunan nada demi nada dari Kiai Kanjeng, kita serempak terhanyut. “ya Allah kasihanilah kami….”
Selepas membaca doa hataman Qur’an, Cak Nun mengajak membaca ayat Kursi. “Membaca ayat kursi, berarti kita dijamin aman dari sentuhan kejahatan makhluk apapun dan siapapun. Dengan ayat kursi ini, semoga kursi kekuasaannya bapak bupati tambah bermanfaat untuk rakyatnya.” Beliau meminta ustadz Solmed mengartikan “wa laa ya’ uduhu khifdzuhuma wahuwal ‘aliyyul adhim". Tetapi Ustadz Solmed mempersilahkan Kiai, -begitu Ustadz Solmed menyebut Cak Nun- untuk menerjemahkannya. “Wa laa ya’uduhu khifdzuhuma, berarti tidak akan ada satu kejahatan makhlukpun yang bisa menembus penjagaan Tuhan.” terang Caknun. Dipandu Cak Nun, jamaah membaca ayat kursi. “Allahu laa ilaaha illa huwal hayyul qayyum…” bersama-sama.
Selesai baca Ayat Kursi, kita dituntun baca tiga Qul oleh Cak Nun. Lalu Cak Nun menanyai kepada Bapak Yoyok, selaku bupati Batang, “keinginan-keinginannya apa?” tanya Cak Nun. Bupati berharap dengan momentum perenungan pada malam tahun baru, bisa mengoreksi diri sendiri, lalu bisa meninggalkan kesalahan, dan meraih kebaikan-kebaikan. Kata Bapak Yoyok, “batang yang baru, adalah batang yang anti korupsi, perlu diketahui bahwa uang pendapatan daerah maupun dari pusat pada tahun ini tidak ada yang digunakan untuk membeli mobil dinas seperakpun.” Diapresiasi oleh pengunjung dengan bertepuk tangan.
“Selama ini kita merayakan tahun baru dengan hura-hura, hiburan yang tidak ada manfaatnya kebaikannya. Itu salah, maka pada malam hari ini kita memilih malam permenungan, hingga kita mengundang Cak Nun, Kiai Kanjeng dan Ustadz Solmed” Terang Bupati Yoyok dengan seulas senyum ramah.
“Menurut Bapak Bupati, bahwa tahun baru ini layaknya idul fitri, selalu berusaha untuk kembali ke fitrah. Jadi pergantian tahun, harus ditandai dengan kembali ke fitrahnya manusia.” Kurang lebihnya begitu Kata Cak Nun.
Cak Nun juga membahas tentang kalender hijriah dan masehi, atau penanggalan apapun itu merupakan hasil dari kesepakatan orang-orang, bukan alamiah dari alam. Jadi yang menentukan satu januari itu orang. Bedanya kalau Masehi ditandai dengan kelahiran Isa al-Masih, sehingga sebutannya Masehi, sedangkan hijriah diawali oleh pekerjaannya Nabi, yakni hijrah.
Cak Nun bertanya kepada masyarakat batang, “coba sebutkan tiga makanan khas Batang.” Mereka menjawabnya, “megono, srabi, mendoan.” “srabi dan mendoan dimana saja ada, jadi bukan khas batang.” Para hadirin kebingungan mencari makanan khas lainnya. Megono pun itu bukan khas batang, karena asal usul megono dari Pekalongan. “tapi tak apalah kita pakai srabi dan mendoan itu” kata Cak Nun dalam posisi berdiri, dan bergerak ke kanan-kiri panggung “kita bagi menjadi tiga kelompok, sebelah kanan kelompok mendoan, tengah srabi dan kiri megono.” Cak Nun melafadzkan megono dengan Begono. “Kita bersama-sama bershalawatan.”
Cak Nun memandu tiga kelompok untuk secara kompak melafadlkan shalawat “Alhamdulillah,” untuk kelompok mendoan, “Wasyukrulillah,” kelompok srabi, dan kelompok megono “Azka Shalati wasalami lirasuulillah.” Masing-masing kelompok melafalkan dengan terang.
Kelompok ketiga yang melafadzkan shalawat yang paling panjang pun, mereka mampu. Diantara hadirin ada yang melafadzkan wasyukrulillah dengan wasyukurillah. Di luruskan oleh Cak Nun bahwa yang benar adalah wasyukrulillah. Masing-masing kelompok melafalkan dengan kompak, dan ternyata sudah banyak yang hafal. “lihat Mas Yoyok, bahwa rakyat panjenengan sudah menyatu dengan Rasulullah. Mereka semua hafal dengan shalawatan ini.” Secara bergantian Cak Nun melukir pelafalan shalawat untuk tiga kelompok. Mereka dengan kompak melafalkan shalawat yang dipandu Cak Nun. Mereka kebanyakan menguasai shalawat itu.
Cak Nun mengundang perwakilan dari ulama Batang untuk sedia menaiki panggung, “kami Ustadz Sholmed disini tamu, dan kalianlah tuan rumahnya, maka kalian yang pantas memberikan doa.” Demikian Cak Nun memberikan arahan kepada ketiga kiai yang mewakili ulama Batang.
“Bahwa ada ketidakrelaan dari murid-muridnya Musa untuk meracuni manusia agar menjauhi Tuhan dan Rasulnya. Tapi, selama di kampung-kampung, di pedesaan masih ada para kiai, dan ulama seperti mereka, maka kita bisa tenang. Karena mereka yang akan menjaga generasi dari peracunan itu.” Terang Cak Nun sambil mengapungkan tangan kearah tiga kiai yang duduk berderet.
“Saya akan bertanya kepada semua yang hadir disini. Kira-kira dosa besar apa yang pernah diperbuat?” tanya Cak Nun. Bersahutan mereka menjawab, “durhaka kepada suami, selingkuh, kumpul kebo,” suasana riuh rendah yang dihiasi seorang ibu naik kepanggung yang berniat akan curhat, di tengah lantunan lagu dan shalawat. Kata Cak Nun, “nanti ada waktunya tersendiri.”
“Gak ada yang maling ya… paling ngutil dikit-dikit.” Kali ini Cak Nun dan rombongan Kiai Kanjeng terlihat tak ada yang merokok. “Allah menyediakan ampunan begitu luas, hingga jenis ampunan yang diberikan oleh Allah begitu banyak.” Cak Nun bertanya kepada ketiga Kiai itu, “dalam al-Qur’an jenis-jenis ampunan Allah apa lagi?” ketiga kiai itu bimbang untuk menjawab, kemudian Cak Nun meneruskan sabdanya “Ada tawwab, ghafur, ghafar, ‘affuw dan lainnya. Itu berarti bahwa pengampunan Allah itu luas, besar melebihi besarnya dosa kita. Jenis kesalahan apapun sudah disediakan pengampunannya.”
Mas Islamyanto mendekati Bupati untuk menyodorkan buku kumpulan lyric. Lalu disusul dengan membawakan lagu Sebelum Cahaya secara bersamaan dari kelompok music Letto asal Yogyakarta yang vokalisnya bernama Noe, anak mbarep Emha. “ku teringat hati…yang bertabur mimpi…kemana kau pergi…cintaaaa…”
Cak Nun memperhatikan Ibu-Ibu, Bapak-bapak yang kurang bisa mengikuti lagu tersebut. “Mungkin lagu tadi terlalu muda, bagi bapak, dan ibu.” Terang Cak Nun, “Kita bawakan lagu ini saja, rasa cinta….pasti ada…pada makhluk yang bernyawa…” Semua bersama-sama membawakan lagu pengantar kemesraan ini, sambil mulut hadirin-hadirat menyungging senyuman. Ada yang berlenggak lenggok. Juga ada empat anak usia belasan tahun. Yang berjoget di bawah panggung. Kemudian oleh Cak Nun mereka ditarik untuk menaiki panggung, agar mereka berjoged di atas panggung. Tangan Cak Nun memutar mereka agar menghadap ke penonton. Satu diantara bertiga anak berjoged dengan memutarkan daerah pantat/ daerah syahwat.
“Kita melihat tadi anak ini menggoyangkan pantat” sambil menunjuk ke area syahwat. Menurut Cak Nun goyangan pantat merupakan penonjolan syahwat, sedangkan tarian ala rodat yang mengunci daerah syahwat, sehingga gerakannya ada di sekitar pusar ke atas.
Cak Nun meneruskan bertanya, “Kalau di sebut nama Mas Yoyok, yang terbayang apanya? Pantatnya apa wajahnya” hadirin menjawab serentak “Wajahnya.” “kalau Inul?” “pantatnya.” “Kalau bikin KTP yang difoto pantatnya apa wajahnya? Kalau kentut kira-kira yang malu pantatnya apa wajahnya?” hadirin menjawab satu persatu pertanyaan itu. identitas manusia menurut Cak Nun diwakili oleh wajahnya. Dan kalau menutup aurat itu yang terutama ditutup adalah daerah syahwat bukan kepalanya ditutup tetapi, daerah syahwatnya ngapret.
“Saya belum punya kenangan apapun dari Bapak Bupati, agar nanti saya pulang ke Jogja punya kenangan dari bapak bupati. Saya minta satu dua lagu dari Bapak Bupati, tapi entah apakah nanti Kiai Kanjeng bisa mengiringinya dengan music, lagu yang akan dibawakan Bapak Bupati.” Cak Nun meminta Bapak Yoyok membawakan lagu. Bupati muda ini memilih membawakan lagu Jawa. Lir ilir tandure wus sumilir….
Secara bersamaan, diiringi music dari Kiai Kanjeng kita membawakan lagu lir ilir.
Malam semakin larut dalam pencerahan, dalam alunan music, dalam dzikir-dzikir alam. Air hujan tampak turun, tetapi tak tega membasahi para hadirin yang datang dari berbagai dusun dan kampong ini.
Jelang pukul 00:00 lampu dimatikan, “kita khusyuk kepada Allah, memejamkan mata, pandangan mata tidak melihat Ustadz Solmed, Saya dan Bapak Bupati.” Pinta Cak Nun. Dalam hatiku berujar mungkin akan didendangkan syair shohibul baiti. Music Kiaikanjeng telah beralun, tetapi ada gangguan teknis yang segera membuat Cak Nun bergegas ke belakang mengonfimasi kesalahan teknis kepada personel Kiai Kanjeng. Lampu dinyalakan lagi. Kemudian diganti shalawatan bersama-sama.
Acara dipungkasi dengan bersalaman. Wallahu ‘alaam
Pekalongan, 20:11
Kamis, 5 Rabiul Awwal 1434 H (17 Januari 2013 M)
Ahmad Saifullah www.maiyah.net
Beragam Ampunan Allah
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>