• Home
  • About
  • Hubungi Kami
  • Privacy Policy
  • Disclaimer
Menu

Pejalan Sunyi

iklan banner
  • Home
  • Daftar Isi
  • News
  • Inspirasi
  • Seputar Guru
    • Regulasi Pendidikan
    • Perangkat Pembelajaran
    • Media Pembelajaran
    • Guru Menulis
    • Sertifikasi Guru
    • Pendataan Pendidikan
  • Tips & Trik
  • Budaya
    • Opini
    • Esai
    • Resensi Buku
    • Cerpen
    • Puisi
    • Anekdot
  • Maiyah
    • Tentang Maiyah
    • Kolom Mbah Nun
    • Kolom Jamaah Maiyah
    • Reportase Maiyah
  • Literasi
  • Download
  • Kirim Artikel

Artikel Populer

  • Kiai Arief Hasan, Cermin Pengilon Dari Beratkulon
  • MENELISIK FUNGSI GADGET DALAM KEGIATAN PEMBELAJARAN
  • Tak Hanya Isi Beha yang Bikin 'Telan Ludah', Omset Jual Beha juga Mampu Membuat Mata Terpana
  • Menjelang Idul Fitri
  • Guru Menulis, Antara Mulia dan Karya
  • Seharusnya Berjudul Celana Dalam
  • JALAN PINTAS

Inspirasi

Pengunjung

Free counters!
top personal sites
top personal sites
Home / Archived For December 2010

Friday, December 17, 2010

Di Zawiyyah Sebuah Masjid

Di Zawiyyah Sebuah Masjid

Kolom Cak Nun
SESUDAH shalat malam bersama, beberapa santri yang besok pagi diperkenankan pulang kembali ke tengah masyarakatnya, dikumpulkan oleh Pak Kiai di zawiyyah sebuah masjid. Seperti biasanya, Pak Kiai bukannya hendak memberi bekal terakhir, melainkan menyodorkan pertanyaan-pertanyaan khusus, yang sebisa mungkin belum usah terdengar dulu oleh para santri lain yang masih belajar di pesantren.

"Agar manusia di muka bumi ini memiliki alat dan cara untuk selamat kembali ke Tuhannya," berkata Pak Kiai kepada santri pertama, "apa yang Allah berikan kepada manusia selain alam dan diri manusia sendiri?"
"Agama," jawab santri pertama.
"Berapa jumlahnya?"
"Satu."
"Tidak dua atau tiga?"
"Allah tak pernah menyebut agama atau nama agama selain yang satu itu, sebab memang mustahil dan mubazir bagi Allah yang tunggal untuk memberikan lebih dari satu macam tuntunan."

**

Kepada santri kedua Pak Kiai bertanya, "Apa nama agama yang dimaksudkan oleh temanmu itu?"
"Islam."
"Sejak kapan Allah mengajarkan Islam kepada manusia?"
"Sejak Ia mengajari Adam nama benda-benda."
"Kenapa kau katakan demikian?"
"Sebab Islam berlaku sejak awal mula sejarah manusia dituntun. Allah sangat adil. Setiap manusia yang lahir di dunia, sejak Adam hingga akhir zaman, disediakan baginya sinar Islam."
"Kalau demikian, seorang Muslimkah Adam?"
"Benar, Kiai. Adam adalah Muslim pertama dalam sejarah umat manusia."

**

Pak Kiai beralih kepada santri ketiga. "Allah mengajari Adam nama benda-benda," katanya, "bahasa apa yang digunakan?"
Dijawab oleh santri ketiga, "Bahasa sumber yang kemudian dikenal sebagai bahasa Al-Qur'an."
"Bagaimana membuktikan hal itu?"
"Para sejarahwan bahasa dan para ilmuwan lain harus bekerja sama untuk membuktikannya. Tapi besar kemungkinan mereka takkan punya metode ilmiah, juga tak akan memperoleh bahan-bahan yang diperlukan. Manusia telah diseret oleh perjalanan waktu yang sampai amat jauh sehingga dalam kebanyakan hal mereka buta sama sekali terhadap masa silam."
"Lantas bagaimana mengatasi kebuntuan itu?"
"Pertama dengan keyakinan iman. Kedua dengan kepercayaan terhadap tanda-tanda yang terdapat dalam kehendak Allah."
"Maksudmu, Nak?"
"Allah memerintahkan manusia bersembahyang dalam bahasa Al-Qur'an. Oleh karena sifat Islam adalah rahmatan lil 'alamin, berlaku universal secara ruang maupun waktu, maka tentulah itu petunjuk bahwa bahasa yang kita gunakan untuk shalat adalah bahasa yang memang relevan terhadap seluruh bangsa manusia. Misalnya, karena memang bahasa Al-Qur'anlah yang merupakan akar, sekaligus puncak dari semua bahasa yang ada di muka bumi."
 
**

"Temanmu tadi mengatakan," berkata Pak Kiai selanjutnya kepada santri keempat, "bahwa Allah hanya menurunkan satu agama. Bagaimana engkau menjelaskan hal itu?"
"Agama Islam dihadirkan sebagaimana bayi dilahirkan," jawab santri keempat, "Tidak langsung dewasa, tua atau matang, melainkan melalui tahap-tahap atau proses pertumbuhan."
"Apa jawabmu terhadap pertanyaan tentang adanya berbagai agama selain Islam?"
"Itu anggapan kebudayaan atau anggapan politik bukan anggapan akidah."
"Apakah itu berarti engkau tak mengakui eksistensi agama-agama lain?"
"Aku mengakui nilai-nilai yang termuat dalam yang disebut agama-agama itu --sebelum dimanipulasikan-- sebab nilai-nilai itu adalah Islam jua adanya pada tahap tertentu, yakni sebelum disempurnakan oleh Allah melalui Muhammad rasul pamungkasNya. Bahwa kemudian berita-berita Islam sebelum Muhammad itu dilembagakan menjadi sesuatu yang disebut agama --dengan, ternyata, berbagai penyesuaian, penambahan atau pengurangan-- sebenarnya yang terjadi adalah pengorganisasian. Itu bukan agama Allah, melainkan rekayasa manusia."

**
 
Pak Kiai menatapkan matanya tajam-tajam ke wajah santri kelima sambil bertanya, "Agama apakah yang dipeluk oleh orang-orang beriman sebelum Muhammad?"
"Islam, Kiai."
"Apa agama Ibrahim?"
"Islam."
"Apa agama Musa?"
"Islam."
"Dan agama Isa?"
"Islam."
"Sudah bernama Islamkah ketika itu?"
"Tidak mungkin, demikian kemauan Allah, ada nama atau kata selain Islam yang sanggup mewakili kandungan-kandungan nilai petunjuk Allah. Islam dan kandungannya tak bisa dipisahkan, sebagaimana api dengan panas atau es dengan dingin. Karena ia Islam, maka demikianlah kandungan nilainya. Karena demikian kandungan nilainya, maka Islamlah namanya. Itu berlaku baik tatkala pengetahuan manusia telah mengenal Islam atau belum."

**

"Maka apakah gerangan arti yang paling inti dari Islam?" Pak Kiai langsung menggeser pertanyaan kepada santri keenam.
"Membebaskan," jawab santri itu.
"Pakailah kata yang lebih memuat kelembutan!"
"Menyelematkan, Kiai."
"Siapa yang menyelamatkan, siapa yang diselamatkan, serta dari apa dan menuju apa proses penyelamatan atau pembebasan itu dilakukan?"
"Allah menyelamatkan manusia, diaparati oleh para khulafa' atas bimbingan para awliya dan anbiya. Adapun sumber dan tujuannya ialah membebaskan manusia dari kemungkinan tak selamat kembali ke Allah. Manusia berasal dari Allah dan sepenuhnya milik Allah, sehingga Islam --sistem nilai hasil karya Allah yang dahsyat itu-- dimaksudkan untuk membebaskan manusia dari cengkeraman sesuatu yang bukan Allah."
"Apa sebab agama anugerah Allah itu tak bernama Salam, misalnya?"
"Salam ialah keselamatan atau kebebasan. Itu kata benda. Sesuatu yang sudah jadi dan tertentu. Sedangkan Islam itu kata kerja. Berislam ialah beramal, berupaya, merekayasa segala sesuatu dalam kehidupan ini agar membawa manusia kepada keselamatan di sisi Allah."

**

Pak Kiai menuding santri ketujuh, "Tidakkah Islam bermakna kepasrahan?"
"Benar, Kiai," jawabnya, "Islam ialah memasrahkan diri kepada kehendak Allah. Arti memasrahkan diri kepada kehendak Allah ialah memerangi segala kehendak yang bertentangan dengan kehendak Allah."
"Bagaimana manusia mengerti ini kehendak Allah atau bukan?"
"Dengan memedomani ayat-ayatNya, baik yang berupa kalimat-kalimat suci maupun yang terdapat dalam diri manusia, di alam semesta, maupun di setiap gejala kehidupan dan sejarah. Oleh karena itu Islam adalah tawaran pencarian yang tak ada hentinya."
"Kenapa sangat banyak orang yang salah mengartikan makna pasrah?"
"Karena manusia cenderung malas mengembangkan pengetahuan tentang kehendak Allah. Bahkan manusia makin tidak peka terhadap tanda-tanda kehadiran Allah di dalam kehidupan mereka. Bahkan tak sedikit di antara orang-orang yang rajin bersembahyang, sebenarnya tidak makin tinggi pengenalan mereka terhadap kehendak Allah. Mereka makin terasing dari situasi karib dengan kemesraan Allah. Hasilnya adalah keterasingan dari diri mereka sendiri. Tetapi alhamdulillah, situasi terasing dan buntu yang terjadi pada peradaban mutakhir manusia, justru merupakan awal dari proses masuknya umat manusia perlahan-lahan ke dalam cahaya Islam. Sebab di dalam kegelapanlah manusia menjadi mengerti makna cahaya."

**

"Cahaya Islam. Apa itu gerangan?"
Santri ke delapan menjawab, "Pertama-tama ialah ilmu pengeahuan. Adam diajari nama benda-benda. Itulah awal mula pendidikan kecendekiaan, yang kelak direkonstruksi oleh wahyu pertama Allah kepada Muhammad, yakni iqra'. Itulah cahaya Islam, sebab agama itu dianugerahkan kepada makhluk tertinggi yang berpikiran dan berakal budi yang bernama manusia."
"Pemikiranmu lumayan," sahut Pak Kiai, "Cahaya Islam tentunya tak dapat dihitung jumlahnya serta tak dapat diukur keluasan dan ketinggiannya: kita memerlukan tinta yang ditimba dari tujuh lautan lebih untuk itu. Bersediakah engkau kutanyai barang satu dua di antara kilatan-kilatan cahaya mahacahaya itu?"
"Ya, Kiai."
"Sesudah engkau sebut Adam, apa yang kau peroleh dari Idris?"
"Dinihari rekayasa teknologi."
"Dari Nuh?"
"Keingkaran terhadap ilmu dan kewenangan Allah."
"Hud?"
"Kebangunan kembali menuju salah satu puncak peradaban dan teknologi canggih."
"Baik. Tak akan kubawa kau berhenti di setiap terminal. Tetapi jawablah: pada Ibrahim, terminal Islam apakah yang engkau temui?"
"Rekonstruksi tauhid, melalui metode penelitian yang lebih memeras pikiran dan pengalaman secara lebih detil."
"Pada Ismail?"
"Pengurbanan dan keikhlasan."
"Ayyub?"
"Ketahanan dan kesabaran."
"Dawud?"
"Tangis, perjuangan dan keberanian."
"Sulaiman?"
"Ke-waskita-an, kemenangan terhadap kemegahan benda, kesetiaan ekologis dan keadilan."
"Sekarang sebutkan yang engkau peroleh dari Musa!"
"Keteguhan, ketegasan haq, ilmu perjuangan politik, tapi juga kedunguan dalam kepandaian."
"Dari Zakaria?"
"Dzikir."
"Isa?"
"Kelembutan cinta kasih, alam getaran hub."
"Adapun dari Muhammad, anakku?"
"Kematangan, kesempurnaan, ilmu manajemen dari semua unsur cahaya yang dibawa oleh para perutusan Allah sebelumnya."
 
**

Akhirnya tiba kepada santri kesembilan. "Di tahap cahaya Islam yang manakah kehidupan dewasa ini?"
"Tak menentu, Kiai," jawab sanri terakhir itu, "Terkadang, atau bahkan amat sering, kami adalah Adam yang sembrono dan nekad makan buah khuldi. Di saat lain kami adalah Ayyub --tetapi-- yang kalah oleh sakit berkepanjangan dan putus asa oleh perolehan yang amat sedikit. Sebagian kami memperoleh jabatan seperti Yusuf tapi tak kami sertakan keadilan dan kebijakannya; sebagian lain malah menjadi Yusuf yang dicampakkan ke dalam sumur tanpa ada yang mengambilnya. Ada juga golongan dari kami yang telah dengan gagahnya membawa kapak bagai Ibrahim, tapi sebelum tiba di gudang berhala, malah berbelok mengerjakan sawah-sawah Fir'aun atau membelah kayu-kayu untuk pembangunan istana diktator itu."

Pak Kiai tersenyum, dan santri itu meneruskan, "Mungkin itu yang menyebabkan seringkali kami tersembelih bagai Ismail, tapi tak ada kambing yang menggantikan ketersembelihan kami."
"Maka sebagian dari kami lari bagai Yunus: seekor ikan paus raksasa menelan kami, dan sampai hari ini kami masih belum selesai mendiskusikan dan menseminarkan bagaimana cara keluar dari perut ikan."

Pak Kiai tertawa terkekeh-kekeh.
"Kami belajar pidato seperti Harun, sebab dewasa ini berlangsung apa yang disebut abad informasi. Tetapi isi pidato kami seharusnya diucapkan 15 abad yang lalu, padahal Musa-Musa kami hari ini tidaklah sanggup membelah samudera."
"Anakku," Pak Kiai menyela, "pernyataan-pernyataanmu penuh rasa sedih dan juga semacam rasa putus asa."
"Insyaallah tidak, Kiai," jawab sang santri, "Cara yang terbaik untuk menjadi kuat ialah menyadari kelemahan. Cara yang terbaik untuk bisa maju ialah memahami kemunduran. Sebodoh-bodoh kami, sebenarnya telah pula berupaya membuat tali berpeluru Dawud untuk menyiapkan diri melawan Jalut. Tongkat Musa kami pun telah perlahan-lahan kami rekayasa, agar kelak memiliki kemampuan untuk kami lemparkan ke halaman istana Fir'aun dan menelan semua ular-ular sihir yang melata-lata. Kami juga mulai berguru kepada Sulaiman si raja agung pemelihara ekosistem. Seperti Musa kami juga belajar berendah hati kepada ufuk ilmu Khidhir. Dan berzikir. Bagai Zakaria, kami memperpeka kehidupan kami agar memperoleh kelembutan yang karib dengan ilmu dan kekuatan Allah. Terkadang kami khilaf mengambil hanya salah satu watak Isa, yakni yang tampak sebagai kelembekan. Tetapi kami telah makin mengerti bagaimana berguru kepada keutuhan Muhammad, mengelola perimbangan unsur-unsur, terutama antara cinta dengan kebenaran. Sebab tanpa cinta, kebenaran menjadi kaku dan otoriter. Sedangkan tanpa kebenaran, cinta menjadi hanya kelemahan, keterseretan, terjebak dalam kekufuran yang samar, hanyut dan tidak berjuang."

**

Betapa tak terbatas apabila perbincangan itu diteruskan jika tujuannya adalah hendak menguak rahasia cahaya Islam.
"Sampai tahap ini," kata Pak Kiai, "cukuplah itu bagi kalian, sesudah dua pertanyaan berikut ini kalian jawab."
"Kami berusaha, Kiai," jawab mereka.
"Bagaimana kalian menghubungkan keyakinan kalian itu dengan keadaan masyarakat dan negeri di mana kalian bertempat tinggal?"
"Kebenaran berlaku hanya apabila diletakkan pada maqam yang juga benar. Juga setiap kata dan gerak perjuangan," berkata salah seorang.
"Sebaik-baik urusan ialah di tengah-tengahnya, kata Rasul Agung. Harus pas. Tak lebih tak kurang," sambung lainnya.
"Muhammad juga mengajarkan kapan masuk Gua Hira, kapan terjun ke tengah masyarakat," sambung yang lain lagi.
"Mencari titik koordinat yang paling tepat pada persilangan ruang dan waktu, atau pada lalu lintas situasi dan peta sejarah."
"Ada dakwah rahasia, ada dakwah terang-terangan."
"Hikmah, maw'idhah hasanah, jadilhum billati hiya ahsan."
"Makan hanya ketika lapar, berhenti makan sebelum kenyang. Itulah irama. Itulah sesehat-sehat kesehatan, yang berlaku bagi tubuh maupun proses sejarah."
"Perjuangan ialah mengetahui kapan berhijrah ke Madinah dan kapan kembali ke Makkah untuk kemenangan."
"Dan di atas semua itu, Rasulullah Muhammad bersedia tidur beralaskan daun kurma atau bahkan di atas lantai tanah."
Pak Kiai tersenyum, "Apa titik tengah di antara kutub kaku dan kutub lembek, anak-anakku?"
"Lentur, Kiai!" kesembilan santri itu menjawab serentak, karena kalimat itulah memang yang hampir setiap hari mereka dengarkan dari mulut Pak Kiai sejak hari pertama mereka datang ke pesantren itu.
"Fal-yatalaththaf!" ucap Pak Kiai akhirnya sambil berdiri dan menyalami santri-santrinya satu per satu, "titik pusat Al-Qur'an!" (*)


Emha Ainun Nadjib
Admin Pada Friday, December 17, 2010 Komentar

Thursday, December 16, 2010

Guk dan Grup Kentrungnya

Guk dan Grup Kentrungnya

Kolom Jamaah Maiyah
DALAM sebuah acara mengenang seratus hari wafatnya seorang tokoh ternama negeri ini, seorang Gus diundang untuk memberikan ceramah keagamaan. Disamping Gus, diundang juga seorang Guk lengkap dengan grup kentrungnya. Seperti biasa, Guk kita ini mendapat giliran pertama untuk mengantarkan acara. Maka, diantarkan jama'ah pada situasi bahwa malam hari itu adalah malam yang sangat wingit, karena tokoh yang telah dipanggil keharibaannya adalah bukan sembarang manusia. Ia bukan hanya seorang syech, tapi Maula.Maka, tak ada kemungkinan lain bagi jamaah yang hadir selain harus menyiapkan situasi mental yang prima demi menyambut kehadiran tokoh yang eksistensinya telah tak terikat ruang dan waktu. Bahkan, menurut Guk, kehadiran tokoh yang diperingati malam hari itu diantarkan langsung oleh para malaikat, dan tentu saja diiringi Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

Alhasil, acara malam hari itu berlangsung sangat gayeng dan khusyuk. Meski sesekali diselingi gelak tawa akibat joke-joke segar yang dilontarkan Guk, terutama terkait keberadaan wakil kepala daerah sebuah propinsi, yang sebelumnya memberikan kata sambutan. Namun, acara yang berlangsung malam hari itu terasa sangat menembus ruang batin, terlebih ketika serangkaian sholawat dan wirid yang dilantunkan Grup Kentrung yang membuat jamaah yang hadir larut dalam suasana yang sakral.

Ketika beberapa waktu merasa cukup mengantarkan acara, si Guk kemudian mempersilahkan Gus untuk memberikan cipratan ilmu kepada jamaah, terkait dengan keberadaan tokoh yang setelah wafatnya, bahkan mampu menyedot perhatian seluruh manusia di seantero dunia.

Dalam ceramahnya, Gus kita ini memaparkan beberapa hal terkait keberadaan sang tokoh. Menurutnya, si Tokoh yang saat ini telah wafat, terbukti mampu mempraktekkan sebuah hadits dari kanjeng Nabi, bahwa orang islam yang baik adalah yang memberikan makanan bagi orang yang membutuhkan. Dan tokoh kita ini, selama hidup telah melaksanakan ajaran tersebut, disamping juga hal-hal kebaikan lainnya. Ia bukan seorang petinju yang senantiasa menggenggamkan tangannya (idiom bagi orang kikir), tapi pesilat yang telapak tangannya selalu terbuka (simbol bagi orang yang dermawan).

Maka tak heran, ketika wafat, tokoh kita ini memanen perbuatanya ketika masih hidup. Wafatnya begitu menarik perhatian jutaan orang dari semua kalangan, dari dalam dan luar negeri. Dari kenyataan itulah, Gus kita ini memberikan kesimpulan, bahwa ciri waliyullah, disamping istiqomah dalam iman, tauhid, serta perilaku, juga keramat ketika hidup, keramat tatkala mati, dan keramat sesudah mati. Alhasil, masih menurut Gus, kalau kemudian ada manusia yang keramat ketika hidup, tapi tak keramat ketika mati, maupun sesudah mati, itu adalah sebagian tanda bahwa manusia yang bersangkutan adalah seorang pendusta. Bahkan tanpa tedeng aling-aling, si Gus melontarkan pernyataan,"kari ndeleng wae si Guk kuwi mengko matine piye, apa ya keramat atau tidak."

Menanggapi hal tersebut, Guk kita yang kembali memegang mike ketika ceramah si Gus telah berakhir menanggapi dengan cerdas, tapi juga sangat menohok.

"Gus, tokoh kita ini adalah orang yang sangat besar, bahkan sangat buesar. Jadi jangan dibuat untuk nggedeni saya. Kalau ada seribu satu, tokoh kita ini bukan hanya sejuta satu, bahkan semilyar satu karena saking besarnya. Maka, kebesaran tokoh kita ini, sekali lagi jangan disepadankan dengan diri saya. Tokoh kita ini bom, sedangkan saya semut. Maka, jangan jadikan bom itu untuk menge-bom saya. Nyuwun sewu. Saya ini orang kecil, jangan harapkan memiliki keramat. Keramat itu karamah. Karamah itu hak wali. Kalau Nabi memiliki hak wahyu. Sementara saya, dan juga jamaah yang hadir paling banter hanya mempunyai hak ma'unah, fadhilah, atau bahkan hanya ilham. Bagi saya, karamah itu hanya Kanjeng Nabi Muhammad SAW."

"Maka nyuwun sewu, jangan tunggu keramat saya. Bahkan, ketika nanti saya mati, semoga yang menziarahi hanya anak istri, dan juga dulur-dulur saya. Bahkan saya berdoa, ketika saya mati, tak ada seorang manusiapun yang mengetahui. Hidup mati saya tidak tergantung dari seberapa banyak manusia yang menziarahi kuburan saya, tapi hidup mati saya ditentukan oleh amal-amal saya di hadapan Allah SWT. Maka nyuwun sewu, Gus. tidak usah menunggu keramat saya. Sebagai manusia, saya tidak berani memiliki apa-apa. Jangankan keramat, bahkan diri saya sendiri saya tak pernah memiliki. Ada tidaknya saya di dunia ini tak ada bedanya. Yang ada hanya Allah dan Rasululullah. Dan saya bersedia tidak ada, asalkan Allah dan Kanjeng Nabi Muhammad tetap ada dalam kandungan batin sedulur-sedulur saya. Jadi ojo nggedeni aku. Mergo aku cilik"
Begitulah, acara malam hari itu menyulutkan ilmu baru dalam diri saya. Bahwa jika tidak hati-hati, bahkan seorang kiai pun dengan sangat mudah terjebak pada kibriya'.
Itulah sebabnya, Guk kita ini pada akhir acara, setelah bersama-sama jamaah melantunkan sholawat indal qiyam, mengajak jamaah yang tersisa agar bersama-sama memohon kepada Allah agar dianugrahi tawadlu'.

Tak rugi kiranya, jika melakukan perjalanan malam-malam dengan bersepeda motor, hanya untuk bertatap muka dengan Guk dan Grup Kentrungnya, demi Allah dan juga Kanjeng Nabi Muhammad SAW.***


Ditulis oleh :
Em. Syuhada'
Jamaah Maiyah Padhang mBulan
Jombang

Admin Pada Thursday, December 16, 2010 1 Komentar
JALAN PINTAS

JALAN PINTAS

Esai

BAGI Anda yang suka mencari jalan pintas, berhati-hatilah! Sebab, jika jalan yang Anda pilih ternyata terlarang dan tak dibenarkan, Anda mungkin bernasib sama seperti dua orang yang tewas di Tangerang beberapa waktu yang lalu. Gara-gara memilih jalan pintas yang kebetulan adalah lintasan pacu bandara, keduanya tewas mengenaskan setelah sepeda motor yang dikendarainya tertabrak pesawat yang sedang landing.................

Peristiwa naas dan mungkin baru pertama kalinya itu terjadi pada senin (19/4) di Tangerang. Kejadian bermula ketika pesawat latih jenis TB 10 PK AGU milik Sekolah Tinggi Ilmu Penerbangan (STIP) Curug sedang melakukan pendaratan di lintasan pacu bandara Budiarto, Curug, Tangerang. Ketika roda pesawat sudah hampir menyentuh tanah, sebuah sepeda motor Honda Vario yang dikendarai berboncengan oleh Aljumar (24) dan Yopie Hermawan (16) dengan begitu saja melintas. Tak pelak, kecelakaan tak bisa dihindarkan. Kedua pengemudi sepeda motor itu tewas tertabrak pesawat. Sementara kru pesawat harus dilarikan ke rumah sakit. Beberapa waktu kemudian, Jum’at (23/04), sang instruktur menghembuskan nafasnya yang terakhir setelah kakinya diamputansi dan sempat kritis di Rumah Sakit beberapa hari.

Begitulah jika orang suka mencari jalan pintas. Resiko tak hanya menyangkut dirinya sendiri, namun juga mengancam keselamatan orang lain. Mungkin masih bisa dimafhumi jika jalan pintas yang dipilih dalam kategori wajar, tidak menyimpang, serta tidak mengganggu orang lain. Namun, jika jalan yang dilalui adalah jalan terlarang dan berbahaya, hal tersebut bisa berakibat fatal. Tragedi Curug itu memang patut disayangkan. Andaikan saja lintasan pacu bandara itu tak dijadikan jalan pintas oleh masyarakat, kecelakaan maut itu mungkin masih bisa dihindarkan. Tapi kenyataan berkata lain. Meskipun pagar pembatas telah terpasang di kawasan runway, pagar tersebut seringkali dijebol. Masyarakat lebih senang menerobos dan menggunakan lintasan itu sebagai jalan pintas, karena menghemat waktu, dan juga tenaga.

****
Jika menelisik sejenak peristiwa demi peristiwa yang berjalin-kelindan di negeri ini, kita mungkin menemukan kenyataan yang tak jauh berbeda dengan insiden yang terjadi di Curug Tangerang itu. Tragedi kemanusiaan yang terjadi, korupsi yang tak pernah mati dan terus menggerogoti sendi-sendi kehidupan bangsa, heboh makelar kasus di lembaga penegak hukum, mafia pajak, serta berbagai perbuatan menyimpang lainnya adalah wujud kongkrit dari usaha mencari jalan pintas yang dilakukan oleh sebagian manusia. Meskipun jalan pintas yang dipilih itu sesungguhnya diketahui sebagai jalan yang salah karena telah melanggar norma dan aturan, namun jalan itu tetap dipilih. Sebagian orang bahkan terlanjur menikmati jalan itu, dan terus berusaha mempertahankannya

Kebiasaan mencari jalan pintas tersebut -disadari atau tidak- tak bisa dilepaskan dari perkembangan tekhnologi yang begitu dahsyat menghantam kehidupan. Tak dimungkiri, bangsa ini sedang dilanda budaya instan yang sedemikian akutnya merambah kehidupan masyarakat. Budaya instan itulah yang mendorong manusia cenderung mencari jalan pintas. Memang, ditengah kepungan arus tekhnologi dan informasi yang begitu niscaya menyentuh tiap titik peradaban, kehidupan manusia semakin dipermudah. Segalanya bisa diperoleh serba cepat. Hal tersebut, mau tidak mau, mempengaruhi pola pikir masyarakat, sekaligus berdampak pada sikap dan perilaku mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya.

Edward Burnett Tylor menyatakan, bahwa budaya atau kebudayaan merupakan suatu keseluruhan yang kompleks yang mencakup pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan segala kemampuan dan kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Instan dikatakan sebagai budaya karena hal tersebut telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat, yakni kebiasaan yang ingin mendapatkan segala sesuatu diperoleh secara serba cepat.

Ada banyak perubahan pesat terjadi dalam kehidupan. Orang lebih suka menempuh jalan pintas tanpa mau melihat resiko. Pada titik ini, proses tak lagi penting, karena orang terlanjur hanya mementingkan hasil. Banyaknya produk instan yang bisa ditemui di mana saja, baik berupa makanan, pakaian, alat komunikasi, dan teknologi merupakan salah satu faktor utama dari merebaknya budaya instan tanpa disadari. Hal ini, secara langsung atau tidak langsung, akan mempengaruhi mentalitas manusia dalam mengarungi kehidupannya.

Daniel Bell, seorang sosiolog asal Amerika mengatakan, masyarakat instan adalah masyarakat yang menanggalkan sikap sabarnya dalam menghadapi sesuatu. Masyarakat yang tak mau lagi percaya bahwa peradaban manusia yang paling maju dilalui melalui proses panjang dan pembelajaran tiada henti. Masyarakat instan, masih menurut Bell, adalah masyarakat yang mati nurani dan akal budinya. Yang dikedepankan adalah kepentingan parsial, dan percaya sepenuhnya bahwa satu-satunya keinginan hanya bisa dicapai dengan perantaraan uang. Itulah sebabnya, satu-satunya jalan adalah bagaimana mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya untuk melampiaskan hajat kehidupan.

Pandangan Bell tersebut, setidaknya relevan dengan keadaan masyarakat Indonesia pada kurun waktu terakhir. Ketika permasalahan hidup semakin kompleks menimpa bangsa ini, orang tidak lagi bisa berfikir panjang dalam menentukan sesuatu. Segalanya disikapi dengan cepat dan serba permukaan. Pada sisi lain, televisi sebagai sarana hiburan bagi masyarakat juga ikut andil dalam menumbuhkembangkan budaya tersebut. Betapa banyak tayangan televisi yang mampu menyihir pemirsanya agar menyikapi segala permasalahan kehidupan ini dengan jalan pintas dan tergesa-gesa.

Maka tak heran jika kemudian bangsa ini terpuruk pada krisis tiada henti. Memang, ketika kebiasaan mencari jalan pintas terus dipertahankan karena didorong cara berfikir instan, dan uang –seperti yang dikatakan Bell- dijadikan ujung pangkal aktifitas kehidupan, maka kehancuran demi kehancuran akan tampak semakin nyata di depan mata. Tragedi di Curug Tangerang sebagaimana disebut diatas hanyalah contoh lahir dan kasat mata, bahwa ketika jalan pintas terlarang itu yang dipilih, malapetaka dengan begitu saja akan datang menghantam. Kita bisa bayangkan jika jalan pintas yang dilalui adalah kebiasaan memperoleh materi dengan jalan tak wajar, baik dengan korupsi, kolusi, atau cara-cara menyimpang lainnya. Bukankah bencana kemanusiaan akan semakin nyata menimpa perikehidupan umat manusia?

Walhasil, pertanyaan penting yang harus terus didengungkan. Akankah kebiasaan mencari jalan pintas itu akan terus dipertahankan untuk kebaikan Indonesia ke depan? Wallahu a'lam bisshawab.***

Oleh : Em. Syuhada'
Admin Pada Thursday, December 16, 2010 Komentar

Wednesday, December 15, 2010

Peran Sunan Kalijaga Untuk Indonesia Baru

Reportase Maiyah

Sebagian transkrip rekaman padhangmbulan (23/09)

 “SAAT ini, diperlukan tak hanya Sunan Kalijaga, tapi Sunan Kalijaga plus untuk memperbaiki Republik Indonesia. Hal ini terkait dengan kondisi Indonesia yang semakin hari tidak semakin baik, bahkan semakin berada pada ambang kehancuran. Gak diapak-apakno, Indonesia iku bakal hancur dewe. Sama seperti keadaan Majapahit zaman dahulu.” Demikian ditegaskan oleh Cak Nun pada padhang mbulan lalu (23/09).

“Sama sekali tidak benar jika hancurnya Majapahit karena diserbu oleh Demak. Sebab, tanpa diserbu sekalipun, Majapahit akan hancur dengan sendirinya. Kehancuran Majapahit lebih disebabkan oleh kondisinya sebagai Negara Kesatuan yang sebenarnya pesisir, tapi pusat ibukotanya berada di pedalaman dengan basis ekonominya pertanian. Sedangkan waktu itu sedang terjadi keretakan lempengan bumi dan semburan lumpur di daerah Canggu sekitar 1450-an,” Cak Nun menambahkan.Atas dasar itulah, Sunan Ampel akhirnya mengutus kepada Sunan Kalijaga untuk membantu Majapahit yang berada di ambang kehancuran. Majapahit sendiri bersedia menerima karena Sunan Kalijaga membantu Majapahit di akhir-akhir kekuasaannya dari serbuan Kerajaan Kediri yang diperintah Prabu Girindrawardana. Oleh Sunan Kalijaga, Majapahit diajak melakukan transformasi dari Negara Kesatuan Mojopahit berbasis pertanian menuju Negara Demak Federal di Daerah Glagah Wangi yang merupakan Negara Federasi berbasis ekonomi internasional maritim perdagangan.

Putra-putra Prabu Brawijaya pun diserahi kekuasaan sendiri yang disebut dengan Tanah Perdikan dengan gelar Ki Gede atau Ki Ageng. Mulai dari Ki Ageng Mangir, Ki Gede Menoreh, dan lain-lain. Kekuasan yang diberikan kepada putra-putra Brawijaya meliputi NTB hingga Denpasar, Madura, Pamekasan, Sumenep, Makasar, Borneo, sampai Palembang. Semuanya memang putra Brawijaya yang berjumlah 147 orang. Dari Betoro Katong Ponorogo, Syech Bela Belu Parangtritis, Ki Ageng Mangir Yogja Selatan, Handayaningrat, Prabu Denpasar, dan lain sebagainya. Kesemuanya merupakan transformasi dari Majapahit sebagai hasil reformasi yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga.
Ketika disuruh oleh Sunan Ampel agar mengatasi masalah yang ada di Majapahit, Sunan Kalijaga berpendapat, bahwa Majapahit tidak akan bisa menerima kehancuran jika tidak mengenal nilai-nilai islam. Sebab, hanya orang-orang yang mengenal nilai-nilai tasawuf islamlah yang akan terhindar dari kehancuran. Didalam tasawuf tidak ada kehancuran, apalagi hanya sekedar penderitaan. Maka, jalan satu-satunya yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga adalah “mengislamkan” Majapahit agar memiliki sikap hidup dan pandangan yang berbeda.

Yang pertama kali didakwai agar mengenal islam adalah TNInya Majapahit, yaitu Empu Supo dan anaknya Supo Anom, lantas DPR/MPRnya, baru kemudian keluarga istana dan anak-anaknya, meskipun pada tahap ini ada beberapa orang yang tidak bersedia masuk islam, yang kemudian pergi ke daerah selatan. Intinya, sebagai konsekuensi dari dakwahnya Sunan Kalijaga adalah terbentuknya tiga golongan dengan sikap dan paradigma yang berbeda.

Golongan pertama adalah golongan santri yang berjumlah sekitar 3000 orang. Oleh Sunan Kalijaga, golongan pertama ini diantarkan pergi ke daerah utara mulai Mojoagung hingga Demak dengan dikawal oleh Sunan Kudus. Sementara golongan kedua adalah Golongan Tengah, yaitu keluarga istana dan para kerabatnya. Berbeda dengan golongan pertama, untuk golongan tengah ini adalah islam abangan yang bersedia masuk islam tapi tidak mau berpakaian islam karena pertimbangan budaya. Bersedia naik haji tapi juga korupsi. Selingkuh, tapi kalau mati juga ditahlili, dan lain sebagainya. Golongan tengah ini dipimpin sendiri oleh Sunan Kalijaga dibawa ke Ngawi, yang kemudian disebut Mukswa.

Setelah beres dua golongan itu, Sunan Kalijaga kemudian tidak lantas membiarkan golongan ketiga yang pergi ke selatan karena tidak bersedia masuk islam, yang didalamnya juga terdapat adik dan anak-anak Prabu Brawijaya V. Golongan ketiga inilah yang disebut Sabdopalon Noyogenggong yang berjanji 500 tahun lagi akan kembali, meskipun hingga saat ini tidak ada kejadian apa-apa, pergi ke daerah Denpasar hingga Purwakarta. Oleh Sunan Kalijaga, Golongan ketiga ini didatangi satu persatu dalam waktu yang cukup lama, meskipun pada tahap itu tidak semuanya berhasil.

Sedemikian berat dan berliku tugas yang diemban oleh Sunan Kalijaga itupun gagal. Gagal dalam arti, bahwa Demak yang semula digadang-gadang bisa merepresentasikan dirinya sebagai kerajaan pesisir dibawah sinar islam dengan bimbingan wali sanga ternyata tidak berumur panjang karena perebutan kekuasaan dan pertarungan intern diantara umat islam sendiri. Dari Sunan Prawoto, Ratu Kalinyamat, Arya Penangsang, Mas Karebet atau Sultan Hadiwijaya, dan lain sebagainya. Arya Penangsang itu muridnya Sunan Kudus, sedangkan Mas Karebet muridnya Sunan Kalijaga.

Karena hal tersebut, Demak yang merupakan kerajaan pesisir bergeser ke pedalaman lagi menuju Pajang, hingga Mataram. Ketika berada di Mataram, Sunan Kalijaga sudah sangat tua, sehingga yang merupakan murid Sunan Kalijaga langsung adalah bapaknya Sutowijoyo, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan temannya yang strategi perang, yaitu Ki Mondoroko atau Ki Juru Mertani. Sedangkan Raja Mataram yang pertama, yaitu Panembahan Senopati bukan murid Sunan Kalijaga langsung, meskipun berada pada aliran yang sama.

Alhasil, disitulah lahir Republik Indonesia. Yaitu situasi dimana terjadi kegagalan menangani konflik sehingga Demak bergeser ke tengah lagi di daerah Kertasura (Pajang), bergeser lebih ke selatan ke Yogjakarta, yaitu di Kota Gede. Maka bisa dimengerti kalau kemudian konsep tentang walisongo mulai ditinggalkan digantikan Nyai Roro Kidul. Bahkan, sampai hari ini, Presiden Indonesia pun tetap memakai konsep yang sama. Yaitu tetap ke wali, meskipun pada saat yang sama juga ke penguasa Pantai Selatan. Sejak Panembahan Senopati inilah, Islam abangan mendapat legitimasi secara peradaban jawa.

Tak ada jalan lain, hari-hari ini diperlukan Sunan Kalijaga lagi untuk membawa Indonesia yang kesatuan menuju Demak yang federal berbasis maritim perdagangan. Sampai 2014 keatas harus benar-benar ada peran seperti Sunan Kalijaga, bahkan lebih, yaitu Sunan Kalijaga plus yang tidak anti Nyai Roro Kidul, yang akan menyelamatkan Indonesia dari kehancuran.
Lantas, sebuah pertanyaan yang patut untuk untuk menjadi perenungan bersama. Siapa dan dimanakah Sunan Kalijaga itu sekarang berada?(*)

*) Em. Syuhada', Jamaah Maiyah Padhang mBulan, tinggal di Ngimbang Lamongan.
Admin Pada Wednesday, December 15, 2010 Komentar
Subscribe to: Posts (Atom)
  • Artikel Terbaru
  • Arsip Blog

Artikel Terbaru

Arsip Blog

  • October (1)
  • June (14)
  • May (18)
  • April (2)
  • February (1)
  • January (1)
  • January (1)
  • November (1)
  • August (2)
  • July (2)
  • June (3)
  • May (13)
  • April (26)
  • March (30)
  • February (43)
  • January (50)
  • December (4)

Resensi Buku

Kategori

Anekdot Berita Pendidikan Cerpen Download Esai Guru Menulis Inspirasi Kolom Kolom Cak Nun Kolom Jamaah Maiyah Literasi News Opini Pendataan Pendidikan Puisi Regulasi Reportase Maiyah Resensi Buku Sertifikasi Guru Tentang Maiyah Tips & Trik
Pejalan Sunyi

Followers

Pejalansunyi.id berusaha berbagi informasi yang bermanfaat. Jika ada ide, kritik, atau saran, silahkan hubungi kami dengan kontak berikut. Salam!

Name Email Address important Content important

Reportase Maiyah

Contact Form

Name

Email *

Message *

Artikel Random

Memuat...
Copyright © Pejalan Sunyi
Template by Arlina Design