“KALAU soal kepemimpinan budaya, saya kira tidak sukar. Kita bisa ambil dari sangat banyak wacana, cuma apa itu masalahnya di BI? Maka doa saya adalah: Ini yang saya hadapi adalah manusia-manusia BI baru yang mengambil baiknya dari Orba, mengambil baiknya dari Reformasi, manusia-manusia BI baru yang tidak harus merupakan produk dari BI yang sebelum-sebelumnya, karena ada dinamika yang bermacam-macam. Pokoknya ini adalah generasi terbaru yang mengambil yang terbaik untuk bangsa, untuk rakyat, sehingga dia menjadi manusia BI baru sebagaimana sekarang lahir juga manusia-manusia Indonesia baru dari generasi muda yang bukan merupakan produk dari televisi yang kayak gitu, dari koran yang kayak gitu, dari kebudayaan yang kayak gitu, dari berbagai manipulasi agama yang terus-menerus.”
“Itu sudah menjadi komoditas. Yang kemarin nyetiri saya saja sekarang jadi Gus, jadi pejabat tinggi di provinsi. Kemarin dia masih ngambil ban bekas, sekarang sudah jadi Gus. Dan Gus ini nggak bisa dilacak asal-usulnya, dan orang modern tidak peduli apa itu Gus, apa itu kiai, apa itu syekh, habib, maulana. Ini sudah jadi komoditas semua.”
“Kalau saya misalnya mau jadi wali, gampang sekarang ini. Saya tinggal pergi ke travel bureau atau ke televisi. Padahal kan laa ya’riful wali ilal wali. Sekarang jadi laa ya’riful wali ilal travel bureau wa EO. EO itu yang menciptakan Gus Dur jadi wali. Sampai sekarang ini bahkan ada walisongo Jawa Timur. Kalau Walisongo kan ada yang dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Sekarang ada Walisongo Jawa Timur, yang dari Walisongo dikurangi 4, kemudian empatnya dicarikan di Jawa Timur. Caranya mencari adalah yang gampang dilewati rute bus travelnya. Mereka bikin wali-wali yang mudah dicapai oleh travel. Itu yang namanya budaya kemiskinan. Orang sudah tidak percaya kepada rizqi Allah. Orang hanya percaya pada apa yang dia ambil, pada apa yang dia curi, apa yang dia mark-up, apa yang dia kolusi, apa yang dia manipulasi.”
“Kalau Sunan Kalijaga kan doanya Allahuma tuhno, Allahuma tekno. Itu wiridannya. Tuhno itu kalau butuh ono, kalau pas butuh ada. Tekno itu kalau entek ono, kalau pas habis ada. Sunan Kalijaga membatasi umatnya di situ. Kamu nggak usah kaya tapi kalau pas butuh, ada. Saya penganut ini. Saya nggak kaya, tapi asal pas saya butuh selalu ada mbuh bagaimana caranya. Butuh di sini bukan hanya uang, tapi juga apa saja. Saya tidak percaya ada kekayaan yang sungguhan, saya tidak percaya ada orang kuat yang sungguhan, saya tidak percaya ada orang sakti.”
“Kalau saya singkat, kebudayaan kita itu luar biasa kayanya. Kita bisa ambil kearifan kepemimpinan dari Jawa, Madura, Sunda, Mandar, Bugis, tinggal ambil yang mana. Kita bisa ambil sedikit dari budaya, sedikit dari agama.”
“Misalnya Pak Harto, dalam memimpin dia cuma pakai dua ilmu, yaitu pranoto mongso dan katuranggan. Pranoto mongso adalah kemampuan untuk membaca musim. Ini dunia sedang begini, negara sedang begitu, cocoknya ikut Uni Soviet atau Amerika atau China, seperti itulah yang dinamakan membaca musim. Pak Harto tidak menggunakan ilmu-ilmu modern tapi dia merasakan dengan ilmu musim. Dari situ dia ambil policy dasar. Untuk menerapkan policy yang sudah ditentukan dengan pranoto mongso tadi, Pak Harto butuh memilih orang. Menteri Penerangan siapa, Menko ini siapa, Direktur BI siapa. Dalam menentukan siapa diletakkan di posisi mana, Pak Harto pakai ilmu katuranggan.”
“Katuranggan itu berasal dari kata turangga, artinya kuda. Jadi, ilmu tentang watak berasal-usul dari pengetahuan para pemelihara kuda terhadap kuda. Kalau orang mempelajari kuda, dia akan melihat berbagai macam watak manusia terdapat pada kuda. Kalau Anda kalau ahli kuda, cukup dengan melihat gambar di lutut depannya saja Anda sudah tahu umurnya berapa, larinya secepat apa, staminanya tinggi apa tidak. Ilmu kuda ini kemudian ditransfer menjadi ilmu tentang watak manusia, katurangganing manungsa.”
“Jadi kalau mau pilih staf, kita mesti mengenal wataknya. Watak ini berdasarkan konfigurasi atau terminologi apa? Kalau dalam pandangan politik, ada empat jenis manusia di setiap lingkungan, yaitu manusia pencetus, manusia pendiri, manusia pemelihara, dan manusia pendobrak.”
“Manusia pendiri atau perintis adalah manusia-manusia yang berani membangun. Merekalah yang bikin NKRI, bikin ini, bikin itu. Mereka adalah jenis manusia yang mendapat fadhilah dari Tuhan untuk mendirikan. Tapi pendiri juga belum tentu mampu memelihara, maka mayoritas manusia sebenarnya ditakdirkan untuk menjadi manusia pemelihara.”
“Manusia pemelihara nggak ikut berpikir, nggak ikut mencari, nggak ikut mendirikan, tapi begitu sudah ada, dia yang setia memelihara. Pegawai negeri yang di bawah-bawah itu kan biasanya katuranggan pemelihara. Dia rajin, absen pagi dan sore, wataknya pemelihara.”
“Jenis keempat adalah manusia pendobrak. Karakternya hampir mirip dengan manusia jenis pertama, yakni pencetus. Pendobrak ini bagian yang nggak setuju terus. Semua dibantah olehnya. Dia bisanya mengkritisi, tapi giliran disuruh bikin nggak bisa. Dia ini bagian nyacat atau mencela. Ada manusia yang memang oleh Tuhan diijinkan untuk menjadi juru cela. Maka jangan kaget kalau di antara kita ada yang ahli di bagian situ. Selama ini kan yang ahli atau pakar itu kan yang ekspertasinya di wilayah kedua atau ketiga, padahal ekspertasi kan luas. Ada orang yang memang kerjanya nyacat terus ben dino, dan itu bagus untuk kita yang memang ingin dinamis. Orang ini kalau tidak dibayar akan berbahaya bagi masyarakat, jadi mending bayar dia khusus untuk mencela di wilayah tertentu. Di wilayah selain itu, jangan mencela siapa-siapa. Dia punya kecerdasan untuk mencela, tapi dia hanya diperbolehkan mencela di ruang rapat kantor saja lho ya, di luar kantor tidak boleh. Di luar itu dia harus berbudaya.”
“Fals itu tidak ada. Yang ada adalah bunyi tidak terletak di tempatnya bersama harmoninya. Kalau dia diletakkan berjejer dengan yang satu konfigurasi dengan dia, dia nggak fals.Ini kalau seandainya workshop musik, saya tunjukkan kepada Anda. Dia punya konfigurasi harmoni sendiri.”
“Tidak ada yang buruk, tidak ada kecelakaan, tidak ada kerugian dalam hidup ini. Kita pernah mengalami kehancuran saat Orba, Orla, Reformasi, banyak sekali, tapi saya melihat tidak ada masalah. Memang hidup seperti itu. Yang penting kita tahu yang disebut manajemen itu apa. Manajeman itu bukan bagaimana menyusun uang. Kalau saya, manajemen adalah bagaimana tidak punya kerjaan tapi bisa nyekolahke anak-anak. Itu kan manajemen banget. Bagaimana nggak punya gaji tetap tapi bisa survive, itulah manajemen. Nek gajimu sakmene digawe ngene, dudu manajemen iku, tapi kasir.”
“Manajemen itu bagaimana kita tidak punya beras tapi bisa bikin nasi. Kalau dalam Al-Qur’an namanya min haitsu laa yahtasib. Allah memberimu rizqi melalui jalan dan metode yang di luar perhitunganmu. Dan itu adalah jaminan Allah setiap hari kepada orang yang selalu meletakkan hatinya dekat dengan Dia.”
“Saya pribadi bisa mendapatkan cash dari langit. Satu contoh, saya didatangi kiai-kiai tua, ada di antaranya yang sudah 94 tahun usianya. Saya nangis karena nggak punya uang untuk nyangoni, maka saya masuk kamar, wudlu, kemudian sisiran. Di atas lemari saya dapat 40 juta, cash. Hal-hal seperti bisa saja terjadi, tapi syaratnya adalah saya tidak boleh mengambil sedikitpun untuk saya sendiri. Maka saya bagikan semua kepada tamu-tamu saya itu.”
“Tapi orang Indonesia kan nggak percaya sama Tuhan, maka kerjaannya mencuri terus, curang terus. Dia tidak percaya sama begitu banyak kemungkinan rizqi dalam kehidupan. Saya punya sekolahan, lebih banyak daripada yang didirikan oleh Direktur BI. Saya bisa mengadakan forum-forum Padhangmbulan setiap bulan di 6 kota, sekarang sudah 21 tahun, saya biayai sendiri. Dengan massa ratusan atau ribuan, forum-forum saya berlangsung tanpa sponsor, tanpa biaya dari siapa-siapa. Tanpa keamanan, tanpa ijin, dan itu sudah semenjak Orba. Orang datang dari jam delapan malam sampai jam tiga pagi, sampai hari ini. Kemarin di TIM kami sampai jam 03.30, di Jogja tanggal 17 sampai jam 04.00. berlangsung terus-menerus karena min haitsu laa yahtasib.”
“Allah itu bukan milik para ustadz. Allah adalah milik kita semua, Dia sangat dekat sama kita. Dia sangat lucu, penuh humor, sangat penuh kasih-sayang. Dia tidak membutuhkan sopan-santun yang pura-pura.”
“Tentang ilmu katuranggan jelas ya. Itulah kenapa Pak Harto memilih Harmoko untuk menjadi Menteri Penerangan sampai akhir meskipun kita nggak suka. Pak Harto tahu persis bahwa Pak Harmoko adalah tipe pemelihara. Sampai hari ini dia masih memelihara apa yang bisa dia pelihara. Ini saya tanya langsung ke Pak Harto mengapa dia pindah dari Pak Moerdani, padahal Pak Moerdani itu berjasa sama Pak Harto, dia menemukan dukunnya Pak Harto yang ke-39 di Aceh sehingga Benny Moerdani diangkat menjadi Dukun Gajah Putih. Sebelum itu teorinya ada 39 dukun Pak Harto, tapi baru ketemu 38. Saya ketemu dukun-dukunnya Pak Harto di mana-mana.”
“Tentang dukun ini juga ada teorinya sendiri. Dukun itu apa, kiai itu apa. Anda jangan salah sangka bahwa dukun ini pasti jelek dan kiai pasti baik, karena dukun masih bekerja untuk mendapat uang, sementara kiai biasanya nggak kerja tapi dapat uang. Jadi kan masih mending dukun.”[]
“Agama ini dikapitalisasi nggak karu-karuan. Kata ‘syariat’ pun dikapitalisasi. Kata ‘Al’ jadi jualan laris, kata ‘Gus’ jadi barang dagangan, juga kata ‘wali’ yang menjadi marketable. Gus Dur itu sekarang jadi wali kesepuluh. Jadi langsung loncat dari Sunan Kalijaga ke Gus Dur, tanpa bapaknya dan mbahnya Gus Dur jadi wali. Padahal peristiwa 10 November itu hasil dari resolusi jihad dari Bapak dan Mbahnya Gus Dur. NU besar juga karena yang mendirikan Mbahnya Gus Dur. Sekarang yang jadi wali malah Gus Dur.”
“Itu sudah menjadi komoditas. Yang kemarin nyetiri saya saja sekarang jadi Gus, jadi pejabat tinggi di provinsi. Kemarin dia masih ngambil ban bekas, sekarang sudah jadi Gus. Dan Gus ini nggak bisa dilacak asal-usulnya, dan orang modern tidak peduli apa itu Gus, apa itu kiai, apa itu syekh, habib, maulana. Ini sudah jadi komoditas semua.”
“Kalau saya misalnya mau jadi wali, gampang sekarang ini. Saya tinggal pergi ke travel bureau atau ke televisi. Padahal kan laa ya’riful wali ilal wali. Sekarang jadi laa ya’riful wali ilal travel bureau wa EO. EO itu yang menciptakan Gus Dur jadi wali. Sampai sekarang ini bahkan ada walisongo Jawa Timur. Kalau Walisongo kan ada yang dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Sekarang ada Walisongo Jawa Timur, yang dari Walisongo dikurangi 4, kemudian empatnya dicarikan di Jawa Timur. Caranya mencari adalah yang gampang dilewati rute bus travelnya. Mereka bikin wali-wali yang mudah dicapai oleh travel. Itu yang namanya budaya kemiskinan. Orang sudah tidak percaya kepada rizqi Allah. Orang hanya percaya pada apa yang dia ambil, pada apa yang dia curi, apa yang dia mark-up, apa yang dia kolusi, apa yang dia manipulasi.”
“Kalau Sunan Kalijaga kan doanya Allahuma tuhno, Allahuma tekno. Itu wiridannya. Tuhno itu kalau butuh ono, kalau pas butuh ada. Tekno itu kalau entek ono, kalau pas habis ada. Sunan Kalijaga membatasi umatnya di situ. Kamu nggak usah kaya tapi kalau pas butuh, ada. Saya penganut ini. Saya nggak kaya, tapi asal pas saya butuh selalu ada mbuh bagaimana caranya. Butuh di sini bukan hanya uang, tapi juga apa saja. Saya tidak percaya ada kekayaan yang sungguhan, saya tidak percaya ada orang kuat yang sungguhan, saya tidak percaya ada orang sakti.”
“Kalau saya singkat, kebudayaan kita itu luar biasa kayanya. Kita bisa ambil kearifan kepemimpinan dari Jawa, Madura, Sunda, Mandar, Bugis, tinggal ambil yang mana. Kita bisa ambil sedikit dari budaya, sedikit dari agama.”
“Misalnya Pak Harto, dalam memimpin dia cuma pakai dua ilmu, yaitu pranoto mongso dan katuranggan. Pranoto mongso adalah kemampuan untuk membaca musim. Ini dunia sedang begini, negara sedang begitu, cocoknya ikut Uni Soviet atau Amerika atau China, seperti itulah yang dinamakan membaca musim. Pak Harto tidak menggunakan ilmu-ilmu modern tapi dia merasakan dengan ilmu musim. Dari situ dia ambil policy dasar. Untuk menerapkan policy yang sudah ditentukan dengan pranoto mongso tadi, Pak Harto butuh memilih orang. Menteri Penerangan siapa, Menko ini siapa, Direktur BI siapa. Dalam menentukan siapa diletakkan di posisi mana, Pak Harto pakai ilmu katuranggan.”
“Katuranggan itu berasal dari kata turangga, artinya kuda. Jadi, ilmu tentang watak berasal-usul dari pengetahuan para pemelihara kuda terhadap kuda. Kalau orang mempelajari kuda, dia akan melihat berbagai macam watak manusia terdapat pada kuda. Kalau Anda kalau ahli kuda, cukup dengan melihat gambar di lutut depannya saja Anda sudah tahu umurnya berapa, larinya secepat apa, staminanya tinggi apa tidak. Ilmu kuda ini kemudian ditransfer menjadi ilmu tentang watak manusia, katurangganing manungsa.”
“Jadi kalau mau pilih staf, kita mesti mengenal wataknya. Watak ini berdasarkan konfigurasi atau terminologi apa? Kalau dalam pandangan politik, ada empat jenis manusia di setiap lingkungan, yaitu manusia pencetus, manusia pendiri, manusia pemelihara, dan manusia pendobrak.”
“Manusia pencetus adalah manusia yang selalu membicarakan hal-hal baru, selalu gelisah, tapi kerjaannya cuma begitu. Dia digaji untuk itu saja, jangan disuruh tertib di kantor. Begitu sudah mencetuskan ide baru, habis staminanya. Dia adalah bagian mencetuskan. Jangan disuruh mendirikan atau memelihara, karena pasti hancur nanti. Sehebat-hebat pencetus, dia tidak punya keberanian sejarah untuk mendirikan. Dia ada di belakang founding fathers.”
“Manusia pendiri atau perintis adalah manusia-manusia yang berani membangun. Merekalah yang bikin NKRI, bikin ini, bikin itu. Mereka adalah jenis manusia yang mendapat fadhilah dari Tuhan untuk mendirikan. Tapi pendiri juga belum tentu mampu memelihara, maka mayoritas manusia sebenarnya ditakdirkan untuk menjadi manusia pemelihara.”
“Manusia pemelihara nggak ikut berpikir, nggak ikut mencari, nggak ikut mendirikan, tapi begitu sudah ada, dia yang setia memelihara. Pegawai negeri yang di bawah-bawah itu kan biasanya katuranggan pemelihara. Dia rajin, absen pagi dan sore, wataknya pemelihara.”
“Jenis keempat adalah manusia pendobrak. Karakternya hampir mirip dengan manusia jenis pertama, yakni pencetus. Pendobrak ini bagian yang nggak setuju terus. Semua dibantah olehnya. Dia bisanya mengkritisi, tapi giliran disuruh bikin nggak bisa. Dia ini bagian nyacat atau mencela. Ada manusia yang memang oleh Tuhan diijinkan untuk menjadi juru cela. Maka jangan kaget kalau di antara kita ada yang ahli di bagian situ. Selama ini kan yang ahli atau pakar itu kan yang ekspertasinya di wilayah kedua atau ketiga, padahal ekspertasi kan luas. Ada orang yang memang kerjanya nyacat terus ben dino, dan itu bagus untuk kita yang memang ingin dinamis. Orang ini kalau tidak dibayar akan berbahaya bagi masyarakat, jadi mending bayar dia khusus untuk mencela di wilayah tertentu. Di wilayah selain itu, jangan mencela siapa-siapa. Dia punya kecerdasan untuk mencela, tapi dia hanya diperbolehkan mencela di ruang rapat kantor saja lho ya, di luar kantor tidak boleh. Di luar itu dia harus berbudaya.”
“Berbudaya itu mencari yang baik dari yang buruk-buruk. Kalau yang terjadi di masyarakat sekarang kan justru mencari buruk-buruk dari yang baik. Ada orang baik dicari buruknya terus, sementara pekerjaan kebudayaan adalah ada orang seburuk apapun, kita cari baiknya, sampai kita nanti sampai di tahap di mana tidak ada yang tidak indah, tidak ada yang tidak nikmat, tidak ada yang tidak berguna. Ibaratnya dalam musik, tidak ada yang fals.”
“Fals itu tidak ada. Yang ada adalah bunyi tidak terletak di tempatnya bersama harmoninya. Kalau dia diletakkan berjejer dengan yang satu konfigurasi dengan dia, dia nggak fals.Ini kalau seandainya workshop musik, saya tunjukkan kepada Anda. Dia punya konfigurasi harmoni sendiri.”
“Tidak ada yang buruk, tidak ada kecelakaan, tidak ada kerugian dalam hidup ini. Kita pernah mengalami kehancuran saat Orba, Orla, Reformasi, banyak sekali, tapi saya melihat tidak ada masalah. Memang hidup seperti itu. Yang penting kita tahu yang disebut manajemen itu apa. Manajeman itu bukan bagaimana menyusun uang. Kalau saya, manajemen adalah bagaimana tidak punya kerjaan tapi bisa nyekolahke anak-anak. Itu kan manajemen banget. Bagaimana nggak punya gaji tetap tapi bisa survive, itulah manajemen. Nek gajimu sakmene digawe ngene, dudu manajemen iku, tapi kasir.”
“Manajemen itu bagaimana kita tidak punya beras tapi bisa bikin nasi. Kalau dalam Al-Qur’an namanya min haitsu laa yahtasib. Allah memberimu rizqi melalui jalan dan metode yang di luar perhitunganmu. Dan itu adalah jaminan Allah setiap hari kepada orang yang selalu meletakkan hatinya dekat dengan Dia.”
“Saya pribadi bisa mendapatkan cash dari langit. Satu contoh, saya didatangi kiai-kiai tua, ada di antaranya yang sudah 94 tahun usianya. Saya nangis karena nggak punya uang untuk nyangoni, maka saya masuk kamar, wudlu, kemudian sisiran. Di atas lemari saya dapat 40 juta, cash. Hal-hal seperti bisa saja terjadi, tapi syaratnya adalah saya tidak boleh mengambil sedikitpun untuk saya sendiri. Maka saya bagikan semua kepada tamu-tamu saya itu.”
“Tapi orang Indonesia kan nggak percaya sama Tuhan, maka kerjaannya mencuri terus, curang terus. Dia tidak percaya sama begitu banyak kemungkinan rizqi dalam kehidupan. Saya punya sekolahan, lebih banyak daripada yang didirikan oleh Direktur BI. Saya bisa mengadakan forum-forum Padhangmbulan setiap bulan di 6 kota, sekarang sudah 21 tahun, saya biayai sendiri. Dengan massa ratusan atau ribuan, forum-forum saya berlangsung tanpa sponsor, tanpa biaya dari siapa-siapa. Tanpa keamanan, tanpa ijin, dan itu sudah semenjak Orba. Orang datang dari jam delapan malam sampai jam tiga pagi, sampai hari ini. Kemarin di TIM kami sampai jam 03.30, di Jogja tanggal 17 sampai jam 04.00. berlangsung terus-menerus karena min haitsu laa yahtasib.”
“Allah itu bukan milik para ustadz. Allah adalah milik kita semua, Dia sangat dekat sama kita. Dia sangat lucu, penuh humor, sangat penuh kasih-sayang. Dia tidak membutuhkan sopan-santun yang pura-pura.”
“Tentang ilmu katuranggan jelas ya. Itulah kenapa Pak Harto memilih Harmoko untuk menjadi Menteri Penerangan sampai akhir meskipun kita nggak suka. Pak Harto tahu persis bahwa Pak Harmoko adalah tipe pemelihara. Sampai hari ini dia masih memelihara apa yang bisa dia pelihara. Ini saya tanya langsung ke Pak Harto mengapa dia pindah dari Pak Moerdani, padahal Pak Moerdani itu berjasa sama Pak Harto, dia menemukan dukunnya Pak Harto yang ke-39 di Aceh sehingga Benny Moerdani diangkat menjadi Dukun Gajah Putih. Sebelum itu teorinya ada 39 dukun Pak Harto, tapi baru ketemu 38. Saya ketemu dukun-dukunnya Pak Harto di mana-mana.”
“Tentang dukun ini juga ada teorinya sendiri. Dukun itu apa, kiai itu apa. Anda jangan salah sangka bahwa dukun ini pasti jelek dan kiai pasti baik, karena dukun masih bekerja untuk mendapat uang, sementara kiai biasanya nggak kerja tapi dapat uang. Jadi kan masih mending dukun.”[]
Baca selanjutnya di Maiyahan BI 24/04/2013: Belajar Kepemimpinan dari Lokalitas yang Arif
sumber: www.kenduricinta.com
Maiyahan BI 24/04/2013: Empat Jenis Manusia
4/
5
Oleh
Admin
1 komentar:
Tulis komentarNice bllog you have
ReplyUntuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>