• Home
  • About
  • Hubungi Kami
  • Privacy Policy
  • Disclaimer
Menu

Pejalan Sunyi

iklan banner
  • Home
  • Daftar Isi
  • News
  • Inspirasi
  • Seputar Guru
    • Regulasi Pendidikan
    • Perangkat Pembelajaran
    • Media Pembelajaran
    • Guru Menulis
    • Sertifikasi Guru
    • Pendataan Pendidikan
  • Tips & Trik
  • Budaya
    • Opini
    • Esai
    • Resensi Buku
    • Cerpen
    • Puisi
    • Anekdot
  • Maiyah
    • Tentang Maiyah
    • Kolom Mbah Nun
    • Kolom Jamaah Maiyah
    • Reportase Maiyah
  • Literasi
  • Download
  • Kirim Artikel

Artikel Populer

  • Kiai Arief Hasan, Cermin Pengilon Dari Beratkulon
  • MENELISIK FUNGSI GADGET DALAM KEGIATAN PEMBELAJARAN
  • Tak Hanya Isi Beha yang Bikin 'Telan Ludah', Omset Jual Beha juga Mampu Membuat Mata Terpana
  • Menjelang Idul Fitri
  • Guru Menulis, Antara Mulia dan Karya
  • Seharusnya Berjudul Celana Dalam
  • JALAN PINTAS

Inspirasi

Pengunjung

Free counters!
top personal sites
top personal sites
Home / Archived For February 2013

Thursday, February 28, 2013

Change Your Soul, Change Your Life!

Resensi Buku
Cover Buku Laduni Ilung S Enha
TAK sedikit yang bilang, kecerdasan laduni sukar dicari. Alih-alih demikian, dalam terminologi klasik ditegaskan bahwa kecerdasan laduni adalah ilmu pemberian Tuhan yang diperoleh tanpa melalui proses belajar. Konsepsi ini lantas menafikan piranti metodologis kecerdasan, sehingga tak jarang mendorong timbulnya perilaku irasional, mistis, atawa klenik.

Sejumlah literatur kontemporer pun acapkali menopang konsepsi tersebut. Taruhlah contoh, Aktivasi Ilmu Laduni (Ilmu Ajaib Cerdas Seketika, Cara Pintar Tanpa Bekerja Keras) yang ditelorkan Rizem Aizid. Karya Rizem tak beranjak dari pembahasan normatif-doktrinal. Ia sekadar merajut serpih-serpih pemikiran tradisionalis hatta susah ditemukan unsur kebaruan.

Berbeda halnya bila menilik buku Laduni Quotient. Buah pena Ilung S. Enha ini hendak membongkar mistisme ilmu laduni. Laduni Quotient (LQ) sesungguhnya merupakan kecerdasan pemikiran yang bersifat ruhaniah. LQ tak datang dengan tiba-tiba. Dan, Ilung dengan trengginas membabar segugus piranti metodologis dalam upaya pencapaian LQ.

Kinerja LQ tak saja memerlukan optimalisasi dari potensi otak, melainkan pula dengan mendayagunakan akal, melipatgandakan potensi hati, hingga merambah ke wilayah ruh-ruhaniah. Itulah sebabnya, kecer­dasan laduni tak mungkin tumbuh hanya dengan meng­gu­nakan potensi berpikir, namun juga dengan mendayagunakan potensi berzikir. Dengan menggabungkan kedua potensi itu serta dipadukan dengan getaran wirid dan kebeningan doa kecerdasan laduni akan tumbuh pada jiwa seseorang.

Bila dikaitkan dengan konsepsi kecerdasan yang selama ini telah diakrabi semisal Intelligence Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ), Spiritual Quotient (SQ), dan Emotional Spiritual Quotient (ESQ), Laduni Quotient (LQ) yang didedahkan Ilung mengisi celah-celah kekosongan paradigmatik-eksistensial yang ditanggalkan.

Konsepsi kecerdasan itu masih mengabaikan ruang ruhani dengan segala perangkatnya (dzauq, aql, shadr, fu’âd, qalb, bashîrah, dan lubb) yang beroperasi di wilayah hati. Karena itu, takkan sanggup mengungkap kebenaran realitas dengan se­benar-benarnya dan seterang-terangnya. Apalagi arus globalisasi dan teknologi informasi yang terus bergelombang acapkali menciptakan pusaran persoalan yang pelik. Tak jarang manusia tiba-tiba tergeragap. Menyadari betapa akal buntu berpikir dan bebal. Emosi pun liar serupa daun kering yang mudah terbakar. Sampai-sampai terombang-ambing di tengah ketidakpastian.

Fenomena ini sering menghantui masyarakat modern di tengah realitas serba-tak-terduga (hiperrealitas). Potensi kecerdasan IQ, EQ, SQ, dan ESQ tak mampu lagi menjadi sandaran. Untuk itu, dibutuh­kan sebuah logika yang lebih luas dan lebih dalam dari itu. Dan, pada ruang inilah karya monumental Ilung S. Enha menemukan signifikansinya. Dengan gemulai, Ilung menabalkan konsep Laduni Quotient (LQ). Sebab, logika laduni merupakan pengejawantahan dari kecerdasan ruhaniah yang merupakan puncak akumu­lasi dari logika rasional, logika intuitif, dan logika spiritual.

LQ mengusung misi memadukan perangkat kecerdasan otak dan perangkat kecerdasan hati, untuk kemudian dihu­bung­kan ke pusat atmosfir energi ruh. Sebab, untuk dapat mem­fungsi­kan LQ dibutuhkan energi yang sangat besar. Sedangkan energi yang berkumpar di dalam hati, masih kurang mencukupi. Apalagi sekadar energi yang terkandung di dalam otak manusia.

Di ruang pusat atmosfir energi ruh terkandung segala bentuk energi yang dibutuhkan bagi keberlangsungan hidup ma­nusia dan guna mempercepat proses kecerdasan. Tak hanya ener­gi kecerdasan yang tersimpan di sana, melainkan juga ener­gi kesadaran, energi kekuatan, energi kecermatan, energi perce­pat­an, energi kesabaran, energi keikhlasan, energi gerak yang tiada kenal putus asa, energi niat dan kesungguhan, energi ino­vasi, energi hening dan kebeningan, serta sederet energi-energi lain yang bisa diurai sendiri.

Buku ini akan membuka cakrawala baru mengenai kecerdasan laduni. Dengan piawai, Ilung menyusuri kanal-kanal hampa yang dilalui IQ, EQ, SQ, dan ESQ. Wacana kecerdasan laduni tidak sekadar dihamparkan, akan tetapi dikaji dengan kritis untuk direkonstruksi, sehingga kesan kecerdasan laduni yang rumit dan berbelit-belit segera tumbang. Inilah kontribusi Ilung yang laik diapresiasi. Di tangan Ilung, kecerdasan laduni yang dianggap sebagian orang sebagai sesuatu yang berat menjadi ringan dan begitu santai dipahami.

Maka, tepatlah sekira Jalaluddin Rakhmat dalam sepercik sambutan menegaskan bahwa neuroscience selama puluhan tahun melacak asal usul jiwa pada otak – pada materi yang bisa diamati dan karena itu bisa diukur. Semboyan mereka ialah Change your brain, Change your mind. Penelitian mutakhir membawa neuroscience kepada arah baru: Change your mind, change your brain. Dengan mengubah pikiran, Anda dapat mengubah struktur otak Anda, memangkas atau melahirkan neuron-neuron baru. Di balik pikiran ada jiwa. Ilung S. Enha telah mencoba masuk ke arah baru ini. Ia mengajak Anda untuk mengubah jiwa Anda dan akhirnya mengubah hidup Anda. Change your soul, Change your life! []

Judul Buku : Laduni Quotient (Model Kecerdasan Masa Depan)
Penulis : Ilung S. Enha
Penerbit : Kaukaba, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Juni 2011
Tebal : 192 halaman
Peresensi : Saiful Amin Ghofur
Admin Pada Thursday, February 28, 2013 Komentar

Wednesday, February 27, 2013

Maiyah Dalam Perspektif Sufisme

Kolom Jamaah Maiyah
Maiyah dalam Perspektif Sufisme
KOSAKATA ‘maiyah’ dalam bahasa Arab berarti: dalam keadaan bersama atau kebersamaan yang tak terlepaskan, the endless togethern ess (kalau boleh menggunakan kosakata seperti ini). Dalam tradisi sufisme maiyah berarti maiyatullah, bersama Allah ya kni makna yang bersumber dari keadaan yang dialami rasulullah Muhammad SAW dan sahabatnya. Abu Bakar ra tatkala berada di dalam gua tsaur ketika sedang dikejar musuh dimana Muhammad SAW menyatakan kepada sahabatnya “Allah bersama kita”; sebagaimana dikisahkan dalam al-Quran surah at-Taubah : 40.

Literature tasawuf cukup kaya akan bahasan mengenai ayat 40 surat at-Taubah ini karena pertanyaan yang menggelitik adalah bahwa sosok Abu Bakar bukanlah pengikut biasa melainkan orang yang oleh Nabi sendiri diakui keimanannya yang prima sehingga tidak layak berasumsi bahwa Abu Bakar dirundung ketakutan dan kekhawatiran apalagi kesedihan menghadapi situasi yang ada. Lagi pula tidak ada informasi yang akurat baik al-Quran maupun Hadist yang menggambarkan bahwa Abu Bakar saat itu mengeluh kepada sahabatnya apalagi secara fisik menyatakan rasa sedih. Tetapi mengapa kemudian Muhammad SAW berkata kepada sahabatnya: “jangan bersedih, Allah bersama kita”?.

Boleh jadi ungkapan ini tidak mesti dipahami dengan pola hubungan sebab akibat sehingga tidak dengan cara empiric dimaknai jangan bersedih karena Allah bersama kita. Pemaknaan sufisme terhadap kesedihan yang mungkin ada dalam diri Abu Bakar tidak terkait dengan pribadinya tapi tertuju pada apa-apa yang akan menimpa mereka yang memerangi dan mengejar Muhammad, seakan-akan Abu Bakar berkata: ‘saya bersedih jika kemudian orang-orang itu mencederaimu wahai Rasulullah, maka tertimpa azab yang tak berkesudahan’. Ini tentu disebabkan oleh pengetahuan Abu Bakar yang sudah mencapai taraf ainulyaqien siapa sesungguhnya Muhammad. Dari pihaknya Nabipun hanya mengingatkan “Allah bersama kita” dalam pembebasan mereka yang menjadikan dirinya musuh Muhammad dari malapetaka apapun; seperti halnya sikap beliau menghadapi penyiksaan penduduk Makkah ketika telah mencapai titik kulminasi sampai-sampai malaikat Jibril as menawarkan apa perlu mengangkat Jabal Qubais untuk ditimpakan kepada mereka dan tamat riwayatnya? Lalu dijawab oleh beliau Nabi “Oh jangan, karena aku berharap mereka melahirkan anak-cucu keturunan yang mampu memahami misi ini dan menjadi pejuang melanjutkannya”; Subhanallah, shallallahu alaika ya sayyidi ya Rasulullah.. Pengertian maiyah sebagaimana yang dipahami kaum sufi dari ayat 40 surat at-Taubah bukan untuk membangun sifat defensive melainkan gagasan ‘pembebasan’ yang didasarkan kepada cinta kasih sesame sebagai manifestasi cinta kepada Allah dan Rasul-Nya dan dengan kepercayaan yang mendalamterhadap misi perjuangan. Bukanlah kebetulan bahwa ‘maiyah’ muncul dalam konteks proses hijrah karena pada dasarnya momentum hijrah menjadi tonggak transisional dalam metodologi dan pendekatan dakwah yang digunakan Muhammad dalam misinya.

Selama kurang lebih satu dasawarsa beliau mendebat penduduk Makkah tentang tauhid, namun hasilnya tidak signifikan. Sejak dahulu bahkan hingga sekarang penduduk Makkah adalah manusia-manusia materialistic sehingga sulit memahami dimensi-dimensi ideologis, seperti sikap mereka yang tak habis piker mempertanyakan misalnya buat apa Muhammad mengajarkan persaudaraan sesame manusia diluar hubungan darah dan suku bangsa? Oleh karena itu, di Madinah Muhammad tidak lagi melakukan perdebatan tauhid tetapi memberikan contoh kongkrit bagaimana konstruksi masyarakat yang diinginkan Islam sesungguhnya; bagaimana manusia hidup saling mengasihi dan saling mengerti, bersatu membangun dan mempertahankan kedaulatan Madinah, ibarat pepatah Indonesia: “Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul”. Hasilnya, dalam kurun waktu kurang dari satu dasawarsa tidak saja berbondong-bondongnya penduduk Makkah bergabung ke Madinah tetapi Muhammad telah membangun basis kekuatan politik, ekonomi dan militer yang tak tertandingi di semenanjung Arabia.

Kelompok sufi – kalau tidak disebut sebagai aliran – yang lebih dikenal amat ketat mempraktekkan konsep maiyah seperti ini adalah aliran al-Malamatiyah di Khurasan pada ke-3 dan ke-4 H. berdasar prinsip iitsaar yang mengacu pada ayat 9 abadsurah al-Hasyr, persaudaraan al-Malamatiyah dibangun diatas sikap pengorbanan diri sendiri demi kepentingan saudara. Sikap tersebut menciptakan idealism alfutuwwah yaitu semangat kepemudaan dalam berjuang seperti halnya ashabul kahfi. Tokoh-tokoh besar dalam tradisi sufi pada umumnya penganut malamatiyah dan ahlul futuwwah mulai dari Abu Yazid al-Busthami, al-Hallaj, al-Junaeid hingga Ibn Arabi.


Muhammad Ainun Nadjib dan Maiyah
Tidak ada kaitan formal yang dapat dijadikan alas an akademis maupun intelektual untuk secara metodologis menyimpulkan adanya hubungan antara gerakan jamaah Maiyah yang memperoleh inspirasi, pembimbingan, pengayoman dan pengajaran dari seorang Muhammad Ainun Nadjib yang lebih akrab disapa Cak Nun, dengan gagasan-gagasan pemikiran dan ideology yang berkembang dalam sufisme. Cak Nun secara formal bukan anggota tarekat ataupun pernah berguru dan menerima ijazah dari seorang Syekh Tarekat tertentu, bahkan tidak mempelajari tasawuf melalui jalur pendidikan baik formal, informal maupun non-formal. Tetapi aneh dan ajaibnya, pemikiran apapun yang terkandung dalam literature tasawuf bisa dengan gampang dan gambling Cak Nun menguraikannya. Buka kitab al-Futuhat al-Makkiyah, suatu karya monumental Ibn Arabi sebagai contoh dan lacak topic yang menguraikan martabat wujud, maka anda dapat lebih mengerti gagasan itu dalam satu kali pertemuan dengan Cak Nun disbanding beberapa kali pertemuan bahkan beberapa semester tapi tetap tak mengerti di hadapan professor pengajar materi tasawuf pada perguruan tinggi Islam dan non-Islam di Indonesia.

Maiyah yang secara kreatif atau lebih tepatnya menjabarkan prinsip-prinsip persahabatan, persaudaraan dan ikrar perjuangan berdasarkan cinta kasih serta dengan ihklas dan jujur yang bersumber dari inspirasi gua tsaur dan momentum hijrah Nabi, merupakan kreasi sufistik Cak Nun yang jika disandingkan dengan gerakan-gerakan sufi dalam sejarah, menempati posisi setara dengan kaum malamatiyah. Jamaah Maiyah sebagaimana pengikut malamatiyah menjadi tempat berteduh masyarakat umum dalam menghadapi kezaliman ataupun kesewenang-wenangan pemerintah ataupun publik. Bahkan jamaah Maiyah sebagaimana jamaah Malamatiyah cenderung mempraktekkan ‘rasa bahagia’ dan sikap ‘menikmati’ ketidak-adilan dan penderitaan yang dialaminya.

Dengan demikian maka Cak Nun dengan jamaah Maiyahnya sesungguhnya merupakan nikmat bagi pemerintah dan Negara Indonesia. Forum-forum Maiyah Cak Nun telah menjadi danau serapan bagi banjir kebencian masyarakat. Maiyah menjadi ‘GEGANA’ penjinak bom yang setiap saat dapat meledak gara-gara ketidak-adilan dalam masyarakat. Maiyah menjadi jembatan perdamaian bilamana terjadi konflik antara kelompok masyarakat. Lebih dari itu, Maiyah menjdai ‘sekolah’ kehidupan yang memberikan pendidikan kearifan hidup.

Meski peran social dan cultural yang dimainkan jamaah Maiyah begitu besar artinya bagi stabilitas politik dan keamanan nasional Indonesia, namun Cak Nun tidak mendapat penghargaan, apresiasi maupun terima kasih dari pemerintah. Dan tentu Cak Nun tidak pernah mengharapkan apapun dari siapapun kecuali kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya, karena beliau mempraktekkan ayat 9 surah al-Insan. Namun tentunya tetap tergantung kepada kehendak dan keinginan Allah terhadap bangsa Indonesia ini. Jika Allah kemudian menutup ‘danau’ Maiyah, membubarkan ‘gegana’ Maiyah, merontokkan ‘jembatan’ Maiyah dan menutup ‘sekolah’ Maiyah, maka revolusi takkan terhindarkan. Dan jika saatnya tiba Allah pun takkan segan-segan memerintahkan Cak Nun mendeklarasikan ‘perang badr’ dan menggerakkan balatentara yang tak terlihat dan yang sudah cukup lama stand by. Wallahu a’lam.

Muhammad Nursamad Kamba
Jakarta, 23 Desember 2009
Admin Pada Wednesday, February 27, 2013 Komentar
NEGERI ORANG TERTAWA

NEGERI ORANG TERTAWA

Kolom Cak Nun
Berpengalaman Dijajah

Saya berasal dari sebuah negeri yang penuh kehangatan hidup. Bakat utama bangsa saya adalah bergembira dan tertawa. Kaya atau miskin, menang atau kalah, mendapatkan atau kehilangan, kenyang atau lapar, sehat atau sakit – semuanya potensial untuk membuat kami bergembira dan tertawa.

Bangsa saya sangat murah hati. Mengekspor ke berbagai negara bukan hanya barang dan makanan, tetapi manusia. Penduduk negeri saya bertebaran di berbagai negara. Ada yang menjadi kaya, ada yang mati tak ketahuan kuburnya. Ada yang sukses, ada yang diperkosa. Ada yang pulang membawa modal lumayan, ada yang dipukuli, diseterika, dibenturkan kepalanya ke tembok. Dua kali saya membawa pulang wanita muda gegar otak dan badannya luka-luka, dari Cairo dan Riyadh ke Jakarta.

Aliansi Anti Deportasi di Jakarta melaporkan ia telah melaporkan hampir 3 juta kasus penindasan atas tenaga kerja Indonesia di luar negeri, dan tak satupun yang diselesaikan. Para pekerja yang sukses tidak ada yang bersikap egoistik: pulang ke tanah air, di Terrminal-3 Cengkareng Airport, mereka menyediakan diri untuk ditodong oleh banyak yang memang menunggu di sana untuk mencari nafkah. Itu membuat mereka menangis sejenak, tapi kemudian tertawa-tawa lagi. Karena penderitaan adalah memang sahabat yang paling akrab dengan mereka sejak kanak-kanak..

Bangsa saya sangat berpengalaman dijajah. Sebagian mereka menunggu penjajah datang ke kampungnya, sebagian yang lain menyeberang ke luar negeri untuk mencari penjajah.

Tuhan Menyesuaikan Diri pada Aturan Manusia

Bangsa Indonesia tidak memerlukan pemerintahan yang baik untuk tetap bisa bergembira dan tertawa. Kami tidak memerlukan perekonomian yang stabil, politik yang bersih, kebudayaan yang berkualitas – untuk mampu bergembira dan tertawa. Kami bisa menjadi gelandangan, mendirikan rumah liar sangat sederhana di tepi sungai, dan kami hiasi dengan pot-pot bunga serta burung perkutut.

Bangsa kami sangat berpengalaman dijajah, juga saling menjajah di antara kami. Dijajah atau menjajah, kami bergembira dan tertawa. Sayang sekali belum ada ilmuwan yang tertaik meneliti frekwensi tertawa bangsa kami – di rumah, di warung, di lapangan sepakbola, di ruang pertunjukan, di layar televisi, di tengah kerusuhan, di gedung parlemen, di rumah ibadah, di manapun saja. Ada orang terjatuh dari motor, kami menuding-nudingnya sambil tertawa. Orang bodoh ditertawakan. Apalagi orang pandai.

Kehidupan bangsa kami sangat longgar, sangat permisif dan penuh kompromi. Segala sesuatu bisa dan gampang diatur. Hukum sangat fleksibel. Idealisme tergantung keperluan. Ideologi bisa diubah kapan saja, asal menguntungkan. Kebenaran harus tunduk kepada kemauan kita. Bangsa saya bukan masyarakat kuno yang sombong dengan jargon “membela yang benar”. Kami sudah menemukan suatu formula pragmatis untuk kenikmatan hidup, yakni “membela yang bayar”.

Tuhan harus menyesuaikan aturan-aturan-Nya dengan perkembangan dan kemajuan hidup kita. Orang-orang yang memeluk Agama sudah sangat lelah berabad-abad diancam oleh Tuhan yang maha menghukumm, menyiksan, mencampakkan kita ke apir neraka. Tuhan yang boleh masuk ke rumah kita sekarang adalah Tuhan yang penuh kasih sayang, yang suka memaafkan dan memaklumi kesalahan-kesalahan kita. Sebagaimana kata-kata mutiara – “Manusia itu tempat salah dan khilaf”.

10 Kriteria Calon Presiden

Kami adalah bangsa yang sangat memegang prinsip. Di dalam memilih pemimpin atau Presiden kami punya beberapa tingkat kriteria:

Presiden yang baik adalah yang masih punya hubungan darah dengan saya.

Kalau tidak ada hubungan darah langsung ya tak masalah, asalkan Presiden yang bersangkutan masih ada cantolan keluarga, entah dari besan atau sekedar saudara angkat.

Kalau saudara sedarah tidak, saudara dari besan tidak, dan saudara angkat juga bukan, baiklah, asalkan Presiden itu punya hubungan baik dengan tetangga sebelah saya yang selama ini senasib sekemiskinan dengan kami sekeluarga.

Kalau terpaksanya tak ada hubungan dan cantolan darah, saudara angkat atau tetangga, tidak masalah, asal Presiden itu berasal dari kelompok, golongan atau partai politik yang saya ikut di dalamnya.

Kalau terpaksanya tidak sekelompok, tidak segolongan dan tidak separpol, tak jadi soal juga, asalkan ia melibatkan saya untuk turut aktif di dalam kekuasaannya.

Umpamanya terpaksa tidak dilibatkan dalam kekuasaannya, tak soal juga, asalkan ada saudara atau teman saya yang dijadikan pejabat, sehingga saya bisa kecipratan sedikit-sedikit.

Kalau tidak juga ada saudara atau teman saya yang diangkat jadi pejabat, tidak masalah, asalkan saya atau saudara saya atau teman saya diberi proyek usaha ekonomi, boleh perusahaan, boleh modal.

Kalau perusahaan dan modal pun tak disediakan juga, tak apalah, asalkan saya dikasih pekerjaan yang memadai demi penghidupan anak istri saya.

Kalau pekerjaan yang memadai tak disediakan juga, ya sudahlah asal pekerjaan saja cukuplah. Kalau tidak jadi Mandor,  jadi kuli pun tak apa-apa, asalkan keluarga saya tidak kelaparan.

Kalaupun sembilan syarat itu tak dipenuhi sama sekali, ya sudahlah, tetap saya akui dia sebagai Presiden bangsa saya.

Muhammad Ainun Nadjib
2004
Admin Pada Wednesday, February 27, 2013 Komentar

Tuesday, February 26, 2013

STRUKTUR KURIKULUM SD/MI 2013

Berita Pendidikan
KEMENTRIAN Pendidikan dan Kebudayaan sedang gencar melakukan sosialiasi kurikulum 2013. Meski masih diwarnai pro dan kontra, kurikulum yang dinilai memiliki muatan pembelajaran yang mampu mendorong siswa lebih kreatif akan diberlakukan pada tahun pelajaran 2013/2014. Dalam kurikulum 2013, proses pembelajaran akan dilakukan secara holistik disesuaikan dengan tahap perkembangan siswa sesuai jenjang sekolah.

Perubahan yang cukup besar terjadi di jenjang sekolah dasar, terutama di kelas 4 - 6 karena tidak akan menerapkan sistem mata pelajaran namun akan menerapkan program pembelajaran secara tematik integratis. Dalam metode pembelajaran tematik tersebut, siswa diajak untuk mengenal ilmu dasarnya dulu. Dalam prosesnya, pembelajaran tematik sudah mencakup berbagai mata pelajaran sebagaimana yang sudah dilaksanakan pada kelas 1 - 3 pada kurikulum sebelumnya (Kurikulum KTSP).

Pada tahun ajaran 2013/2014, kurikulum rencananya hanya akan diberlakukan bagi siswa kelas 1 dan 4. Kelas 2,3,5, dan 6 masih menggunakan kurikulum lama. Sedangkan untuk tingkat SMP dan SMA/SMK akan dimulai dari kelas 1. Hal tersebut akan dilanjutkan tiap tahun oleh kelas-kelas di atasnya, sehingga Tahun Pelajaran 2015/2016 seluruh kelas sudah harus melaksanakan kurikulum baru tersebut.

Adapun Struktur Kurikulum SD/MI adalah sebagai berikut:

Kelompok A adalah mata pelajaran yang memberikan orientasi kompetensi lebih kepada aspek kognitif dan afektif, sedangkan kelompok B adalah mata pelajaran yang lebih menekankan pada aspek afektif dan psikomotor.

Integrasi Kompetensi Dasar IPA dan IPS didasarkan pada keterdekatan makna dari konten Kompetensi Dasar IPA dan IPS dengan konten Pendidikan Agama dan Budi Pekerti, PPKn, Bahasa Indonesia, Matematika, serta Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan yang berlaku untuk kelas I, II, dan III. Sedangkan untuk kelas IV, V dan VI, Kompetensi Dasar IPA dan IPS berdiri sendiri dan kemudian diintegrasikan ke dalam tema-tema yang ada untuk kelas IV, V dan VI.

Sedangkan Kompetensi Inti SD adalah sebagai berikut:

Bagi Anda yang berminat untuk mendapatkan Struktur Kurikulum 2013, Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) khusus SD/MI silahkan klik STRUKTUR KURIKULUM SD/MI 2013. File dalam bentuk documen word.[]

 
Admin Pada Tuesday, February 26, 2013 Komentar

Mohon Maaf: Penyair itu Bukan Pengarang

Opini
Maiyah Penyair
SUATU hari, kamu pernah bilang padaku bahwa engkau tak suka pengarang. Bahwa engkau sangat tidak menyukai pengarang. Karena bagimu, pengarang adalah sosok yang sibuk dengan angan-angannya sendiri. Ia terbang tinggi ke awan, bermain-main dengan langit dan rembulan, melayang-layang di angkasa impian. Sampai pada ketinggian tertentu, ia tertegun sendiri. Dan akhirnya, lantaran sayap-sayapnya yang patah, ia mungkin akan terjatuh ke bumi. Boleh jadi akan mati. Makanya kamu bilang, jangan terbang tinggi-tinggi mengarungi langit khayalan. Hiduplah sewajarnya. Tatap realita apa adanya. Engkau manusia, bukan burung. Pijakkanlah kakimu di bumi. Sebab, kalau suatu hari engkau terjatuh. Engkau akan mengalami sakit luar biasa akibat kejatuhan itu.

Saya hanya tersenyum, dan mencoba menuturkan kalimat yang tepat untuk pemahamanmu itu.

Saya tahu, mungkin yang kamu maksud pengarang itu adalah manusia yang berjibaku dengan dunia kata, semacam penyair, penulis, esais, atau apapun namanya. Saya sendiri bahkan mengalami ketakutan luar biasa jika menganggap diri sebagai pengarang. Sebab, telah menjadi pengetahuan bersama, bahwa segala yang tersebar di permukaan bumi ini adalah hasil karangan dan kreasi agung Tuhan Semesta Alam. Segala konsep, segala ide, gagasan, atau apapun namanya yang merupakan ruh kehidupan adalah hasil inisiasi Tuhan. Kalau secara kebetulan, saya dianugrahi kemampuan menuliskan sesuatu, yang sebelumnya bersemayam di ruang kepala, yang pada akhirnya kau sebut sebagai 'hasil karangan'. Bagi saya, semua adalah garis takdir yang tidak boleh tidak, memang harus disyukuri. Bukankah talenta yang melekat pada diri semua orang dengan ciri khasnya masing-masing adalah sekedar pinjaman? Maka, yang harus dilakukan adalah memberdayakan pinjaman itu agar bisa memberikan manfaat. bagi manusia lain.

Dalam kehidupan ini, semua manusia bebas menentukan jalan hidupnya masing-masing. Dengan segala yang dimilikinya, ia bebas menentukan langkah dan menjadi apa saja, bebas dalam tanda petik tentunya. Namun, menjadi apa saja itu sendiri tetap harus dalam kesadaran bahwa manusia adalah khalifah, adalah makhluk paling tinggi yang dipasrahi Tuhan untuk mengatur segala sesuatu yang tersebar di alam semesta. Engkau boleh menjadi guru, kalau memang menjadi guru adalah cara yang paling tepat untuk mengantarkan pada tujuan hidupmu. Engkau boleh menjadi pedagang, politikus, menteri, konglomerat, artis, tukang becak, presiden, dan bahkan kiai, atau apa saja. Sebab, semua itu hanya washilah atau alat yang akan mengantarkan manusia pada tujuan hidup tertentu, yang dalam pengertian orang beragama adalah selamat di hadapan Tuhan.

Allhasil, dalam menjadi apa saja itu, yang pertama kali harus diperhatikan adalah kemungkinan selamat atau tidak di hadapanNya. Jika menjadi tukang becak misalnya, tapi ia ikhlas dengan keadaan itu, dan mengerahkan segenap kemampuan dan tenaga untuk menggenjot pedal, sejengkal demi sejengkal, dengan keringat bercucuran dan nafas terengah-engah demi menafkahi anak istri yang menjadi tanggungan wajib dalam kehidupannya. Itu adalah kemuliaan sedalam-dalamnya.

Bandingkan jika menjadi Menteri, Bupati, Kiai, Presiden, atau jabatan-jabatan apapun yang lain, yang mencerminkan status sosial yang tinggi dalam kehidupan. Tapi predikat itu ternyata membuat manusia lupa dengan tujuan hidupnya. Ia gunakan posisi itu untuk memuaskan hasrat fisik, demi melegakan nafsu hewaniyah yang demikian mencakar-cakar dalam derap keinginan tak habis-habis. Ia korbankan jutaan nyawa demi melampiaskan egonya semata. Bukankah posisi itu adalah sehina-hina dan secelaka-celakanya kehidupan?

Maka sekali lagi, tak penting menjadi apa. Yang penting apakah 'menjadi apa' itu menyebabkan manusia selamat dalam kehidupan atau tidak.

****

SAYA tak akan memprotes jika engkau tidak menyukai penyair yang kau katakan sebagai pengarang itu. Mungkin ketidaksukaanmu itu lebih disebabkan bahwa penyair bagimu adalah manusia yang sibuk menata kata merangkai kalimat, dengan melupakan substansi maupun hakekat nilai. Bagimu, penyair adalah manusia yang hidup di menara gading, terbang tinggi ke awan, tanpa pernah memijakkan kakinya di bumi. Jika suatu hari nanti, ia dengan segala keterpaksaan harus kembali pada tanahnya berpijak, ia menjadi kaget dan tergagap-gagap dalam menatap kenyataan.

Namun, satu hal yang mungkin engkau lupa. Bukankah segala sesuatu yang menghampar di alam mayapada ini memang diciptakan berpasangan dan berkaitan satu sama lain? Dan bahkan diri manusia sendiri adalah susunan hasil kreasi agung penciptaNya yang tak hanya tersusun dari badan wadag, berupa daging dan tulang belulang. Manusia adalah pasangan antara jasad dan ruh yang saling berkaitan satu sama lain, dan tentu saja tak bisa dipisahkan. Jika manusia hanyalah jasad, ia bukanlah manusia, tetapi bangkai. Sebaliknya, jika manusia adalah ruh, ia tak lagi disebut sebagai manusia, tetapi lelembut. Maka keterkaitan antara jasad dan ruh itulah yang menyebabkan manusia sebagai manusia.

Dalam kehidupan ini, tak ada action atau perbuatan tanpa didahului oleh ide atau gagasan. Ide atau gagasan itu sendiri merupakan produk akal fikiran yang dimiliki manusia, yang tentu saja dengannya membuat manusia berbeda dengan makhluk Tuhan yang lain. Masalahnya, bagaimana manusia bisa berfikir dengan benar, sehingga produknya adalah sebuah kebenaran. Disinilah barangkali, mengapa ayat yang pertama kali diturunkan adalah Iqra', bacalah. Membaca apa? Qur'an belum ada saat itu, sebagaimana yang kita kenal sekarang. Maka, manusia memang harus banyak membaca. Tak hanya tekstual dengan membaca Quran, buku, kitab, atau yang lain. Tapi yang paling penting adalah membaca kontekstual, membaca keadaan, membaca peristiwa-peristiwa, membaca angkasa raya, membaca alam semesta, bahkan membaca diri manusia sendiri, agar manusia selalu berdekatan dengan kebenaran.

Para penulis bukanlah pengarang. Engkau tahu dunia penulis adalah adalah dunia ide. Ide merupakan dunia ruh yang turut mewarnai dunia kasunyatan, sehingga dunia berjalan dinamis, dipenuhi dengan kebaruan-kebaruan, dan lain sebagainya. Jika dunia ruh ini terhenti, maka kehidupan akan statis dan mengalami stagnasi. Akibatnya, segala yang berada di permukaan bumi ini akan berjalan monoton, menjemukan, membosankan, sehingga kehidupan berjalan sama sekali tidak sesuai dengan yang diharapkan. Sebaliknya, jika dunia ide itu hanya melayang-layang di dunia ruh, tidak diupayakan sedemikian rupa oleh manusia untuk ‘nikah’ dengan dunia nyata. Maka ide itu hanya akan menjadi lelembut yang keberadaannya bukan hanya menakutkan, namun kehadirannya tak bisa dirasakan sepenuhnya dalam realitas kehidupan.

Waba’du, tugas manusia jugalah yang harus mengawinkannya. Agar antara ruh dan jasad itu bersatu sehingga membawa manfaat bagi orang banyak. Walhasil, terserah manusia menjadi apa. Yang penting dengan menjadi apa itu dia bisa memberikan manfaat bagi manusia lain. Itulah sebaik-baik manusia. Demikian diujarkan Kanjeng Nabi Muhammad SAW, Sang Rasul Pamungkas. (*)

Em. Syuhada'
20130225
Admin Pada Tuesday, February 26, 2013 Komentar

Monday, February 25, 2013

Martin Luther King dan Gus Dur

Kolom Cak Nun
KH. Abdurrahman Wahid
PETA berpikir Amerika Serikat meletakkan almarhum Gusdur setataran dan se”wilayah jihad” dengan Martin Luther King Jr. Consulate General of the United States of America di Surabaya “memproklamasikan” itu dalam acara “Tribute to Gusdur and Martin Luther King Jr: Legacy of Pluralism Diversity and Democracy”.

Penyelenggara menerapkan kearifan nilai yang perlu diteladani, dengan meletakkan saya yang ber-track-record di wilayah perjuangan kedamaian, pluralisme dan demokrasi – justru sebagai pendamping pembicara utama, yakni Alissa, putrinya Gusdur sendiri.

Martin Luther terkenal dengan ungkapannya “I have a dream”, Gusdur termasyhur dengan statement “Gitu saja kok repot” yang “njangkungi” Indonesia, dunia dan kehidupan.

“Jangkung” artinya tinggi. “Njangkungi” atau menjangkungi artinya mengatasi, membereskan, mengungguli, mrantasi. Sebesar-besar masalah, setinggi-tinggi persoalan, “dijangkungi” oleh Gusdur. Martin Luther King masih berposisi “Aku mendambakan”, Gusdur “sudah mencapai”. Gusdur berbaring sambil senyum-senyum dan nyeletuk “Gitu saja kok repot”.

Wakil dari komunitas Konghucu menangis-nangis terharu oleh kasih sayang Gusdur yang membuat mereka memperoleh ruang dan kemerdekaan menjadi dirinya sendiri di Nusantara. Beberapa tokoh HMI dan Muhammadiyah, yang ber”nasab” Masyumi, mendatangi saya di pojok ketika istirahat ngopi: “Cak, Konghucu bagian enak. Kami ini yang dapat asem kecut. Gusdur tidak pernah bersikap enak kepada semua yang indikatif Masyumi. ICMI belum berdiri saja sudah dimarah-marahin oleh Gusdur…”

Saya menjawab, “itu justru karena Gusdur meyakini kalian sudah sangat mandiri dan kuat, sehingga tidak perlu disantuni, malah dikasih tantangan, kecaman dan sinisme, supaya bangkit harga diri kalian”.

Peta politik, perekonomian, kebudayaan dan apapun, sangat dikendalikan oleh konstelasi kedengkian kelompok, kepentingan sepihak dan kebodohan publik, yang menciptakan mapping gang-gang dan jejaring inter-manipulasi subyektif golongan. Atas dasar psiko-budaya politik semacam itu pulalah Reformasi 1998 dipahami dan dirumuskan. Barang siapa tidak masuk golongan, ia tidak ada. Dan itu legal konstitusional: kaum independen tidak ada dalam peta politik Indonesia.

Maka kepada teman-teman yang mengeluh itu saya berfilsafat: “Kalau Anda kain putih, kotoran sedebu akan direwelin orang. Kalau ada gombal bosok, kotor seperti apapun tidak dianggap kotoran. Tinggal Anda mau milih jadi kain putih atau gombal”.

HAM

Di samping HAM, ada WAM: wajib asasi manusia, tapi tidak saya tulis di sini. Yang pasti Martin Luther King adalah “Mbah”nya semangat HAM, Gusdur penikmat HAM. Martin Luther berjuang memerdekakan manusia, Gusdur adalah manusia paling merdeka. Kalau pakai idiom Islamnya Gusdur sendiri: Martin Luther berjuang pada tahap “da’wah bilisanil qoul” (menganjutkan dengan kata-kata), sedangkan Gusdur “amal bililasil-hal” (melakukan dan menteladani dengan perilaku).

Andaikan yang didiskriminasikan di Amerika adalah kulit putih, Martin Luther King tetap begitu juga perjuangannya. Karena dia bukan memperjuangkan hak-hak kaum hitam di Amerika, melainkan menempuh perjalanan menuju keadilan universal bagi seluruh dan setiap ummat manusia. Bukan “hitam”nya yang dibela, melainkan “hak kemanusiaan”nya. Bukan kulitnya, tapi manusianya.

Atas aspirasi pluralisme dan anti-kekerasan yang dirintis Gusdur, Pasukan Banser selalu siap siaga menjaga Gereja-gereja setiap Natal atau hari penting lainnya. Itu kesetiaan pluralistik model Gus Dur. Sementara Ahmadiyah dan Syiah, juga Masyumi atau Muhammadiyah, sudah sangat kuat dengan dirinya, tak perlu dijaga. Yang mereka perlukan adalah pelatihan-pelatihan iman, uji militansi dan ketahanan juang. Kaum Muslimin memerlukan pukulan-pukulan untuk memperkokoh keyakinannya.

Gusdur adalah seorang Bapak yang amat santun kepada tetangganya, namun sangat keras mendidik disiplin mental anak-anaknya sendiri, dengan hajaran dan gemblengan sedemikian rupa. Kalau pakai budaya Jombang, agar supaya anak-anak menjadi tangguh mentalnya, ia perlu “diancup-ancupno ndik jeding” (kepalanya dibenam-benamkan ke air kamar mandi), “dibatek ilate” (ditarik lidahnya keluar mulut sehingga tak bisa omong), atau “disambleki mbarek sabuk lulang” (dicambuki pakai ikat pinggang kulit).

Diskriminasi

Kehidupan ummat manusia di permukaan bumi ini, atau mungkin memang selamanya demikian, selalu hiruk pikuk oleh silang sengkarut diskriminasi, berbagai-bagai jenis, konteks dan modus diskriminasi. Ada diskriminasi rasial, diskriminasi kultural, diskriminasi eksistensial, diskriminasi primordial, bahkan diskriminasi teologis dan natural. Peristiwa diskriminasi penuh ambiguitas, melingkar-lingkar, berlipat-lipat, letaknya bersama keadilan universial seringkali berdampingan, bahkan teramu menjadi sebuah kesatuan.

Mungkin sekali diskriminasi dijelaskan dengan terpaksa menerapkan diskriminasi di sana sini. Diskriminasi adalah aplikasi ketidakadilan pada konteks-konteks yang berkaitan dengan identitas, eksistensi, letak keberadaan atau posisi dalam peta kehidupan. Sedangkan keadilan dan ketidakadilan adalah puncak ilmu dan misteri yang mungkin saja tak pernah benar-benar bisa dijangkau oleh managemen logika manusia. Oleh karena itu kita tak boleh pernah berhenti mencari dan memperjuangkannya.

Sampai hari ini yang kita capai baru “sorga seseorang adalah neraka bagi lainnya”. Orang Jawa bingung tidak ada kata asli Jawa untuk “adil”. Yang ada “pas” (akurat, tepat), “empan papan” (proporsional). Peradaban Jawa sangat beraksentuasi ke kebudayaan estetika atau “keindahan”, sementara “kebenaran” dan “kebaikan” adalah bagian dari rangkaian peradaban keindahan Jawa, yang puncaknya adalah “mamayu hayuning bawana”: memperindah keindahan jagat raya.

Sehingga dalam praksis budaya masyarakat Jawa muncul etos “jangan mo-limo, nggak enak sama tetangga”, “silahkan maling, tapi jangan di sini”. Jadi akar masalahnya bukan pada hakekat kebenaran dan kebaikan, melainkan pada upaya untuk “tampak indah”. Yang disepakati adalah norma kolektif untuk tampak indah, bukan substansi nilai kebenarannya. Maka politik pencitraan sangat diterima dengan tenteram oleh jenis kebudayaan ini, meskipun jelas pencitraan adalah penipuan dan pemalsuan.

Kalau dua anak kita belikan baju dengan warna yang sama, itu diskriminatif terhadap hak estetika mereka. Kalau kita bebaskan mereka memilih selera masing-masing, nanti perbedaan harga antara dua baju itu mengandung diskriminasi. Kita bikin kurungan kecil untuk burung dara dan kandang sangat besar untuk gajah: terjadi diskriminasi pada “yang satu dapat gede, lainnya kecil”. Puluhan Parpol tidak lolos-KPU karena parameter teknis-kwantitatif, sehingga anggota Parpol yang tidak lulus memperoleh dua wilayah diskriminasi: tidak bisa menggunakan aspirasi orisinalnya dalam proses bernegara, atau mendiskriminasikan aspirasinya sendiri dengan menjualnya ke lembaga aspirasi yang bertentangan dengannya. Kalau yang independen, sekali lagi: tiada.

Diskriminasi eksistensial bercampur aduk dengan konteks diskriminasi kultural, teologis dan berbagai-bagai lainnya. Diskriminasi terjadi ketika kerbau diperlakukan sebagai kambing. Ketika Pemerintah disamakan dengan Negara. Ketika rakyat malah melayani Pemerintah. Ketika manusia diberhalakan, ketika Tuhan dikategorikan sebagai dongeng, atau ketika dongeng dituhankan. Ketika sapi kita potong buntutnya doang karena warung kita jualan sop buntut. Ketika manusia melintas di depan kamera yang dipotret hanya borok di bokongnya. Ketika bungkus gula di warung tidak ditulisi “Gula dapat menyebabkan sakit gula”.

Bahasa jelasnya, sejarah bukan tidak mungkin mencatat tokoh yang banyak melakukan tindakan diskriminasi justru sebagai tokoh anti-diskriminasi.

Bangsa Amerika sudah melewati kurun waktu lebih panjang untuk lebih bisa meletakkan Luther King pada makam sejarahnya, sementara Bangsa Indonesia memerlukan waktu lebih panjang untuk memastikan posisi Gusdur, apalagi kita sedang mengalami “era abu-abu” di mana masyarakat mengalami ketidakpastian pandangan tentang tokoh-tokoh kebangsaan mereka. Kita mengalami ambiguitas pandangan yang sangat serius kepada Bung Karno, Pak Harto, banyak tokoh nasional lainnya termasuk M. Natsir, Syafrudin Prawironegoro, atau bahkan Tan Malaka, juga Gusdur. Di Jombang semula akan diresmikan “Jalan Presiden Abdurahman Wahid”, sekarang kabarnya kata “Presiden”nya dihilangkan.

Utamanya kaum Nahdliyin (ummat NU) perlu menggiatkan upaya-upaya ilmiah obyektif, penelitian yang seksama dan detail mengenai sejarah sosial Gusdur. Secara keseluruhan Ummat Islam perlu membuktikan kejernihan intelektual dan keadilan sejarah untuk membuka wacana-wacana adil kesejarahan demi keselamatan generasi mendatang. Pameo “sejarah itu milik mereka yang menang” perlu ditakar prosentasenya pada peta pengetahuan sejarah bangsa Indonesia.

Para pecinta Gusdur juga perlu segera mengeksplorasi upaya penelitian sejarahnya, untuk mendapatkan ketegasan persepsi tentang Gusdur. Perlu ada semacam “Buku Besar Gusdur” tentang benar-salahnya beliau selama kepresidenannya dan impeachment atas kedudukan beliau. Dipertegas data-data sejarah dan fakta-fakta sosial di mana dan kapan saja Gusdur memperjuangkan keadilan, mendamaikan bangsa, dan mempertahankan kejujuran kemanusiaan. Dibuktikan secara faktual dan detail bahwa Gusdur adalah pluralis pemersatu: Pada peristiwa apa, kapan, di mana, Gusdur mendamaikan dan mempersatukan ini-itu. Supaya punya bahan faktual untuk tegas menjawab pertanyaan sinis: “Sebutkan apa saja yang tidak pecah setelah Gusdur hadir”.

Terkadang ada niat saya bertanya langsung kepada Gusdur di alam barzakh soal ini, tapi kwatir dijawab “Gitu aja kok repot!”. Di samping itu saya kawatir juga karena di alam sana Marthin Luther King tinggal sewilayah dengan Gusdur, maka orang-orang memanggilnya “Gus Martin”.

Muhammad Ainun Nadjib
Tulisan ini dimuat Opini Kompas, Senin, 25 Februari 2013
Admin Pada Monday, February 25, 2013 Komentar

Sunday, February 24, 2013

Lomba Mengarang Cerpen Anak Untuk Guru 2013 Majalah Bobo

Berita Pendidikan
Lomba Cerpen Majalah Bobo 2013
KABAR gembira bagi Bapak/ Ibu Guru yang memiliki kemampuan menulis cerpen. Menyambut Hari Ulang Tahun Ke-40 Majalah Bobo, tanggal 14 April 2013 nanti, Majalah Bobo kembali menyelenggarakan Lomba Mengarang Cerpen oleh Guru.

Bagi Anda yang berminat, berikut ini adalah syarat dan ketentuan mengikuti Lomba :


Syarat Lomba :
  1. Lomba ini hanya untuk para guru.
  2. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar.
  3. Naskah harus asli, bukan terjemahan, saduran, atau mengambil ide dari karya lain yang sudah ada.
  4. Naskah belum pernah diterbitkan di media massa (cetak maupun elektronik) dan tidak sedang diikutsertakan dalam lomba lain.
  5. Tema bebas, asalkan sesuai untuk anak.
  6. Atas karya yang menang, Redaksi Bobo berhak menerbitkannya di Majalah Bobo, mengumumkan/memperbanyak, dan mewujudkannya kembali dalam format digital maupun non digital yang tetap merupakan bagian dari Majalah Bobo.
  7. Atas naskah yang tidak menang lomba tetapi memenuhi syarat untuk diterbitkan, Redaksi Bobo berhak menerbitkannya di Majalah Bobo, mengumumkan/memperbanyak, dan mewujudkannya kembali dalam format digital maupun non digital yang tetap merupakan bagian dari Majalah Bobo. Penulis akan mendapat honor atas pemuatan naskah tersebut.
  8. Naskah yang masuk menjadi hak Redaksi dan tidak dikembalikan.
  9. Keputusan juri mengikat dan tidak bisa diganggu gugat.
  10. Hadiah untuk pemenang sudah termasuk honorarium pemuatan di Majalah Bobo maupun segala alih bentuknya.
Ketentuan Teknis
  1. Setiap peserta boleh mengirimkan lebih dari satu naskah cerpen.
  2. Naskah diketik di kertas berukuran folio dengan jarak 2 (dua) spasi. Panjang tulisan maksimal 3 halaman.
  3. Lampirkan di setiap naskah: biografi singkat penulis, surat keterangan dari Kepala Sekolah serta cap sekolah, fotokopi KTP, nomor telepon rumah/hp, nomor rekening bank, dan selembar foto terbaru ukuran kartu pos (3R).
  4. Naskah dimasukkan ke dalam amplop. Tuliskan: Lomba Mengarang Cerpen Anak oleh Guru di sudut kiri atas amplop.
  5.  Karya dikirimkan ke: Panitia Lomba Mengarang Cerpen Anak oleh Guru, Redaksi Majalah Bobo, Jl. Panjang No. 8A, Jakarta 11530.
  6.  Karya peserta diterima panitia paling lambat pada tanggal 13 April 2013.
Hadiah:

Juara I: Rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah)
Juara II: Rp6.500.000,00 (enam juta lima ratus ribu rupiah)
Juara III: Rp5.500.000,00 (lima juta lima ratus ribu rupiah)
10 (sepuluh) pemenang harapan, masing-masing berhadiah Rp1.000.000,00.
(satu juta rupiah)

Lain-Lain
  1. Pengumuman Pemenang akan dimuat di Majalah Bobo No. 08/XLI, yang terbit tanggal 30 Mei 2013.
  2. Hadiah akan dikirim melalui transfer lewat bank.
  3. Pemenang akan mendapat surat pemberitahuan langsung dari Majalah Bobo dan tidak melalui agen/perantara lain.
  4. Waspadalah dengan penipuan yang berkedok ingin membantu/mengurusi pemenang. Jangan pernah melayani permintaan transfer uang sedikit pun. Kalau ada hal yang mencurigakan, segeralah menelepon Redaksi Majalah Bobo: (021) 5330150, (021) 5330170, pesw. 33201, 33206.
Sumber : http://bobo.kidnesia.com
Admin Pada Sunday, February 24, 2013 Komentar

Serpih-serpih Kisah Bersama Umbu Landu Paranggi

Esai
Umbu Guru Cak NunPERTEMUAN pertama saya dengan Umbu adalah sebuah pertemuan yang sangat menjengkelkan sekaligus menggelikan, yang terus membekas dalam kenangan. Namun pertemuan-pertemuan selanjutnya merupakan anugerah tak ternilai yang ikut mempengaruhi perjalanan hidup saya, terutama ketika bergesekan dengan dunia puisi.

Pada sebuah petang yang cerah di bulan Agustus 1993, ketika saya masih kelas tiga sekolah menengah atas, saya diajak oleh seorang kawan menonton pertunjukan teater di sebuah sanggar di Sanur, Denpasar. Kata kawan saya, Umbu pasti datang dalam acara itu. Kata dia lagi, kesempatan bertemu Umbu sangat langka, maka sangat rugi kalau saya tidak datang.

Ya, memang rugi kalau saya tidak ketemu Umbu, sebab pada waktu itu saya memang sedang tergila-gila ingin bertemu mantan “Presiden Malioboro” itu, sejak beberapa penyair senior di Bali “meracuni” otak saya dengan cerita-cerita nyleneh tentang Umbu. Pada waktu itu saya baru belajar menulis puisi dan baru mencicipi pergaulan sastra di Sanggar Minum Kopi (SMK), tempat kongkow penyair Denpasar, seperti Tan Lioe Ie, Warih Wisatsana, GM Sukawidana, Putu Fajar Arcana, K. Landras Syailendra dan banyak lagi. Umbu sekali waktu suka mampir ke SMK yang bekas toko klontong itu.

Tapi ketika itu saya belum pernah bersua dengan Umbu di SMK. Maka ketika kawan saya mengabarkan Umbu akan hadir di acara pentas teater itu, saya mempersiapkan diri untuk pertemuan yang bagi saya akan sangat bersejarah dalam karier awal kepenyairan saya. Sebelumnya saya sudah beberapa kali mengirim puisi (hampir setiap minggu) ke Bali Post yang gawang redaksinya dijaga ketat oleh Umbu. Setelah lebih dari 30 puisi saya menumpuk di meja Umbu, akhirnya dimuat hanya satu biji puisi yang berdampingan dengan karya beberapa penyair belia seangkatan saya. Tentu saya sangat girang dengan pemuatan perdana tersebut. Setelah perjuangan dan penantian yang meletihkan, akhirnya puisi saya diakui juga oleh Umbu. Saya pun merasa telah menjadi seorang penyair karena puisi saya dimuat Umbu, meski masih kelas penyair “Kompetisi.”

Saya datang ke acara pentas teater itu dengan mengayuh sepeda. Kawan saya yang sudah lebih dulu di sana menarik tangan saya dan dengan wajah gembira mengabarkan Umbu benar-benar datang pada acara itu. Tentu saja saya penasaran dan clingak-clinguk mencari-cari orang yang bernama Umbu itu. Dalam bayangan saya, Umbu berperawakan tinggi besar, agak gemuk, wajah sedikit brewok. Tapi perkiraan itu sedikit meleset setelah kawan saya menunjukkan orang yang bernama Umbu. Umbu tidak gemuk, meski tubuhnya memang tinggi besar dan berotot. Wajahnya bersih, tidak ada bulu sedikit pun, hidungnya besar dan mancung, sorot matanya tajam namun menyejukkan, bibirnya lebar tapi jarang menyunggingkan senyum. Umbu nampak berwibawa di bawah naungan topi yang tidak pernah lepas dari kepalanya. Bertahun-tahun kemudian saya tahu kalau topi itu memang sengaja dipakai untuk menutupi rambutnya yang rontok dan mulai botak.

Umbu termasuk lelaki modis. Dia suka mengenakan t-shirt yang dipadu kemeja jeans dengan lengan digulung. Celana yang dipakainya juga kebanyakan jeans, kadang dengan variasi kantong di lutut. Pada kesempatan lain dia suka memakai baju lurik khas Yogya, sorjan. Rambutnya panjang sebahu. Dia suka memakai sendal semi sepatu sebagai alas kaki. Di pergelangan tangan kirinya melingkar gelang akar bahar hitam. Kadangkala lehernya dilingkari syal. Dia punya banyak koleksi topi yang secara bergantian dipakainya, mungkin juga disesuaikan dengan warna baju yang dikenakannya. Namun yang agak ganjil, kalau bepergian dia suka jalan kaki sambil menenteng tas kresek yang entah berisi apa. Kata seorang kawan, tas kresek itu mungkin berisi puisi-puisi yang akan dieksekusi sambil minum kopi di suatu warung di sudut pedesaan Bali.

Dada saya berdebar ketika Umbu lewat di depan saya. Kawan saya menyuruh saya segera menghampirinya dan memperkenalkan diri. Tapi jangankan memperkenalkan diri, menyapa dia saja saya kehabisan kata-kata. Pesonanya begitu kuat bagi jiwa remaja saya yang terlanjur mengaguminya gara-gara mitos yang ditanamkan ke benak saya. Dari kejauhan saya melihat dia asyik menerima salam dari para seniman senior yang hadir di sana. Umbu nampak takzim dan sesekali senyum tipis mendengar ocehan seniman-seniman yang banyak lagak itu. Pada mulanya saya hanya memperhatikan gerak-geriknya dari kejauhan. Tapi kesempatan tidak datang dua kali, pikir saya. Maka dengan menghimpun segenap keberanian, saya mendatangi Umbu yang lagi asyik ngobrol sambil berdiri dengan seorang seniman yang tidak saya kenal. Saya menjulurkan tangan agak ragu sambil memperkenalkan nama saya. Tak lupa saya tambahkan bahwa puisi saya pernah dimuat di rubriknya, tentu dengan harapan dia mengingat saya. Tapi Umbu hanya menjabat tangan saya sekilas dan ngloyor pergi bersama temannya, meninggalkan saya yang terbengong-bengong sendiri. Saya pikir dia akan mengajak saya berbincang-bincang agak lama perihal proses kreatif saya, menanyakan sejak kapan menulis puisi, apa ada puisi baru, dan berbagai pertanyaan basa-basi lainnya, sebagaimana umumnya perkenalan pertama. Sejak itu pupuslah impian saya untuk ngobrol panjang lebar dengannya, dan kekaguman saya pada Umbu tiba-tiba saja menguap entah ke mana. Kesan pertama saya benar-benar berantakan tentang Umbu. Pada waktu itu hanya ada tiga kata dalam benak saya ketika orang bertanya tentang Umbu: “Umbu? Manusia angkuh!”

Belakangan kemudian saya tahu, Umbu bukanlah tipe orang yang suka basa-basi dan memang terkesan dingin bila berhadapan dengan orang yang baru dikenalnya. Tapi sebenarnya Umbu termasuk tipe lelaki pemalu. Kalau berbicara dengan Umbu, jangan harap dia mau menatap mata kita, apalagi dengan orang yang baru dikenalnya. Biasanya kalau diajak bicara, dia akan mengalihkan pandangan dari wajah lawan bicaranya.

Namun di balik semua kesan dinginnya, Umbu seorang pemerhati yang sangat hangat. Dia tidak jarang mengunjungi seorang calon penyair yang dianggapnya berbakat. Kadangkala dia datang membawa sejumlah buku puisi sebagai kado ulang tahun calon penyair itu. Pada kesempatan lain dia datang hanya untuk mengajak calon-calon penyair main kartu dan makan pisang rebus. Umbu memiliki cara tersendiri, seringkali tidak terduga, untuk memotivasi calon-calon penyair yang dianggapnya berbakat besar.

Mengenai hal itu saya pernah punya pengalaman diberi hadiah nasi bungkus oleh Umbu yang diistilahkannya sebagai nasi bungkus “Republika.” Pada waktu itu, tahun 1994, puisi saya untuk pertama kalinya dimuat koran nasional, Republika, bersama beberapa penyair senior Bali. Umbu sangat senang dengan pemuatan itu dan mendatangi saya secara khusus di SMK sekitar jam sepuluh, malam Minggu. Kebetulan waktu itu saya sedang asyik diskusi puisi dengan Tan Lioe Ie, Warih Wisatsana dan beberapa kawan lain, Umbu tiba-tiba muncul di pintu sanggar dan menjulurkan sebuah tas kresek kecil pada saya. “Jengki, ini nasi Republika, nasi khusus untuk kamu! Makanlah!” ujarnya sambil ketawa senang. Tentu saja saya kaget dengan hadiah mendadak itu, apalagi yang memberikan orang sekaliber Umbu yang telah menjadi mitos itu. Teman-teman lain yang sudah paham kebiasaan Umbu hanya ketawa-ketawa kecil. Pembicaraan pun beralih pada puisi-puisi yang dimuat Republika itu. Belakangan saya tahu kalau nasi bungkus itu merupakan jatah makan malam Umbu dari Bali Post yang memang khusus dibawakan untuk saya karena berhasil menembus media nasional. Biasanya Umbu setiap hari Sabtu bekerja hingga malam di Bali Post untuk mempersiapkan rubrik sastra yang terbit setiap Minggu. Di luar hari Sabtu itu kami tidak pernah tahu Umbu berada di mana. Dia punya banyak tempat persinggahan yang selalu dirahasiakannya.

Lelaki yang bernama lengkap Umbu Wulang Landu Paranggi itu merupakan cucu salah seorang raja Sumba. Umbu dilahirkan di Waikabubak, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, 10 Agustus 1945. Yogyakarta merupakan tempat kelahiran kedua bagi Umbu. Kota Yogya telah membuat Umbu jatuh hati, yang dalam istilahnya, seakan rata dengan tanah. Jalan Malioboro dan barisan pohon cemara di depan kampus UGM adalah tempat yang paling berkesan bagi Umbu selama di Yogya. Sejak meninggalkan tanah kelahirannya di Sumba, Umbu ingin melanjutkan sekolah di Taman Siswa Yogya, tapi terlambat karena pendaftaran telah ditutup. Akhirnya Umbu meneruskan sekolah di SMA Bopkri 1 Yogyakarta.

Ketika bersekolah di SMA Bopkri itulah kebiasaannya menulis puisi tumbuh subur dan seringkali menelantarkan pelajaran lainnya. Di sekolah Bopkri itu pula Umbu menemukan seorang guru yang baginya ikut mempengaruhi jalan hidupnya kemudian, Ibu Lasia Sutanto, guru Bahasa Inggris. Setiap kali ada pelajaran guru itu, Umbu suka diam-diam menulis puisi. Umbu sendiri tidak mengerti, yang istilah Umbu entah setan atau dewa apa yang menyebabkannya begitu. Padahal Umbu sudah ditegur beberapa kali karena dianggap mengganggu jalannya pelajaran dan konsentrasi teman-temannya di kelas. Akhirnya karena jengkel dengan ulah Umbu, kawan-kawannya mendesak Ibu Lasia agar menghukum Umbu membaca puisi di depan kelas. Ibu Lasia berpikir dan merenung, kemudian memutuskan bahwa nanti kalau puisi Umbu sudah dimuat koran, baru dikritik. Ibu guru yang pernah menjadi Menteri Peranan Wanita pertama RI itu kemudian memasukkan puisi Umbu ke laci mejanya, dan pelajaran pun kembali berjalan. Tapi Ibu Lasia penasaran juga dengan apa yang ditulis Umbu, puisi itu dikeluarkan lagi dari laci mejanya, dimasukkan lagi, dikeluarkan lagi, begitu seterusnya. Mungkin saat itu Umbu berpikir bahwa Ibu Lasia berminat pada karyanya dan memberikan angin segar bagi proses kreatifnya. Sebab semestinya Umbu pantas dihukum karena sudah beberapa kali melanggar aturan kelas. Sejak itulah Umbu rajin menulis puisi dan kemudian dimuat di beberapa koran.

Tamat dari Bopkri, ibunya menginginkan Umbu melanjutkan kuliah ke fakultas Kedokteran Hewan, tapi Umbu menolak dengan alasan dia lemah dalam pelajaran Ilmu Alam. Diam-diam Umbu kemudian melanjutkan kuliah di Fisipol UGM jurusan Ilmu Sosiatri dan di Universitas Janabadra jurusan Sosiologi.

Di Yogya, sejak tahun 1950-an, Umbu sudah menulis puisi dan esai. Tetapi puisinya jarang yang menonjol dan menarik perhatian para kritikus sastra. Perannya dalam perkembangan puisi Indonesia modern adalah sebagai bidan bagi kelahiran penyair-penyair muda yang kelak menguasai dunia perpuisian mutakhir di Indonesia. Pada tahun 1968, di Yogya, bersama penyair Suwarna Pragolapati, Iman Budi Santosa, dan Teguh Ranusastra Asmara, Umbu membidani dan mengasuh Persada Studi Klub (PSK) yang menguasai rubrik puisi di Mingguan Pelopor Yogya. Komunitas sastra itu kemudian melahirkan nama-nama besar, seperti Emha Ainun Najib, Korie Layun Rampan, Linus Suryadi AG, Yudistira Adi Nugraha. Umbu pun dikenal sebagai Presiden Malioboro dan penyair yang punya bakat mendidik.

Di Yogya-lah Umbu mengawali petualangan batinnya. Dia seperti kuda Sumba yang gampang-gampang susah dikendalikan. Keyakinannya pada puisi seperti angin sabana, mengalir terus tanpa ada yang mampu menahannya. Darah petualang, puisi dan angin sabana pula yang membuat Umbu terdampar di Tanah Dewata, yang mungkin menjadi tujuan terakhir pengembaraannya.

Umbu yang menetap di Bali sejak tahun 1979 selalu punya cara-cara unik untuk menggairahkan dunia perpuisian dan membangkitkan gairah apresiasi sastra. Dia membuat jadwal pertemuan rutin, kunjungan ke semua kabupaten untuk mengadakan apresiasi puisi, atau dengan sentuhan-sentuhan pribadi yang membuat anak-anak muda merasa berada dalam sebuah ikatan keluarga besar. Di Bali, pada era 1980-an dan 1990-an Umbu mengklasifikasikan puisi-puisi yang dimuat di ruang sastranya ke dalam 4 kelas, yakni: kelas “Pawai” bagi pemula yang baru belajar menulis puisi, kelas “Kompetisi” bagi penyair yang cukup gigih mengirim puisi ke gawangnya dan siap diadu dengan penyair lain yang selevel, kelas “Kompro” atau “Kompetisi Promosi” bagi penyair yang telah lolos dalam sejumlah babak kompetisi dan siap diadu di luar kandang, kelas “Posbud” atau “Pos Budaya” bagi penyair yang telah dianggap handal menggoreng dan menendang bola kata-kata ke gawangnya hingga gol. Umbu menggunakan berbagai cara untuk menggugah kepercayaan diri penyair Bali, salah satunya Umbu pernah mencantumkan besar-besar slogan “Posbud = Horison” di ruang sastranya. Artinya puisi-puisi yang berhasil masuk kelas Posbud kualitasnya dianggap sama dengan puisi-puisi yang dimuat Majalah Sastra Horison. Tapi efeknya pada era itu karya penyair Bali jarang yang muncul di media nasional karena mereka sudah merasa puas setelah menembus Posbud di ruang Umbu. Belakangan muncul kelas “Solo Run” bagi penyair yang karyanya ditampilkan tunggal dalam satu halaman penuh koran. Dan tentu saja ini kelas yang sangat sulit ditembus penyair.

Sistem yang dibuat Umbu itulah yang bikin para penyair muda Bali “mabuk kepayang” dan tergila-gila menulis puisi. Apalagi pada setiap kesempatan pemuatan puisi-puisi kelas Pawai dan Kompetisi, Umbu rajin mengontak dan menggoda para penyair muda lewat kata-kata yang membakar semangat untuk berkarya lebih bagus. Seringkali dibarengi dengan pemuatan foto para penyair yang dikontak Umbu lewat kolom kecil bertajuk “Stop Press.” Anak muda yang awalnya tidak suka puisi pun jadi ikut-ikutan menulis puisi, mungkin karena ada keinginan fotonya dimuat Umbu. Bahkan kelas Pawai dan Kompetisi pun terbagi menjadi sejumlah angkatan yang beranggotakan 5-10 penyair muda. Saya masuk dalam penyair “Kompetisi Angkatan Ke-17”.

Kegemaran Umbu menonton sepak bola mengilhaminya membuat sistem unik untuk ruang sastranya, seperti konsep pos pawai, kompetisi, solo-run. Sistem seperti itu ternyata berhasil menggugah anak-anak muda di Bali untuk bersastra dan berkompetisi menunjukkan karya yang paling unggul. Apalagi Umbu juga memuat esai-esai dan kritik puisi dari para penulis muda itu. Rubrik sastra Umbu yang unik dan meriah itu pun menjadi ruang polemik sastra (puisi) di antara mereka. Penyair A mengomentari karya penyair B, penyair C membantai puisi penyair D, penyair E membela penyair D, begitu seterusnya. Saya rasa pada era itu ada seratusan penyair di Bali yang berebutan menendang bola kata-kata ke gawang Umbu. Dan Umbu adalah penjaga gawang yang bertangan dingin menangkap bola demi bola kata itu.

Pada era 2000-an, Umbu mengubah konsep rubriknya menjadi “Posis” atau “Pos Siswa” sebagai ruang untuk menampung tulisan-tulisan dari para siswa, “Posmas” atau “Pos Mahasiswa” bagi tulisan-tulisan dari mahasiswa, dan “Pos Solo Run” bagi penulis yang tampil tunggal. Umbu juga menyediakan ruang bagi para guru yang suka menulis esai-esai pendek. Terkadang sejumlah puisi dan prosa berbahasa Bali pun dimuat di rubriknya sebagai bentuk perhatiannya pada sastra daerah.

Pada Agustus 1995, SMK bubar karena suatu permasalahan intern. Saat itu SMK menjelang perayaan ulang tahun ke-10. Banyak anggota SMK yang merasa kehilangan tempat berkumpul. Mereka tercerai-berai dan tenggelam dengan kesibukan masing-masing. Umbu yang suka menyambangi para penyair yang berkumpul di SMK juga merasa terpukul dan kehilangan. Sanggar yang berlokasi di jantung Kota Denpasar itu merupakan tempat yang ideal dan romantis bagi Umbu karena berdekatan dengan Pasar Kumbasari yang buka 24 jam. Mungkin Umbu terkenang Pasar Beringharjo di Yogya saat dia dulu mengembalakan penyair-penyair muda Yogya.

Di pasar Kumbasari itulah Umbu suka mengajak para penyair muda Denpasar menyelami kehidupan yang sebenarnya dan membuka hati pada rakyat kecil yang bekerja membanting tulang hingga dinihari. Umbu suka memperhatikan kesibukan ibu-ibu pedagang sayur, gadis-gadis buruh junjung, pedagang nasi jenggo, kusir dokar dan kegiatan rakyat jelata lainnya. Kadangkala Umbu mengajak penyair-penyair muda pesta soto babad di sudut pasar itu sambil ngobrol ngarol-ngidul dan memperhatikan kesibukan pasar. Apalagi kalau purnama bercahaya indah menghiasi langit malam Denpasar, Umbu akan terkenang lagu “Denpasar Moon” yang dinyanyikan Maribeth. Umbu memang penyair romantis. Pernah suatu kali dia mengajak saya dan beberapa kawan penyair melihat bulan terbit di tepi sawah di ujung timur Kota Denpasar sambil nongkrong di warung kopi tepi jalan. Dia berseru kegirangan ketika bulan bulat merah muncul perlahan dari sawah yang berbatasan dengan laut Sanur itu. Kami duduk berlama-lama di sana sampai bulan merambat tinggi.

Setahun setelah SMK bubar, kami menggunakan sebuah rumah kecil di Jalan Bedahulu, di sudut utara Kota Denpasar, sebagai markas. Pada awalnya rumah itu ditempati oleh Nuryana Asmaudi, Raudal Tanjung Banua dan Riki Dhamparan Putra atas kemurahan hati seorang anggota keluarga Puri Kesiman yang memiliki rumah itu. Saat itu Raudal dan Riki baru setahun tinggal di Bali. Saya sering berkunjung ke rumah itu bersama kawan-kawan seniman, ngobrol ngarol ngidul hingga menjelang dinihari. Di depan rumah itu ada tegalan tak terurus yang ditumbuhi rumpun bambu, di sebelahnya ada sungai kecil dan masih dekat dengan persawahan. Seringkali angsa-angsa peliharaan tetangga memecah keheningan malam dengan lengking suaranya. Suatu kali Umbu datang ke sana dan langsung jatuh cinta dengan tempat itu. Umbu memberi nama tempat itu “Intens-Beh” yang merupakan akronim dari “Institut Tendangan Sudut Bedahulu”. Dia mengkavling sebuah kamar kosong yang kadang-kadang saja ditempatinya. Seniman-seniman muda suka berkumpul di sana, diskusi, ngobrol kebudayaan, baca-baca puisi, merayakan ulang tahun teman, main gitar, pacaran, ngrumpi. Di tempat itulah saya mengenal Umbu lebih dekat dan akrab, mendengar petuah-petuahnya, konsep-konsepnya tentang dunia perpuisian.

Jauh sebelum Umbu memindahkan “pusat pemerintahan” ke padepokan Intens-Beh, Umbu dikenal sebagai penyair yang berumah di atas angin. Tak seorang pun tahu di mana tempat tinggal tetapnya. Di mana Umbu suka, di situlah rumah baginya. Dia jarang mau datang ke acara-acara kesenian, meski diundang secara khusus. Tapi dia akan muncul tiba-tiba ketika acara itu menarik perhatiannya, atau hanya mengamati jalannya acara dari jarak yang jauh atau dari balik kegelapan. Pernah seorang kawan penyair mencoba membuntuti Umbu berharap menemukan tempat persembunyiannya, tapi kawan itu kehilangan jejak ketika Umbu tiba-tiba membelok di sebuah tikungan. Dia seperti tahu sedang dibuntuti. Kebiasaan Umbu ini tercermin dalam salah satu baris puisinya: sewaktu-waktu mesti berjaga dan pergi, membawa langkah ke mana saja.

Umbu memiliki banyak tempat persinggahan di Bali. Hampir di setiap kabupaten ada kawan akrab Umbu yang menyediakan ruang khusus bagi tempat semayamnya. Umbu suka muncul tiba-tiba di tempat-tempat persinggahannya itu dan biasanya dia akan diladeni secara khusus. Kalau sudah begitu Umbu benar-benar mirip seorang raja yang sedang melakukan kunjungan ke bawahannya. Biasanya kawan yang dikunjungi Umbu merasa mendapat kehormatan menjamu tamu istimewa itu. Sejumlah anak muda yang tertarik pada puisi kemudian berkumpul di tempat itu dan dengan takzim mendengar petuah-petuahnya tentang dunia puisi dan pentingnya puisi bagi pertumbuhan mereka. Tidak hanya itu, Umbu juga memotivasi mereka akan pentingnya komunitas sastra yang mampu mewadahi aspirasi dan kreativitas mereka. Maka bermunculanlah sanggar-sanggar sastra dan kelompok-kelompok teater yang dimotivasi Umbu. Kota Negara di Jembrana dan Singaraja pernah ramai dengan komunitas-komunitas kecil dan kegiatan sastra dan teater yang tidak bisa dilepaskan dari peranan Umbu.

Umbu juga menggairahkan kehidupan bersastra di sejumlah pelosok desa di Bali, seperti Desa Marga di Tabanan. Biasanya Umbu bekerjasama dengan seniman-seniman yang dipercayainya di tempat itu untuk membuat kegiatan-kegiatan apresiasi sastra dan sebagainya. Dan tentu saja Umbu tidak pernah kekurangan orang untuk melakukan kerja-kerja kesenian kayak itu, meski tanpa bayaran. Mereka dengan senang hati dan terhormat mengikuti petunjuk-petunjuk Umbu.

Umbu bukan tipe redaktur sastra yang hanya duduk di belakang meja. Dia menjalankan konsep “turba” atau “turun ke bawah” dengan senang hati dan keyakinannya pada jalan puisi. Yang paling membahagiakan jiwanya adalah puisi mampu merasuki jiwa generasi muda dan bisa menjadi pelengkap hidup mereka. Tidak ada keinginan Umbu mencetak mereka menjadi pasukan penyair, sebab dunia kepenyairan adalah pilihan sadar dalam kehidupan. Yang terpenting bagi Umbu adalah membekali generasi muda dengan puisi sehingga lahir dokter yang berwawasan puisi, insinyur yang paham puisi, dan sebagainya. Sebab puisi bagi Umbu adalah empati dan simpati pada kehidupan dalam maknanya yang sangat luas. Bagi Umbu, puisi adalah kehidupan dan kehidupan adalah puisi. Penyair Bali generasi 1980-an, 1990-an, 2000-an, rata-rata pernah bergesekan dengan vibrasi Umbu, meski tidak semuanya lantas menjadi penyair yang dikenal di tingkat nasional. Cara Umbu memperkenalkan mereka pada puisi dan juga kesenian kini seringkali menjadi klangenan dalam obrolan para mantan penyair yang kebanyakan telah menjadi orang penting di Bali.

Umbu memang termasuk orang yang susah ditemui dan dilacak jejaknya. Dia akan segera menghilang jika ada tamu istimewa yang mencarinya. Emha Ainun Najib beberapa kali gagal bertemu Umbu, padahal Emha adalah murid kesayangan Umbu saat di Yogya. Umbu menghindari Emha adalah semata-mata untuk menjaga rasa kangennya dengan Emha dan Yogya. Taufik Ismail pun gagal bertemu Umbu ketika penyair Horison itu berkunjung ke Bali. Pendek kata, banyak sastrawan berkelas nasional yang ingin bertemu Umbu, tapi Umbu selalu menghilang, menghindari pertemuan. Pertemuan akan terjadi hanya karena dua sebab: Umbu memang ingin bertemu dan Umbu dijebak.

Jika Umbu ingin bertemu dia akan mengontak orang itu secara khusus lewat telepon atau lewat kurir kepercayaannya dan tempat pertemuan pun telah disiapkan. Atau Umbu akan datang tiba-tiba nyamperin orang yang ingin ditemuinya. Pertemuan juga bisa terjadi secara terpaksa karena Umbu dijebak. Ada cerita menarik tentang hal ini. Karena kebelet ingin bertemu Umbu, Emha pernah menjebak Umbu di rumah Hartanto, seorang kawan dekat Umbu. Hartanto tidak tega melihat Emha yang uring-uringan ingin ketemu gurunya itu dalam sebuah kunjungannya ke Bali. Hartanto kemudian memancing Umbu keluar dari sarangnya dengan umpan sop ikan kesukaan Umbu. Tentu dengan senang hati Umbu datang ke rumah Hartanto. Di meja makan Emha telah menunggu dengan rasa kangen yang amat sangat. Umbu pun tidak bisa lari. Mungkin pintu ruangan juga telah dikunci dari luar oleh Hartanto. Konon, Emha dan Umbu hanya saling berdiam diri, masing-masing seperti mengukur dan menakar perasaan.

Pergaulan di Tensut-Beh menjadi kenangan tersendiri bagi saya, terutama ketika berhadapan dengan sosok Umbu. Meski Umbu lebih suka berdiam diri dan hening, dia termasuk sosok pribadi yang sederhana dan hangat. Pada masa-masa Umbu betah di Tensut-Beh, kami biasa berdiskusi berbagai macam persoalan, mulai dari dunia kesenian, mutu puisi mutakhir, persoalan politik bangsa, hasil pertandingan bola, kegiatan mahasiswa, sampai persoalan remeh temeh lainnya, seperti gosip penyair, pacar penyair, menu masakan dan merek rokok kesukaannya. Biasanya Umbu akan bicara atau berkomentar jika dipancing duluan. Dan ada saja di antara kami yang memancing Umbu bicara tentang suatu pokok persoalan. Biasanya kami ngobrol sambil menunggu makan malam disiapkan oleh penghuni tetap Tensut-Beh, yakni Mas Nuryana. Mas Nur, begitu panggilan Nuryana, selain sebagai penulis dikenal juga jago masak. Dia paling banyak tahu masakan kesukaan Umbu, seperti sayur daun pepaya, daun singkong, jukut (sayur) gonde, nasi beras merah. Dan kami tidak pernah kekurangan makanan. Ada saja yang membawa oleh-oleh buat Umbu. Beras merah dan sayur gonde dibawa dari Marga, Tabanan, oleh seorang kawan dari sana. Daun pepaya dan singkong dipetik langsung dari kebun belakang rumah. Habis makan malam obrolan kembali sambung menyambung ditemani kopi dan rokok, bahkan sering sampai dinihari. Umbu sangat kuat merokok, sama kuatnya dengan kebiasaannya duduk berjam-jam beralaskan kardus bekas plat koran yang dibawanya dari Bali Post. Dia hanya akan berdiri jika mau kencing atau masuk kamarnya. Dengan beralaskan kardus itu pula kami merebahkan diri di lantai karena mata letih. Masing-masing penghuni Tensut-Beh memiliki satu lembar kardus yang dihadiahi Umbu, lengkap dengan memo dan tanda tangannya. Biasanya ada saja kawan yang mampu menemani Umbu ngobrol sampai dinihari, sementara kawan-kawan lain tergeletak dan ngorok di lantai.

Umbu suka minum bir. Biasanya ada saja kawan yang membawakan bir untuknya. Kemudian bir itu dibagi-bagikan kepada kami. Seorang kawan pecinta sastra yang bekerja sebagai bar tender kadangkala juga membawakan sisa-sisa minuman mahal untuk Umbu dan kami. Di Tensut-Beh kami seperti keluarga besar dengan Umbu sebagai “God Father”-nya. Ada saja tamu-tamu yang datang khusus untuk menemui Umbu di sana. Kalau Umbu tidak berkenan bertemu biasanya dia akan ngumpet seharian di kamarnya, tentu sambil menahan kencing. Dia akan nongol lagi jika tamu itu sudah pergi, kadangkala sambil menenteng botol aqua yang berisi air seni.

Kamar Umbu di Tensut-Beh tidak pernah terbuka lebar, selalu tertutup. Kordennya juga ditutup rapat-rapat. Karena penasaran, saya pernah mengintip kamarnya dari kisi-kisi lubang angin. Luar biasa! Samar-samar saya melihat seni instalasi. Lembaran kardus bekas plat koran dan tikar bersusunan membentuk kasur. Di samping kasur-kardus, koran bekas bertumpuk-tumpuk seperti benteng. Di sela-sela “benteng koran” itu, kertas-kertas yang mungkin berisi berkas-berkas puisi dan catatan-catatan kecil juga bersusunan. Umbu suka bersila berlama-lama di depan berkas-berkas itu sampai tiba jam makan. Botol-botol plastik kosong bekas air mineral berjejer rapi di pinggir dinding kamar Umbu. Yang menggelikan kamar yang berukuran kira-kira 3 x 4 meter itu dibelah oleh seutas tali nilon tempat Umbu menggantung pakaian-pakaiannya dan tas-tas kresek yang entah berisi apa. Umbu menata kamarnya dengan sangat rapi dan unik.

Umbu sangat memperhatikan kesehatan. Setiap bangun tidur, hanya mengenakan sarung dan kaos oblong, topi pet dipakai terbalik, dia akan langsung ke belakang sambil menggigit tangkai sikat gigi. Umbu paling cemas dan menjadi sangat pemurung jika mendengar kabar kematian, apalagi yang menimpa sahabat-sahabat dekatnya. Bahkan dia sangat cemas berboncengan dengan sepeda motor. Saya pernah memboncengnya dengan motor butut Suzuki RC 80 yang doyan mogok. Karena badannya yang berat tentu saja motor saya oleng memboncengnya. Dengan nada suara cemas dia wanti-wanti mengingatkan saya agar pelan-pelan dan hati-hati. Dalam hati saya tertawa geli, saya tidak sadar kalau sedang membonceng seorang keturunan raja yang sangat dihormati dalam dunia perpuisian.

Sebagai penyair, karya-karya Umbu tidak terlalu banyak dan tidak begitu dikenal luas. Dia lebih dikenal sebagai seorang pendidik, guru puisi, motivator, “provokator kegiatan sastra”, pencari bakat penyair, sahabat dan ayah yang tulus. Dia sangat jarang mempublikasikan karya dan terkesan menghindar dari publisitas. Pernah pengurus salah satu penerbit besar di Jakarta datang menemuinya ke Bali karena ingin mengumpulkan dan membukukan seratus puisinya. Umbu menyanggupi. Tapi sampai sekarang Umbu tidak pernah menyetorkan puisi-puisinya ke penerbit tersebut.

Sepertinya, Umbu menulis puisi hanya untuk dirinya sendiri. Puisi-puisi tersebut tersimpan rapi dalam map-mapnya dan mungkin tak seorang pun pernah melihatnya. Segelintir puisi Umbu hanya bisa ditemui dalam beberapa buku kumpulan puisi bersama, seperti “Tonggak” yang dieditori Linus Suryadi AG, “Bonsai’s Morning”, “Teh Ginseng.” Dalam rangka memasyarakatkan puisi-puisi Umbu, penyair Tan Lioe Ie yang juga seorang mantan penyanyi pub mengaransemen sejumlah puisi Umbu menjadi karya musikalisasi puisi dan telah terkumpul dalam sebuah album sederhana berjudul “Kuda Putih.”

Pembicaraan mengenai sosok Umbu tidak akan pernah habis. Hampir setiap seniman yang pernah bersentuhan dengan Umbu, akan mempunyai kenangan dan cerita tersendiri tentang Umbu. Kalau cerita-cerita itu dikumpulkan tentu akan menjadi sebuah buku yang cukup tebal. Umbu memang sosok manusia yang langka dan unik. Kecintaannya pada dunia puisi seakan melebihi segalanya. Hal itu tercermin dalam salah satu baris puisinya yang berjudul “Melodia”: cintalah yang membuat diri betah untuk sesekali bertahan, karena sajak pun sanggup merangkum duka gelisah kehidupan.***
(Bali, 30 Maret 2007)

Ditulis oleh: Wayan Sunarta
Admin Pada Sunday, February 24, 2013 Komentar
Subscribe to: Posts (Atom)
  • Artikel Terbaru
  • Arsip Blog

Artikel Terbaru

Arsip Blog

  • October (1)
  • June (14)
  • May (18)
  • April (2)
  • February (1)
  • January (1)
  • January (1)
  • November (1)
  • August (2)
  • July (2)
  • June (3)
  • May (13)
  • April (26)
  • March (30)
  • February (43)
  • January (50)
  • December (4)

Resensi Buku

Kategori

Anekdot Berita Pendidikan Cerpen Download Esai Guru Menulis Inspirasi Kolom Kolom Cak Nun Kolom Jamaah Maiyah Literasi News Opini Pendataan Pendidikan Puisi Regulasi Reportase Maiyah Resensi Buku Sertifikasi Guru Tentang Maiyah Tips & Trik
Pejalan Sunyi

Followers

Pejalansunyi.id berusaha berbagi informasi yang bermanfaat. Jika ada ide, kritik, atau saran, silahkan hubungi kami dengan kontak berikut. Salam!

Name Email Address important Content important

Reportase Maiyah

Contact Form

Name

Email *

Message *

Artikel Random

Memuat...
Copyright © Pejalan Sunyi
Template by Arlina Design