Reportase PadhangMbulan, 30 Oktober 2012
SUASANA PadhangMbulan kali ini sedikit berbeda dari sebelumnya, nampak di sekitar pelataran komplek makam Sentono Arum mulai ditanami beberapa jenis tanaman, pohon, sebagai progam penghijauan yang sudah dicanangkan bulan lalu. Lek Hammad mengawali dengan memberi informasi mengenai program penghijauan ini, dengan mengungkapkan masih sangat diperlukan banyak tanaman lagi dari partisipasi Jamaah, setidaknya akan ada 5000 jenis tanaman yang akan menghijaukan lingkungan tanah padhangMbulan ini diantaranya tanaman sayur, tanaman obat, pohon buah dan sebagainya. "Dengan program penghijauan ini, minimal pada malam padhangmbulan seperti ini hidup kita bisa lebih hijau, hati kita bisa lebih teduh dalam memandang berbagai macam persoalan”, tegas Lek Hammad.
Selanjutnya Cak Fuad menguraikan ayat-ayat yang berkaitan dengan Idul Adha. Selama ini kita tahu bahwa ayat yang menyuruh kita untuk berqurban adalah QS Al-Kautsar. Adapun Azbabun Nuzul QS al-Kautsar ini, pada saat Rasulullah menerima surat tersebut, beliau seolah-olah seperti pingsan, begitu sadar beliau langsung tersenyum, kemudian Rasulullah menjelaskan bahwa al-Kautsar adalah pintu surga yang khusus disediakan untuk beliau. Namun ayat yang spesifik perintah Qurban adalah QS. Al-Hajj : 34 sampai ayat 37. Inti dari ayat-ayat tersebut adalah untuk menegaskan bahwa berqurban itu hendaknya dilakukan Lillah, hanya untuk Allah, berbeda dengn agama tradisi lainnya dimana banyak ditujukan agar meredam amarah penguasa atau tuhannya. Dan yang diminta Allah ketika kita berqurban bukanlah daging qurban itu sendiri, melainkan ketaqwaan, kepatuhan atau keikhlasannya. Adapun ciri-ciri orang yang patuh (mukhbitin) dalam ayat tersebut yakni :
1. Apabila disebut nama Allah hatinya bergetar
2. Sabar
3. Mendirikan sholat
4. Senang bersedekah.
Cak Fuad mengutip kisah M. Natsir, salah satu tokoh pejuang dari Masyumi : "Di Indonesia pada saat jaman kemerdekaan, banyak sekali orang tua yang berlaku layaknya Nabi Ibrahim yakni mendorong anaknya ke medan perang, sedangkan anak muda pada saat itu juga dikatakan sebagai Ismail, yang sama sekali tidak mempunyai rasa takut. Coba kita bandingkan pada jaman sekarang?”, tanya Cak Fuad. Dalam hal mencontoh Nabi, Cak Fuad menyerukan kepada kita untuk dipilah dulu, mana yang bagian agama mana yang hanya sekedar tradisi. Misal ketika nabi Makan. Nabi selalu berdo'a sebelum makan itu adalah bagian dari Agama, sedangkan ketika Nabi yang selalu makan dengan tiga jari itu bisa jadi karena memang pada saat itu yang dimakan adalah kurma, roti, dan sejenisnya. Bisa jadi kalau seandainya Nabi diturunkan di Jepang, maka tradisi makannya mungkin juga memakai sumpit. “Hakikat Qurban disamping disebut al-Qur'an al-Hajj tadi untuk membentuk sikap jiwa tunduk kepada Allah, juga merelakan apapun untuk kepentingan orang lain. Qurban bisa dikatakan sebagai menyembelih egoisme, menyembelih keserakahan. Kebahagiaan kita sebenarnya adalah ketika kita bisa berbuat Ihsan”, jelas Cak Fuad.
Dilanjutkan dengan Uraian-uraian Cak Nun yang menyinggung tentang penggunaan idiom atau istilah-istilah yang saat ini banyak mengalami pendangkalan. Semua kata yang bernilai sudah habis dipakai orang-orang untuk direndahkan. Misal para koruptor sekarang menggunakan kata sandi atau istilah Kiai untuk menyebut anggota DPR, terkait dengan proyek yang sedang di korup. Istilah Pesantren adalah sebutan untuk badan atau kementrian yang mengeluarkan proyek. Istilah Tahlilan adalah meeting atau pertemuannya. Sehingga ketika para koruptor yang menggunakan istilah-istilah itu melalui SMS, maka itu tidak akan bisa dijadikan fakta hukum yang bisa menjeratnya. “Ada fenomena yang Allah melegitimasi langsung yakni, summum bukmun umyun fahum la yarji’un (mereka tuli, bisu dan buta, Maka tidaklah mereka akan bisa kembali), La yarji’un itu kan tidak bisa disembuhkan”, jelas Cak Nun.
Fenomena lain, yakni Kebanyakan isi TV bukan hanya tidak mengakui Indonesia, tapi juga bahkan menghina, seolah-olah merekalah yang meng-klaim dirinya paling nasionalis. Coba liat sinetron-sinetron, seolah-olah ada aturan tidak tertulis dalam skenario budaya sinetron yang kebanyakan mengharuskan bintangnya adalah yang berwajah luar, bukan yang berwajah jawa. “Itu rasisme, nasionalisme, apa proteksi atau apa? Kalau dikatakan rasisme, sebetulnya rasis itu sendiri ilmu yang menolong kamu, atau malah justru yang menipumu? Sebentar-bentar kok dibilang rasis.”
Misal ungkapan “Dasar chinaa”, kita tahu orang china itu sejarahnya beda dengan pribumi, dia berasal dari luar, hatinya berbeda, psikologinya berbeda, kumpulan-kumpulan dan tradisinya juga berbeda, maka istilah “Dasar china” itu kan memang bener adanya, dan itu bukan rasis. Misalkan lagi Apakah kalau Rahmatan lil ‘Alamin, Nabi yang untuk seluruh umat manusia itu apakah tidak boleh dibedakan antara manusia Asia, manusia Eropa, ini kulit putih, kulit hitam, apakah dikatakan rasis? Kan tidak jelas juga sebenarnya. “Jadi Setiap kata-kata seperti rasisme, HAM, primordial, pluralisme, neoliberalisme itu kalau bisa jangan dipakai dulu, lebih baik pelajari dulu”, pesan Cak Nun.
“Kita sudah ratusan tahun disesatkan oleh berbagai kesalahan kata-kata, idiom, istilah, dari masalah yang menyangkut politik, budaya, agama, hingga apa saja, maka produknya adalah keseleo otak. Sudah tidak bisa membedakan mana pohon, mana akar, beda antara kaspe, jemblem, dan gethuk. Tidak bisa membedakan agama sama mazhab. Madzhab dianggap Agama, Kaspe dianggap Jemblem. Wong saiki rumangsane panen seggo, bukan panen pari”.
Menurut Cak Nun, kebodohan orang yang "keseleo otak"nya ini dimanfaatkan oleh orang yang mempunyai kekuasaan dan ingin menguasai kekayaan Indonesia, menguasai minyak, dengan cara melakukan adu domba orang-orang yang keseleo otaknya tersebut. Maka ada yang lewat langsung dari Amerika ke Polri, terus densus 88, yang tugasnya mencari seggo karak, pokoknya kalau ada karakberarti itu teroris, langsung saja ditangkap, meski karak itu tidak melakukan apa-apa. Padahal di dalam hukum, yang seharusnya disalahkan itu adalah perbuatan, bukan identitasnya. Kira-kira karak yang diam itu salah apa tidak? Tentu saja tidak salah, tapi kalau karak itu dilempar ke wajahmu, perbuatan itulah yang salah, bukan karaknya. Dalam konteks Densus 88 dan terorisme saat ini, semua orang bisa bilang, ini lho teroris silakan ditangkap, dan hingga saat ini tidak ada yang kritis terhadap hal ini. Kok ada penangkapan terhadap terorisme, identitas kok ditangkap. "Maka dari itu Jamaah PadhangmBulan jangan sampai keseleo otak, jangan sampai keseleo hati, dan mental, meskipun untuk sementara kita harus ikhlas tidak bisa diberi kemungkinan menyembuhkan orang-orang yang keseleo tadi. "Wong aku dewe ae, mencari kesempurnaan sikap kanjeng Nabi hingga sekarang saja masih belum sampe, lha kok dipaksa suruh mempelajari apa itu syiah-sunni, ahlul bait, dan lain-lain. Coba mulai sekarang Jamaah Maiyah mengambil jarak intelektual, tafakkur dengan penggunaan idiom-ideom seperti Habib, Gus, Kiai, Ulama, Da’i, kalau bisa itu jangan dipakai dulu, dipelajari dulu”.
“Penipuan-penipuan seperti itu sangat banyak, dan Kita yang disini minimum jangan mau dijadikan kelinci yang mau dijadikan percobaan dan rekayasa mereka semua. Sebetulnya ada juga jalur penipuan lain, seperti dari jalur dari kedutaan Amerika langsung melalui jaringan berbagai foundation-foundationnya, jalur kesenian, mahasiswa, ormas, buruh, dan satu-satunya yang tidak bisa mereka sentuh adalah Maiyah”, tegas Cak Nun. Cak Fuad menambahkan bahwa banyak hal yang kita bicara namun tidak faham, jadi oleh karena itu dalam banyak hal kita harus belajar dulu baru bicara. Beliau mengutip Imam Syafi’i : "Pendapat saya ini benar, tapi mungkin ada salahnya. Pendapat si B ini salah menurut saya, tapi mungkin saja ada benarnya”. Jadi masih terbuka ruang untuk terus mencari kebenaran, dan itu tidak bisa ditemukan dalam suatu perdebatan. Kebenaran bisa ditemukan kalau orang mau berpikir sendiri, berdiskusi dan mohon petunjuk kepada Allah. Jangan gampang-gampang menuduh ini syirik, tapi jangan gampang juga menuduh ini itu bukan syirik, ini bid'ah. Mari kita coba pelajari dulu semuanya. Kalaupun ada perbedaan, pilah dulu mana yang wilayah khilafiyah (pertentangan yang sifatnya prinsipil) mana yang sekedar ikhtilafiyah (perbedaan biasa).
Cak Fuad juga mencontohkan sikap media kepada polisi, beliau bertanya kepada jamaah, “media itu kira-kira 100% percaya tidak kepada polisi kalau membahas soal korupsi?” kebanyakan menjawab tidak. “Tapi kenapa media 100% percaya pada polisi kalau menyangkut masalah terorisme? Tidak ada keraguan, tidak ada filter informasi, bahkan blow-up sedemikia rupa, maka kita jangan terbawa, kita harus cerdas memilih dan memilah informasi-informasi itu”, pesan cak Fuad.
Terkait dengan masalah rasisme yang sempat disampaikan Cak Nun tadi, Cak Fuad memberi contoh pada jaman Nabi, ketika peristiwa khotbatul wada Rasulullah mengatakan bahwa Tidak ada keunggulan atas bangsa Arab atas bangsa non Arab, dan juga tida ada keunggulan atas bangsa non Arab, atas bangsa Arab. Jadi yang dikatakan “tidak ada” itu keunggulan, bukan perbedaan. Kemudian Nabi juga marah pada Abu Dzar yang memaki Bilal ketika mereka bertengkar, dengan memanggil Bilal,Ya Ibna Saudak, Wahai anak dari perempuan hitam. Maka nabi marah mendengar ucapan Abu Dzar tersebut, dengan menanaggapi dan berkata “kamu ini adalah orang yang masih memunyai sifat jahiliyah, yang menghinakan manusia berdasarkan warna kulit”. Konteksnya pada jaman Rasulullah seperti itu, apakah itu dapat disebut sebagai rasis, karena suatu istilah itu maknanya juga berkembang dari satu waktu ke waktu berdasarkan perkembangan situasi dan kondisi.
Selama ini kita terkesan malu jadi orang jawa, jowone ga digowo, kalau di senetron orang jawa selalu direndahkan, mendapat peran sebagai pembantu dengan logat medokyang dipaksakan. Arab ditelan begitu saja, misal belum berangkat umroh saja sudah berpakaian seperti Abu Jahal. Tapi itu tidak apa-apa, Hak Asasi Manusia. Konsep Hak Azasi Manusia itupun sebenarnya menurut Cak Nun adalah ideologi Anti Allah yang luar biasa. Hak Asasi Manusia adalah ideologi untuk melakukan apa saja termasuk juga agar untuk tidak apa-apa kalau dianggap hewan. Dalam pengertian Cak Nun, justru yang menjadi visi utama kita adalah Kewajiban Asazi Manusia. Jadi perilaku kita harus dalam batas manusia, jangan berlaku non manusia, jangan berlaku syetan, jangan berlaku malaikat, jangan berlaku hewan, jangan berlaku tanaman. Ada baiknya menjadi tanaman, tapi tanaman tidak punya dinamika, tidak punya pemikiran, tidak punya kreatifitas. Maka yang paling tepat adalah Wajib Azasi Manusia, bukan Hak Asasi Manusia. Bahkan di Amerika sendiri, Hak Asasi Manusia tidak pernah diterapkan. Itukan sebenarnya salah satu cara mereka untuk menipu kita, mereka tidak pernah punya budaya lokal, mereka adalah orang yang berkumpul dari berbagai macam negara yang disana mereka tidak punya akar. Semua orang Amerika tidak pernah punya akar, mereka adalah orang yang tercerabut dan mencerabut dirinya dari akar, dan berkumpul menjadi satu, kemudian membikin idiologi dunia. Kalau globlaisasi datang dari Amerika maka harus segera di-ruwat, dalam arti lakukan upayadetoksifikasi, racun-racunnya harus dihilangkan. Begitu juga Arab juga harus digarab. Tidak malah menjadi orang Arab. Islamnya orang Arab itu berbeda dengan Islamnya orang Jawa, meskipun secara prinsip, akidah, akhlaknya sama, tapi output kebudayaan Islam itu jelas beda. Misalnya saja Konsep “Birrul Walidain”. Kita adalah bangsa yang paling punya kelembutan hati untuk menerapkan "Birrul Walidain" itu, kita punya budaya sopan santun bahasa dan budaya kepada orang tua yang tidak dimiliki Amerika bahkan Arab sekalipun. Kita juga punya mendem jerro mikul duwur, semakin tua semakin dijunjung. Di Amerika tidak ada, begitu umur pensiun, langsung dikumpulkan ke panti Jompo, dan itu adalah siksaan bagi orang-orang tua di Amerika. “InysaAllah kita di PadhangMbulan dan Maiyah ini,adalah sebagai upaya untuk mencari kesejatian hidup dengan melakukan pengambilan jarak atau transendensi dari penipuan-penipuan yang luar biasa, terhadap kekonyolan-kekonyolan hidup”, urai Cak Nun.
Sebagai contoh ketidaktepatan lagi, Cak Nun mengungkap budaya tawur, kenapa masalah tawuran hanya fokus pada kasus tawuran anak SMA. Bahkan ESQ menawarkan pihak SMA yang terlibat tawuran untuk ditraining. Kecil kemungkingkinan mereka akan tawuran lagi dalam waktu dekat. Justru yg perlu di training adalah semua SMA lainnya yang berpotensi tawuran. Padahal tak ada satupun dari kita yang tidak tawur. Presiden SBY dan Anas tawur. Demokrat dan Nasdem tawur, DPR tawur. Bahkan di dalam pikiran kita selalu berkecamuk dan terus-menerus berlangsung tawur. “Maiyah minimum tidak ikut tawur, meskipun belum bisa, minimum mendamaikan orang yang tawur. Di Maiyah itu tidak ada ajaran, yang ada hanya latihan-latihan, atau dalam istilah tasawuf disebut riyadloh, riyadhotul ilm, ridhotul fikr, riyadhotul ruh, bukan ajaran, bukan fatwa, apalagi agama. Kita bersama-sama berriyadhoh supaya bisa mengambil keputusan yang tepat di dalam kehidupan kita, di bidang apa saja”.
Mas Anang dari Tulungagung, pada sesi tanya jawab kali ini beliau sharing mengenai banyak hal mengenai perbedaan-perbedaan, diantaranya mengenai Orang salafi yang sering membawa doktrin-doktrin tertentu. Cak Fuad menanggapi bahwa yang tidak disadari kadang-kadang kita juga sering membawa doktrin kepada orang lain. Salah satu kesalahan kita diantaranya, kita terlalu sering men-generalisasi atau memberi stigma pada orang yang beda paham dengan kita. Kita lihat dulu pendapatnya apa, jangan langsung memberi label sebelum kita pelajari semuanya.
Cak Nun merespon mengenai tafsir Liberal yang ditanyakan salah satu jamaah, sederhana saja : "kalau kepada orang lain, saya lebih baik mencari kebaikan daripada kejelekannya. Sementara pada diri sendiri, saya lebih baik mencari kejelekan daripada kebaikan". Soal bid'ah, Cak Nun menjelaskan, itu hanya berlaku pada wilayah ibadah Mahdoh (wajib), sedangkan di wilayah ibadah muamalah (interaksi sosial) tidak berlaku. Ada juga yang membedakan bid'ah Hasanah (yg baik) dan bid’ah dholalah. Siapa yang berhak menentukan ini Hasanah atau Dholalah? Ukurannya lebih kompleks lagi. Cak Nun cenderung menghindar dari pembagian hasanah-dolalah atau sayyiah sebab itu akan menjadikan kita repot, siapa nantinya yang akan menentukan? Bupati? Ulama? majelis tarjih? bahstul matsa’il? Apa dasarnya kita harus taat pada lembaga itu? Apa dasarnya kita harus taat pada majelis ulama? Apa dasarnya kita taat pada bahsul masta’il? Padahal dalam al-qur’an, yang mutlak kita taati adalah Allah dan Rasulullah, athi’ullah, waathiurrasul. Tapi kalau ulil amri, seperti pemerintah, ulama, MUI, boleh kita tawar, debat atau kita rundingkan kembali. Cak Fuad menambahkan bahwa bid'ah itu bisa jadi karena karena hal-hal diluar ibadah mahdoh dianggap sebagai bagian dari ibadah.
Mengenai tulisan Cak Nun yang akhir-akhir ini mulai sering muncul lagi di media, beliau mengklarifikasi, “Saya menulis bukan karena saya ingin nulis, tapi karena memang diperintah, kalo saya diperintah nulis maka saya harus bergabung dalam desain itu. Misal di Gatra saya menulis Allah 2014. Nah supaya orang tidak berpikir pragmatis maka tulisan saya yang ke dua judulnya Para Kekasih Iblis, tapi jangan dilihat iblisnya, lihatlah muatannya apa saja, sebenarnya yang saya maksud adalah kebudayaan yang semuanya sahabat iblis, ya bisa termasuk media, TV, kecuali TV yang shooting disini, lha gak mungkintho iblis mau shooting disini”, ujar Cak Nun yang disambut tawa Jamaah. Terkait tulisan Cak Nun mengenai "Para Kekasih Iblis" ini, beliau berpesan: "Anda harus bersyukur berlipat-lipat karena menjadi anak buahnya Kanjeng Nabi. Dalam suatu peperangan yang harus kita ketahui dari lawan adalah bagaimana strategi perangnya. Padahal dalam situasi peperangan, tak ada satupun musuh atau lawan yang mau membocorkannya. Bersyukurlah, karena Iblis bersedia membocorkan "strategi perang"nya kepada Nabi, tinggal bagaimana kita memanfaatkannya atau tidak”.
Di Kompas yang pertama Cak Nun tulis adalah Nasionalisasi Indonesia, diseluruh bagian isi tulisan itu tidak ada yang menyinggung masalah Nasionalisasi Indonesia kecuali judulnya saja, dan tak ada satu orang pun yang tanya, kira-kira apa hubungan antara judul dengan isi, ternyata tak ada yang berani bantah. Sebetulnya yang ingin Cak Nun cantolkan buat semua pembaca kelas menengah dengan tulisan Nasionalisasi Indonesia, menyiratkan suatu hari nanti Nasionalisasi ini harus terjadi, bukan hanya nasionalisasi Freeport, nasionalisasi Newmont, nasionalisasi Tambang lainnya, tapi juga Nasionalisasi Indonesai secara keseluruahan, kita rebut kembali Indonesia dari kekuasaan global.
Tulisan Cak Nun yang selanjutnya akan segera muncul dalam waktu dekat yakni Persemakmuran Nusantara. Persemakmuran itu kalau istilah asingnya commonwealth. Inggris, Australia, Malaysia, Selandia Baru itu Commonwealth of British. Kalau dalam istilah Sunan Kalijogo itu dinamakan sebagai Tanah Perdikan.
Sedikit mereview sejarah, Kenapa ki Ageng Mangir tidak pernah taat kepada Mataram? Menurut Sunan Kalijogo, Kraton Demak itu bukan Kesatuan, tapi Tanah Perdikan, jadi kalau Majapahit dipimpin oleh Prabu Brawijaya, semua wilayah yang ada dalam kekuasaannya berada dalam Kesatuan Majapahit, semua harus mengabdi ke pusat, semua wajib kirim upeti, sistemnya monolik, seperti Tumpeng(mengerucut). Tapi kalau Demak itu bukan dipimpin oleh seorang Prabu, melainkan seorang Sultan, makanya sisitemnya Ambengan, berupa Persemakmuran.
Oleh Sunan Kalijogo ketika itu, Pangab-nya Mojopahit dijadikan Pangab Demak, sementara anaknya Brawiajaya V yang jumlahnya 43, yang anak pertamanya bernama Raden Patah dijadikan Sultan Demak, sementara saudaranya yang lain dijadikan kepala Tanah Perdikan di berbagai wilayah dari NTT sampai Sumatra, diantaranya Betoro katong, Adipati Jatinom, Adipati Purworejo, Ponorogo, Madiun, dan lain-lain, semuanya adalah anak Brawijaya V.
Ada transformasi atau peralihan dari negara kesatuan Mojopaphit, menjadi negara persemakmuran Demak, yang menimbulkan ambiguitas sedikit ketika beralih ke Pajang karena Mas Karebet atau Sultan Hadiwijawa (Pendiri sekaligus Raja pertama Pajang) bukan seorang pejuang nilai, Dia adalah orang yang sangat baik, tapi hanya menikmati kebudayaan dan dirinya sendiri sehingga tidak mempertahankan ideologi Persemakmuran itu, jadi Ia tidak ingat bahwa yang harus dipelihara adalahAmbengan, jangan sampai ada Tumpengan lagi. Begitu Pajang beralih ke Mataram atas ketidakwaspadaan Mas Karebet atau Sultan Hadiwijowo ini, sehingga kekuasaan tidak diberikan kepada pangeran Benowo, tapi malah kepada Jebeng Sutowijoyo, berdirilah kerajaan Mataram yang dipimpin oleh Sutowijoyo yang menggelari dirinya bukan Sultan, tapi juga bukan Prabu, karena sudah tidak bisa besar lagi seperti Mojopahit dulu. Ia mengambil kata yang sangat tidak tepat dalam budaya jawa, yakni gelar Panembahan.
Raja Mataram pertama namanya Panembahan Senopati. Padahal kalau di Jawa, Panembahan itu bukan Raja, seperti halnya Begawan, itu juga bukan Raja. Ia memakai gelar Prabu tidak berani, memakai gelar Sultan juga tidak mau, akhirnya Ia mengambil keputusan untuk memisahkan diri dari setting Walisongo, mau pindah ke Hindu-Budha tidak bisa karena sudah terlanjur masuk Islam, tapi ikut Islamnya juga gak tenanan, akhirnya ikut mitologi Nyai Roro Kidul yang berlangsung hingga sekarang. Jadi kerajaan Mataram, Jogja, Solo itu adalah terusannya Mojopahit dengan kualitas yang rendah. Selama kerajaan Mataram berlangsung, terjadi perebutan terus menerus antara Walisongo dan Kejawen. Cucu Panembahan Senopati yaitu Sultan Agung mencoba mengembalikan lagi konsep Ambengan, tapi di-tumpengkan lagi oleh Amangkurat, dan ditengah-tengah pertikaian itu kemudian Belanda datang.
“Jadi kenapa saya tiba-tiba menulis mengenai Persemakmuran Nusantara? kita sudah mengalami sistem negara Kesatuan sampai hampir 70 tahun dan tidak ada tanda-tanda bahwa kita akan berhasil dengan sistem ini. Bukan berarti saya akan membuat persemakmuran Nusantara Indonesia, tapi arahnya akan kesana itu. Kalau tidak tercapai kan tidak masalah tho, wong cita-citamu sendiri tidak pernah tercapai itu kan sudah biasa”, Urai Cak Nun yang disambut riuh tawa Jamaah.
Mas Eko Nuryono yang selama ini menghimpun semua tulisan-tulisan Cak Nun, menyampaikan, saat ini ada upaya pemberangusan SDM Indonesia secara sistematis lewat semua lini. Kita sangat ditakuti oleh negara barat akan kekayaan potensi yang kita miliki, dengan cara SDM kita diberangus, dan SDA kita dirampok habis-habisan.Kita tidak pernah diberi panggung di kancah Internasional, karena kita bisa jadi panglimanya dunia. Kita sengaja tidak diberi panggung, tidak diberi ruang, dan kita tidak punya kemampuan mengorganisasi, sehingga kita saling sikut-menyikut, saling curiga satu sama lain, tidak mengoptimalkan potensi diri, dan hanya asyik dengan persoalan-persoalan remeh. Menurut Mas Eko, Cak Nun sudah menangkap gejala itu dengan mengambil jarak terhadap berbagai kekonyolan-kekonyolan, salah satunya dengan menulis buku "Indonesia Bagian dari Desa Saya". Upaya pengambilan jarak atau transendensi terhadap persoalan-persoalan kekonyolan itu dilakukan agar kita tidak terjebak disana. Mungkin ketika awal-awal Maiyah berdiri, orang akan curiga maiyah akan dibawa kemana, tapi sejarah akhirnya membuktukan bahwa stigma-stigma negatif itu patah semua. Reformasi dipercaya banyak orang bisa membawa perubahan namun tokoh-tokohnya tidak ada yang bisa diharapkan. Orang-orang sudah frustasi dengan negara, frustasi dengan lembaga politik, frustasi dengan para tokoh. Mereka mau bersandar kemana. Di konteks inilah, mas Eko Nuryono melihat tulisan Cak Nun memberi semacam oase, memberi spirit, memberi harapan. Spirit maiyah sudah saatnya disebar. “Sudah saatnya kita harus bergerak keluar”, tegas Mas Eko.
Cak Nun merespon apa yang disampaikan Mas Eko tadi bahwa apa yang dilakukan Maiyah atau Cak Nun sendiri, itu bukan untuk berkuasa di Indonesia atau untuk menjadi apa-apa, kita disini hanya menjalankan tugas dari Allah, menunjukkan jalan untuk Indonesia, terserah, mau dipakai atau tidak. Sebisa mungkin kita sudah menunjukkan dengan batas-batas akal fikiran kita, sudah menunjukkan jalurminadzdzulumati ilannuur-nya Indonesia itu. Yang dimaksud Mas Eko tadi, kalau yang Cak Nun tulis atau dimuat saat era reformasi tahun 2000-an itu, orang-orang masih mencurigai Cak Nun secara politik, tapi setelah lewat reformasi lebih dari 14 tahun, orang-orang sudah tidak bisa punya alasan untuk mencurigai Cak Nun lagi, sehingga mereka bisa menerima fikiran-fikiran minadzulumat itu secara murni. Jadi tulisan-tulisan ini oleh Allah diijinkan lahirnya setelah orang tidak bisa membuktikan kecurigaan-kecurigaan itu.
Kedua, sekarang penerbit Kompas dan mizan menerbitkan lagi buku-buku Cak Nun sejak 30 tahun lalu yang ternyata tanpa dirubah sehuruf pun tetap relevan dengan keadaan sekarang. Dan ini akan terbit secara berkala setiap 4 bulan. Kalau di Gatra danKompas minimun 2 minggu sekali. “Jadi sekali-kali Jamaah Maiyah silakan melirik-lirik ke belakang, biar tahu jejak yang kita berikan, bukan jejak Emha Ainun Nadjib, tapi jejak Maiyah ikut serta menunjukkan jalan buat Indonesia, atau Allah suruh perintah kita apa saja, kita standby aja”, ungkap Cak Nun.
Yang ketiga ini rahasia sedikit. Orang masih meletekkan aliran, dan sentimen keagamaan menjadi pertimbangan politik. Dengan terpilihnya Jokowi maka terbukti bahwa parpol sudah di-legitimate.Jokowi dengan PDIP ditawur oleh seluruh parpol yang lain, meski semua parpol itu tetap kalah. Artinya parpol itu sudah tidak legitimate atau tidak punya dukungan massa. Dan menangnya Jokowi bukan karena PDIP juga, meski seandainya Ia diusung oleh parpol lain, Ia akan tetap menang. Orang sudah bosan dengan masa kini dan tidak percaya pada masa depan. Maka orang-orang lari ke masa silam, coba lihat sekilas kok potongane seperti embah-embah kita dulu, klunak-klunuk, seperti potongan orang jaman dulu. Jadi orang Indonesia memilih pemimpin Itu bukan urusan politik, begitu tangguhnya kita sehingga tidak bergantung pada baik tidaknya seorang pemimpin. Orang sedang tidak berpolitik, masyarakat kita tidak sedang berkalkulasi, tidak ada negara tidak apa-apa, toh nanti kita bikin aturan-aturan sendiri. Itu saking hebatnya bangsa Indonesia. Sementara pemimpin yang diatas terus menerus terjebak oleh lobang yang sama.
Kenapa dulu Sukarno kok kelihatannya dekat dengan PKI kemudian membukarkan HMI, Masyumi? Kenapa Ia terkesan memusuhi Islam? sampai hari ini kita tetap jengkel sama Bung Karno soal itu. Kita lihat latar belakangnya, ketika dulu rapat Masyumi berlangsung di rumah Menturo sini, -keluarga Cak Nun semuanya Masyumi, termasuk kiai Wahid Hasyim juga Masyumi. Bung Karno itu pendiri gerakan Non-Blok, satu-satunya pemimpin dunia yang sering disebut dalam pidatonya Imam Khomeini hanyalah Bung Karno. Aspirasinya Bung Karno bukan Uni Soviet, tapi aspirasinya adalah Non-Blok, sementara Masyumi pada waktu itu tidak mau sama PKI, tidak mau sama Komunis, tidak mau sama Soviet. Ternyata Masyumi pro Amerika. Seadainya Masyumi waktu itu tidak pro Amerika, tidak pro Uni Soviet, tapi mendukung non-Blok, mungkin Bung Karno akan kokoh dan tidak akan terseret untuk salah. Bung Karno sendirian, tidak punya teman, diberontak oleh sayap ektrim seperti Kartosuwiryo, Kahar Muzakar, dan sebagainya. Untuk mengatasi pemberontakan itu,Bung Karno dipaksa menanadatangani surat eksekusi terhadap Kartosuwiryo, yang notabene sahabat karibnya Bung Karno sejak kecil. Bung karno mau tidak mau, gak teggen, Ia sendirian ditinggal Bung Hatta, ditinggal M. Nastir, ditinggal Kasman Singodimejo, dan temannya yang lain.
Selama seminggu lamanya Bung Karno menangis, enggan menandatanganinya, tidak kuat hatinya meski akhirnya mau menandatangai surat eksekusi tadi. Sekarang bayangkan Kalau Kartosuwiryo yang menang, apakah Dia akan menangisi eksekusi Sukarno? Wong Bapaknya sendiri dikafirkan, bahkan kadang dihipnotis untuk di cuci otak. Jadi sebenarnya kita salah sejak itu, dan kesalahan itu tidak Kita sadari benar-benar, kita tidak punya guru bangsa yang menjelaskan semuanya secara jernih, nuwun sewu, Gus Dur sepanjang hidupnya hanya benci pada yang berbau Masyumi, HMI, ICMI, dan kita senang dengan kebencian-kebencian diantara kita, maka kita bikin Maiyah ini untuk menyembuhkan semuanya. “KalauIndonseia tidak bisa ditolong oleh Maiyah, maka Indonesia kecil kita adalah Maiyah ini." Disini kita tidak ada masalah, Non-blok banget toh kita ini, pengajian tidak aturan, tidak ada hiasan, tidak ada slogan, tidak ada kaligrafi, coba cari di belahan dunia manapun ada pengajian seperti ini, "dikonkon nyumbang ae gak ono”, sindir Cak Nun.
“Gerakan Maiyah tidak akan diberi peluang, tidak usah oleh Amerika, Wahabi, Israel atau apapun, gerakan Maiyah tidak akan diberi peluang otomatis oleh mainstream dan atmosfir masyarakat Indonesia. Maka saya tidak cemas meski dulu Jamaah PadhangMbulan Jumlahnya mencapai ribuan, sekarang hanya tinggal sedikit, saya tidak cemas sama sekali, karena inilah yang sejati, inilah yang bener, inilah yang di jalan rasioanal, perkoro Indonesia menerima atau tidak ya silakan, tapi tetep tak tunjukkan jalannya. Kenapa kita bikin negara tiba-tiba copy paste dari Amerika. Termasuk undang-undangnya semua copy paste. Kan mestinya bikin gettuk dari kaspe, bukannya malah diserahkan ke Romo Mangun (Guyonan untuk ikon KFC)”, ujar Cak Nun dengan nada canda.
“Ayok kita khusnudzhon, jaga perdamaian, jaga kemashlahatan, jaga rahmatal lil’alamin, dan itulah Maiyah”, tegas Cak Nun yang dilanjutkan dengan do’a penutup.
[red-pb-adhon]
Selanjutnya Cak Fuad menguraikan ayat-ayat yang berkaitan dengan Idul Adha. Selama ini kita tahu bahwa ayat yang menyuruh kita untuk berqurban adalah QS Al-Kautsar. Adapun Azbabun Nuzul QS al-Kautsar ini, pada saat Rasulullah menerima surat tersebut, beliau seolah-olah seperti pingsan, begitu sadar beliau langsung tersenyum, kemudian Rasulullah menjelaskan bahwa al-Kautsar adalah pintu surga yang khusus disediakan untuk beliau. Namun ayat yang spesifik perintah Qurban adalah QS. Al-Hajj : 34 sampai ayat 37. Inti dari ayat-ayat tersebut adalah untuk menegaskan bahwa berqurban itu hendaknya dilakukan Lillah, hanya untuk Allah, berbeda dengn agama tradisi lainnya dimana banyak ditujukan agar meredam amarah penguasa atau tuhannya. Dan yang diminta Allah ketika kita berqurban bukanlah daging qurban itu sendiri, melainkan ketaqwaan, kepatuhan atau keikhlasannya. Adapun ciri-ciri orang yang patuh (mukhbitin) dalam ayat tersebut yakni :
1. Apabila disebut nama Allah hatinya bergetar
2. Sabar
3. Mendirikan sholat
4. Senang bersedekah.
Cak Fuad mengutip kisah M. Natsir, salah satu tokoh pejuang dari Masyumi : "Di Indonesia pada saat jaman kemerdekaan, banyak sekali orang tua yang berlaku layaknya Nabi Ibrahim yakni mendorong anaknya ke medan perang, sedangkan anak muda pada saat itu juga dikatakan sebagai Ismail, yang sama sekali tidak mempunyai rasa takut. Coba kita bandingkan pada jaman sekarang?”, tanya Cak Fuad. Dalam hal mencontoh Nabi, Cak Fuad menyerukan kepada kita untuk dipilah dulu, mana yang bagian agama mana yang hanya sekedar tradisi. Misal ketika nabi Makan. Nabi selalu berdo'a sebelum makan itu adalah bagian dari Agama, sedangkan ketika Nabi yang selalu makan dengan tiga jari itu bisa jadi karena memang pada saat itu yang dimakan adalah kurma, roti, dan sejenisnya. Bisa jadi kalau seandainya Nabi diturunkan di Jepang, maka tradisi makannya mungkin juga memakai sumpit. “Hakikat Qurban disamping disebut al-Qur'an al-Hajj tadi untuk membentuk sikap jiwa tunduk kepada Allah, juga merelakan apapun untuk kepentingan orang lain. Qurban bisa dikatakan sebagai menyembelih egoisme, menyembelih keserakahan. Kebahagiaan kita sebenarnya adalah ketika kita bisa berbuat Ihsan”, jelas Cak Fuad.
Dilanjutkan dengan Uraian-uraian Cak Nun yang menyinggung tentang penggunaan idiom atau istilah-istilah yang saat ini banyak mengalami pendangkalan. Semua kata yang bernilai sudah habis dipakai orang-orang untuk direndahkan. Misal para koruptor sekarang menggunakan kata sandi atau istilah Kiai untuk menyebut anggota DPR, terkait dengan proyek yang sedang di korup. Istilah Pesantren adalah sebutan untuk badan atau kementrian yang mengeluarkan proyek. Istilah Tahlilan adalah meeting atau pertemuannya. Sehingga ketika para koruptor yang menggunakan istilah-istilah itu melalui SMS, maka itu tidak akan bisa dijadikan fakta hukum yang bisa menjeratnya. “Ada fenomena yang Allah melegitimasi langsung yakni, summum bukmun umyun fahum la yarji’un (mereka tuli, bisu dan buta, Maka tidaklah mereka akan bisa kembali), La yarji’un itu kan tidak bisa disembuhkan”, jelas Cak Nun.
Fenomena lain, yakni Kebanyakan isi TV bukan hanya tidak mengakui Indonesia, tapi juga bahkan menghina, seolah-olah merekalah yang meng-klaim dirinya paling nasionalis. Coba liat sinetron-sinetron, seolah-olah ada aturan tidak tertulis dalam skenario budaya sinetron yang kebanyakan mengharuskan bintangnya adalah yang berwajah luar, bukan yang berwajah jawa. “Itu rasisme, nasionalisme, apa proteksi atau apa? Kalau dikatakan rasisme, sebetulnya rasis itu sendiri ilmu yang menolong kamu, atau malah justru yang menipumu? Sebentar-bentar kok dibilang rasis.”
Misal ungkapan “Dasar chinaa”, kita tahu orang china itu sejarahnya beda dengan pribumi, dia berasal dari luar, hatinya berbeda, psikologinya berbeda, kumpulan-kumpulan dan tradisinya juga berbeda, maka istilah “Dasar china” itu kan memang bener adanya, dan itu bukan rasis. Misalkan lagi Apakah kalau Rahmatan lil ‘Alamin, Nabi yang untuk seluruh umat manusia itu apakah tidak boleh dibedakan antara manusia Asia, manusia Eropa, ini kulit putih, kulit hitam, apakah dikatakan rasis? Kan tidak jelas juga sebenarnya. “Jadi Setiap kata-kata seperti rasisme, HAM, primordial, pluralisme, neoliberalisme itu kalau bisa jangan dipakai dulu, lebih baik pelajari dulu”, pesan Cak Nun.
“Kita sudah ratusan tahun disesatkan oleh berbagai kesalahan kata-kata, idiom, istilah, dari masalah yang menyangkut politik, budaya, agama, hingga apa saja, maka produknya adalah keseleo otak. Sudah tidak bisa membedakan mana pohon, mana akar, beda antara kaspe, jemblem, dan gethuk. Tidak bisa membedakan agama sama mazhab. Madzhab dianggap Agama, Kaspe dianggap Jemblem. Wong saiki rumangsane panen seggo, bukan panen pari”.
Menurut Cak Nun, kebodohan orang yang "keseleo otak"nya ini dimanfaatkan oleh orang yang mempunyai kekuasaan dan ingin menguasai kekayaan Indonesia, menguasai minyak, dengan cara melakukan adu domba orang-orang yang keseleo otaknya tersebut. Maka ada yang lewat langsung dari Amerika ke Polri, terus densus 88, yang tugasnya mencari seggo karak, pokoknya kalau ada karakberarti itu teroris, langsung saja ditangkap, meski karak itu tidak melakukan apa-apa. Padahal di dalam hukum, yang seharusnya disalahkan itu adalah perbuatan, bukan identitasnya. Kira-kira karak yang diam itu salah apa tidak? Tentu saja tidak salah, tapi kalau karak itu dilempar ke wajahmu, perbuatan itulah yang salah, bukan karaknya. Dalam konteks Densus 88 dan terorisme saat ini, semua orang bisa bilang, ini lho teroris silakan ditangkap, dan hingga saat ini tidak ada yang kritis terhadap hal ini. Kok ada penangkapan terhadap terorisme, identitas kok ditangkap. "Maka dari itu Jamaah PadhangmBulan jangan sampai keseleo otak, jangan sampai keseleo hati, dan mental, meskipun untuk sementara kita harus ikhlas tidak bisa diberi kemungkinan menyembuhkan orang-orang yang keseleo tadi. "Wong aku dewe ae, mencari kesempurnaan sikap kanjeng Nabi hingga sekarang saja masih belum sampe, lha kok dipaksa suruh mempelajari apa itu syiah-sunni, ahlul bait, dan lain-lain. Coba mulai sekarang Jamaah Maiyah mengambil jarak intelektual, tafakkur dengan penggunaan idiom-ideom seperti Habib, Gus, Kiai, Ulama, Da’i, kalau bisa itu jangan dipakai dulu, dipelajari dulu”.
“Penipuan-penipuan seperti itu sangat banyak, dan Kita yang disini minimum jangan mau dijadikan kelinci yang mau dijadikan percobaan dan rekayasa mereka semua. Sebetulnya ada juga jalur penipuan lain, seperti dari jalur dari kedutaan Amerika langsung melalui jaringan berbagai foundation-foundationnya, jalur kesenian, mahasiswa, ormas, buruh, dan satu-satunya yang tidak bisa mereka sentuh adalah Maiyah”, tegas Cak Nun. Cak Fuad menambahkan bahwa banyak hal yang kita bicara namun tidak faham, jadi oleh karena itu dalam banyak hal kita harus belajar dulu baru bicara. Beliau mengutip Imam Syafi’i : "Pendapat saya ini benar, tapi mungkin ada salahnya. Pendapat si B ini salah menurut saya, tapi mungkin saja ada benarnya”. Jadi masih terbuka ruang untuk terus mencari kebenaran, dan itu tidak bisa ditemukan dalam suatu perdebatan. Kebenaran bisa ditemukan kalau orang mau berpikir sendiri, berdiskusi dan mohon petunjuk kepada Allah. Jangan gampang-gampang menuduh ini syirik, tapi jangan gampang juga menuduh ini itu bukan syirik, ini bid'ah. Mari kita coba pelajari dulu semuanya. Kalaupun ada perbedaan, pilah dulu mana yang wilayah khilafiyah (pertentangan yang sifatnya prinsipil) mana yang sekedar ikhtilafiyah (perbedaan biasa).
Cak Fuad juga mencontohkan sikap media kepada polisi, beliau bertanya kepada jamaah, “media itu kira-kira 100% percaya tidak kepada polisi kalau membahas soal korupsi?” kebanyakan menjawab tidak. “Tapi kenapa media 100% percaya pada polisi kalau menyangkut masalah terorisme? Tidak ada keraguan, tidak ada filter informasi, bahkan blow-up sedemikia rupa, maka kita jangan terbawa, kita harus cerdas memilih dan memilah informasi-informasi itu”, pesan cak Fuad.
Terkait dengan masalah rasisme yang sempat disampaikan Cak Nun tadi, Cak Fuad memberi contoh pada jaman Nabi, ketika peristiwa khotbatul wada Rasulullah mengatakan bahwa Tidak ada keunggulan atas bangsa Arab atas bangsa non Arab, dan juga tida ada keunggulan atas bangsa non Arab, atas bangsa Arab. Jadi yang dikatakan “tidak ada” itu keunggulan, bukan perbedaan. Kemudian Nabi juga marah pada Abu Dzar yang memaki Bilal ketika mereka bertengkar, dengan memanggil Bilal,Ya Ibna Saudak, Wahai anak dari perempuan hitam. Maka nabi marah mendengar ucapan Abu Dzar tersebut, dengan menanaggapi dan berkata “kamu ini adalah orang yang masih memunyai sifat jahiliyah, yang menghinakan manusia berdasarkan warna kulit”. Konteksnya pada jaman Rasulullah seperti itu, apakah itu dapat disebut sebagai rasis, karena suatu istilah itu maknanya juga berkembang dari satu waktu ke waktu berdasarkan perkembangan situasi dan kondisi.
Jowo Digowo, Arab Digarap, Barat Diruwat
Selama ini kita terkesan malu jadi orang jawa, jowone ga digowo, kalau di senetron orang jawa selalu direndahkan, mendapat peran sebagai pembantu dengan logat medokyang dipaksakan. Arab ditelan begitu saja, misal belum berangkat umroh saja sudah berpakaian seperti Abu Jahal. Tapi itu tidak apa-apa, Hak Asasi Manusia. Konsep Hak Azasi Manusia itupun sebenarnya menurut Cak Nun adalah ideologi Anti Allah yang luar biasa. Hak Asasi Manusia adalah ideologi untuk melakukan apa saja termasuk juga agar untuk tidak apa-apa kalau dianggap hewan. Dalam pengertian Cak Nun, justru yang menjadi visi utama kita adalah Kewajiban Asazi Manusia. Jadi perilaku kita harus dalam batas manusia, jangan berlaku non manusia, jangan berlaku syetan, jangan berlaku malaikat, jangan berlaku hewan, jangan berlaku tanaman. Ada baiknya menjadi tanaman, tapi tanaman tidak punya dinamika, tidak punya pemikiran, tidak punya kreatifitas. Maka yang paling tepat adalah Wajib Azasi Manusia, bukan Hak Asasi Manusia. Bahkan di Amerika sendiri, Hak Asasi Manusia tidak pernah diterapkan. Itukan sebenarnya salah satu cara mereka untuk menipu kita, mereka tidak pernah punya budaya lokal, mereka adalah orang yang berkumpul dari berbagai macam negara yang disana mereka tidak punya akar. Semua orang Amerika tidak pernah punya akar, mereka adalah orang yang tercerabut dan mencerabut dirinya dari akar, dan berkumpul menjadi satu, kemudian membikin idiologi dunia. Kalau globlaisasi datang dari Amerika maka harus segera di-ruwat, dalam arti lakukan upayadetoksifikasi, racun-racunnya harus dihilangkan. Begitu juga Arab juga harus digarab. Tidak malah menjadi orang Arab. Islamnya orang Arab itu berbeda dengan Islamnya orang Jawa, meskipun secara prinsip, akidah, akhlaknya sama, tapi output kebudayaan Islam itu jelas beda. Misalnya saja Konsep “Birrul Walidain”. Kita adalah bangsa yang paling punya kelembutan hati untuk menerapkan "Birrul Walidain" itu, kita punya budaya sopan santun bahasa dan budaya kepada orang tua yang tidak dimiliki Amerika bahkan Arab sekalipun. Kita juga punya mendem jerro mikul duwur, semakin tua semakin dijunjung. Di Amerika tidak ada, begitu umur pensiun, langsung dikumpulkan ke panti Jompo, dan itu adalah siksaan bagi orang-orang tua di Amerika. “InysaAllah kita di PadhangMbulan dan Maiyah ini,adalah sebagai upaya untuk mencari kesejatian hidup dengan melakukan pengambilan jarak atau transendensi dari penipuan-penipuan yang luar biasa, terhadap kekonyolan-kekonyolan hidup”, urai Cak Nun.
Sebagai contoh ketidaktepatan lagi, Cak Nun mengungkap budaya tawur, kenapa masalah tawuran hanya fokus pada kasus tawuran anak SMA. Bahkan ESQ menawarkan pihak SMA yang terlibat tawuran untuk ditraining. Kecil kemungkingkinan mereka akan tawuran lagi dalam waktu dekat. Justru yg perlu di training adalah semua SMA lainnya yang berpotensi tawuran. Padahal tak ada satupun dari kita yang tidak tawur. Presiden SBY dan Anas tawur. Demokrat dan Nasdem tawur, DPR tawur. Bahkan di dalam pikiran kita selalu berkecamuk dan terus-menerus berlangsung tawur. “Maiyah minimum tidak ikut tawur, meskipun belum bisa, minimum mendamaikan orang yang tawur. Di Maiyah itu tidak ada ajaran, yang ada hanya latihan-latihan, atau dalam istilah tasawuf disebut riyadloh, riyadhotul ilm, ridhotul fikr, riyadhotul ruh, bukan ajaran, bukan fatwa, apalagi agama. Kita bersama-sama berriyadhoh supaya bisa mengambil keputusan yang tepat di dalam kehidupan kita, di bidang apa saja”.
Mas Anang dari Tulungagung, pada sesi tanya jawab kali ini beliau sharing mengenai banyak hal mengenai perbedaan-perbedaan, diantaranya mengenai Orang salafi yang sering membawa doktrin-doktrin tertentu. Cak Fuad menanggapi bahwa yang tidak disadari kadang-kadang kita juga sering membawa doktrin kepada orang lain. Salah satu kesalahan kita diantaranya, kita terlalu sering men-generalisasi atau memberi stigma pada orang yang beda paham dengan kita. Kita lihat dulu pendapatnya apa, jangan langsung memberi label sebelum kita pelajari semuanya.
Cak Nun merespon mengenai tafsir Liberal yang ditanyakan salah satu jamaah, sederhana saja : "kalau kepada orang lain, saya lebih baik mencari kebaikan daripada kejelekannya. Sementara pada diri sendiri, saya lebih baik mencari kejelekan daripada kebaikan". Soal bid'ah, Cak Nun menjelaskan, itu hanya berlaku pada wilayah ibadah Mahdoh (wajib), sedangkan di wilayah ibadah muamalah (interaksi sosial) tidak berlaku. Ada juga yang membedakan bid'ah Hasanah (yg baik) dan bid’ah dholalah. Siapa yang berhak menentukan ini Hasanah atau Dholalah? Ukurannya lebih kompleks lagi. Cak Nun cenderung menghindar dari pembagian hasanah-dolalah atau sayyiah sebab itu akan menjadikan kita repot, siapa nantinya yang akan menentukan? Bupati? Ulama? majelis tarjih? bahstul matsa’il? Apa dasarnya kita harus taat pada lembaga itu? Apa dasarnya kita harus taat pada majelis ulama? Apa dasarnya kita taat pada bahsul masta’il? Padahal dalam al-qur’an, yang mutlak kita taati adalah Allah dan Rasulullah, athi’ullah, waathiurrasul. Tapi kalau ulil amri, seperti pemerintah, ulama, MUI, boleh kita tawar, debat atau kita rundingkan kembali. Cak Fuad menambahkan bahwa bid'ah itu bisa jadi karena karena hal-hal diluar ibadah mahdoh dianggap sebagai bagian dari ibadah.
Mengenai tulisan Cak Nun yang akhir-akhir ini mulai sering muncul lagi di media, beliau mengklarifikasi, “Saya menulis bukan karena saya ingin nulis, tapi karena memang diperintah, kalo saya diperintah nulis maka saya harus bergabung dalam desain itu. Misal di Gatra saya menulis Allah 2014. Nah supaya orang tidak berpikir pragmatis maka tulisan saya yang ke dua judulnya Para Kekasih Iblis, tapi jangan dilihat iblisnya, lihatlah muatannya apa saja, sebenarnya yang saya maksud adalah kebudayaan yang semuanya sahabat iblis, ya bisa termasuk media, TV, kecuali TV yang shooting disini, lha gak mungkintho iblis mau shooting disini”, ujar Cak Nun yang disambut tawa Jamaah. Terkait tulisan Cak Nun mengenai "Para Kekasih Iblis" ini, beliau berpesan: "Anda harus bersyukur berlipat-lipat karena menjadi anak buahnya Kanjeng Nabi. Dalam suatu peperangan yang harus kita ketahui dari lawan adalah bagaimana strategi perangnya. Padahal dalam situasi peperangan, tak ada satupun musuh atau lawan yang mau membocorkannya. Bersyukurlah, karena Iblis bersedia membocorkan "strategi perang"nya kepada Nabi, tinggal bagaimana kita memanfaatkannya atau tidak”.
Di Kompas yang pertama Cak Nun tulis adalah Nasionalisasi Indonesia, diseluruh bagian isi tulisan itu tidak ada yang menyinggung masalah Nasionalisasi Indonesia kecuali judulnya saja, dan tak ada satu orang pun yang tanya, kira-kira apa hubungan antara judul dengan isi, ternyata tak ada yang berani bantah. Sebetulnya yang ingin Cak Nun cantolkan buat semua pembaca kelas menengah dengan tulisan Nasionalisasi Indonesia, menyiratkan suatu hari nanti Nasionalisasi ini harus terjadi, bukan hanya nasionalisasi Freeport, nasionalisasi Newmont, nasionalisasi Tambang lainnya, tapi juga Nasionalisasi Indonesai secara keseluruahan, kita rebut kembali Indonesia dari kekuasaan global.
Tulisan Cak Nun yang selanjutnya akan segera muncul dalam waktu dekat yakni Persemakmuran Nusantara. Persemakmuran itu kalau istilah asingnya commonwealth. Inggris, Australia, Malaysia, Selandia Baru itu Commonwealth of British. Kalau dalam istilah Sunan Kalijogo itu dinamakan sebagai Tanah Perdikan.
Sedikit mereview sejarah, Kenapa ki Ageng Mangir tidak pernah taat kepada Mataram? Menurut Sunan Kalijogo, Kraton Demak itu bukan Kesatuan, tapi Tanah Perdikan, jadi kalau Majapahit dipimpin oleh Prabu Brawijaya, semua wilayah yang ada dalam kekuasaannya berada dalam Kesatuan Majapahit, semua harus mengabdi ke pusat, semua wajib kirim upeti, sistemnya monolik, seperti Tumpeng(mengerucut). Tapi kalau Demak itu bukan dipimpin oleh seorang Prabu, melainkan seorang Sultan, makanya sisitemnya Ambengan, berupa Persemakmuran.
Oleh Sunan Kalijogo ketika itu, Pangab-nya Mojopahit dijadikan Pangab Demak, sementara anaknya Brawiajaya V yang jumlahnya 43, yang anak pertamanya bernama Raden Patah dijadikan Sultan Demak, sementara saudaranya yang lain dijadikan kepala Tanah Perdikan di berbagai wilayah dari NTT sampai Sumatra, diantaranya Betoro katong, Adipati Jatinom, Adipati Purworejo, Ponorogo, Madiun, dan lain-lain, semuanya adalah anak Brawijaya V.
Ada transformasi atau peralihan dari negara kesatuan Mojopaphit, menjadi negara persemakmuran Demak, yang menimbulkan ambiguitas sedikit ketika beralih ke Pajang karena Mas Karebet atau Sultan Hadiwijawa (Pendiri sekaligus Raja pertama Pajang) bukan seorang pejuang nilai, Dia adalah orang yang sangat baik, tapi hanya menikmati kebudayaan dan dirinya sendiri sehingga tidak mempertahankan ideologi Persemakmuran itu, jadi Ia tidak ingat bahwa yang harus dipelihara adalahAmbengan, jangan sampai ada Tumpengan lagi. Begitu Pajang beralih ke Mataram atas ketidakwaspadaan Mas Karebet atau Sultan Hadiwijowo ini, sehingga kekuasaan tidak diberikan kepada pangeran Benowo, tapi malah kepada Jebeng Sutowijoyo, berdirilah kerajaan Mataram yang dipimpin oleh Sutowijoyo yang menggelari dirinya bukan Sultan, tapi juga bukan Prabu, karena sudah tidak bisa besar lagi seperti Mojopahit dulu. Ia mengambil kata yang sangat tidak tepat dalam budaya jawa, yakni gelar Panembahan.
Raja Mataram pertama namanya Panembahan Senopati. Padahal kalau di Jawa, Panembahan itu bukan Raja, seperti halnya Begawan, itu juga bukan Raja. Ia memakai gelar Prabu tidak berani, memakai gelar Sultan juga tidak mau, akhirnya Ia mengambil keputusan untuk memisahkan diri dari setting Walisongo, mau pindah ke Hindu-Budha tidak bisa karena sudah terlanjur masuk Islam, tapi ikut Islamnya juga gak tenanan, akhirnya ikut mitologi Nyai Roro Kidul yang berlangsung hingga sekarang. Jadi kerajaan Mataram, Jogja, Solo itu adalah terusannya Mojopahit dengan kualitas yang rendah. Selama kerajaan Mataram berlangsung, terjadi perebutan terus menerus antara Walisongo dan Kejawen. Cucu Panembahan Senopati yaitu Sultan Agung mencoba mengembalikan lagi konsep Ambengan, tapi di-tumpengkan lagi oleh Amangkurat, dan ditengah-tengah pertikaian itu kemudian Belanda datang.
“Jadi kenapa saya tiba-tiba menulis mengenai Persemakmuran Nusantara? kita sudah mengalami sistem negara Kesatuan sampai hampir 70 tahun dan tidak ada tanda-tanda bahwa kita akan berhasil dengan sistem ini. Bukan berarti saya akan membuat persemakmuran Nusantara Indonesia, tapi arahnya akan kesana itu. Kalau tidak tercapai kan tidak masalah tho, wong cita-citamu sendiri tidak pernah tercapai itu kan sudah biasa”, Urai Cak Nun yang disambut riuh tawa Jamaah.
Mas Eko Nuryono yang selama ini menghimpun semua tulisan-tulisan Cak Nun, menyampaikan, saat ini ada upaya pemberangusan SDM Indonesia secara sistematis lewat semua lini. Kita sangat ditakuti oleh negara barat akan kekayaan potensi yang kita miliki, dengan cara SDM kita diberangus, dan SDA kita dirampok habis-habisan.Kita tidak pernah diberi panggung di kancah Internasional, karena kita bisa jadi panglimanya dunia. Kita sengaja tidak diberi panggung, tidak diberi ruang, dan kita tidak punya kemampuan mengorganisasi, sehingga kita saling sikut-menyikut, saling curiga satu sama lain, tidak mengoptimalkan potensi diri, dan hanya asyik dengan persoalan-persoalan remeh. Menurut Mas Eko, Cak Nun sudah menangkap gejala itu dengan mengambil jarak terhadap berbagai kekonyolan-kekonyolan, salah satunya dengan menulis buku "Indonesia Bagian dari Desa Saya". Upaya pengambilan jarak atau transendensi terhadap persoalan-persoalan kekonyolan itu dilakukan agar kita tidak terjebak disana. Mungkin ketika awal-awal Maiyah berdiri, orang akan curiga maiyah akan dibawa kemana, tapi sejarah akhirnya membuktukan bahwa stigma-stigma negatif itu patah semua. Reformasi dipercaya banyak orang bisa membawa perubahan namun tokoh-tokohnya tidak ada yang bisa diharapkan. Orang-orang sudah frustasi dengan negara, frustasi dengan lembaga politik, frustasi dengan para tokoh. Mereka mau bersandar kemana. Di konteks inilah, mas Eko Nuryono melihat tulisan Cak Nun memberi semacam oase, memberi spirit, memberi harapan. Spirit maiyah sudah saatnya disebar. “Sudah saatnya kita harus bergerak keluar”, tegas Mas Eko.
Cak Nun merespon apa yang disampaikan Mas Eko tadi bahwa apa yang dilakukan Maiyah atau Cak Nun sendiri, itu bukan untuk berkuasa di Indonesia atau untuk menjadi apa-apa, kita disini hanya menjalankan tugas dari Allah, menunjukkan jalan untuk Indonesia, terserah, mau dipakai atau tidak. Sebisa mungkin kita sudah menunjukkan dengan batas-batas akal fikiran kita, sudah menunjukkan jalurminadzdzulumati ilannuur-nya Indonesia itu. Yang dimaksud Mas Eko tadi, kalau yang Cak Nun tulis atau dimuat saat era reformasi tahun 2000-an itu, orang-orang masih mencurigai Cak Nun secara politik, tapi setelah lewat reformasi lebih dari 14 tahun, orang-orang sudah tidak bisa punya alasan untuk mencurigai Cak Nun lagi, sehingga mereka bisa menerima fikiran-fikiran minadzulumat itu secara murni. Jadi tulisan-tulisan ini oleh Allah diijinkan lahirnya setelah orang tidak bisa membuktikan kecurigaan-kecurigaan itu.
Kedua, sekarang penerbit Kompas dan mizan menerbitkan lagi buku-buku Cak Nun sejak 30 tahun lalu yang ternyata tanpa dirubah sehuruf pun tetap relevan dengan keadaan sekarang. Dan ini akan terbit secara berkala setiap 4 bulan. Kalau di Gatra danKompas minimun 2 minggu sekali. “Jadi sekali-kali Jamaah Maiyah silakan melirik-lirik ke belakang, biar tahu jejak yang kita berikan, bukan jejak Emha Ainun Nadjib, tapi jejak Maiyah ikut serta menunjukkan jalan buat Indonesia, atau Allah suruh perintah kita apa saja, kita standby aja”, ungkap Cak Nun.
Yang ketiga ini rahasia sedikit. Orang masih meletekkan aliran, dan sentimen keagamaan menjadi pertimbangan politik. Dengan terpilihnya Jokowi maka terbukti bahwa parpol sudah di-legitimate.Jokowi dengan PDIP ditawur oleh seluruh parpol yang lain, meski semua parpol itu tetap kalah. Artinya parpol itu sudah tidak legitimate atau tidak punya dukungan massa. Dan menangnya Jokowi bukan karena PDIP juga, meski seandainya Ia diusung oleh parpol lain, Ia akan tetap menang. Orang sudah bosan dengan masa kini dan tidak percaya pada masa depan. Maka orang-orang lari ke masa silam, coba lihat sekilas kok potongane seperti embah-embah kita dulu, klunak-klunuk, seperti potongan orang jaman dulu. Jadi orang Indonesia memilih pemimpin Itu bukan urusan politik, begitu tangguhnya kita sehingga tidak bergantung pada baik tidaknya seorang pemimpin. Orang sedang tidak berpolitik, masyarakat kita tidak sedang berkalkulasi, tidak ada negara tidak apa-apa, toh nanti kita bikin aturan-aturan sendiri. Itu saking hebatnya bangsa Indonesia. Sementara pemimpin yang diatas terus menerus terjebak oleh lobang yang sama.
Kenapa dulu Sukarno kok kelihatannya dekat dengan PKI kemudian membukarkan HMI, Masyumi? Kenapa Ia terkesan memusuhi Islam? sampai hari ini kita tetap jengkel sama Bung Karno soal itu. Kita lihat latar belakangnya, ketika dulu rapat Masyumi berlangsung di rumah Menturo sini, -keluarga Cak Nun semuanya Masyumi, termasuk kiai Wahid Hasyim juga Masyumi. Bung Karno itu pendiri gerakan Non-Blok, satu-satunya pemimpin dunia yang sering disebut dalam pidatonya Imam Khomeini hanyalah Bung Karno. Aspirasinya Bung Karno bukan Uni Soviet, tapi aspirasinya adalah Non-Blok, sementara Masyumi pada waktu itu tidak mau sama PKI, tidak mau sama Komunis, tidak mau sama Soviet. Ternyata Masyumi pro Amerika. Seadainya Masyumi waktu itu tidak pro Amerika, tidak pro Uni Soviet, tapi mendukung non-Blok, mungkin Bung Karno akan kokoh dan tidak akan terseret untuk salah. Bung Karno sendirian, tidak punya teman, diberontak oleh sayap ektrim seperti Kartosuwiryo, Kahar Muzakar, dan sebagainya. Untuk mengatasi pemberontakan itu,Bung Karno dipaksa menanadatangani surat eksekusi terhadap Kartosuwiryo, yang notabene sahabat karibnya Bung Karno sejak kecil. Bung karno mau tidak mau, gak teggen, Ia sendirian ditinggal Bung Hatta, ditinggal M. Nastir, ditinggal Kasman Singodimejo, dan temannya yang lain.
Selama seminggu lamanya Bung Karno menangis, enggan menandatanganinya, tidak kuat hatinya meski akhirnya mau menandatangai surat eksekusi tadi. Sekarang bayangkan Kalau Kartosuwiryo yang menang, apakah Dia akan menangisi eksekusi Sukarno? Wong Bapaknya sendiri dikafirkan, bahkan kadang dihipnotis untuk di cuci otak. Jadi sebenarnya kita salah sejak itu, dan kesalahan itu tidak Kita sadari benar-benar, kita tidak punya guru bangsa yang menjelaskan semuanya secara jernih, nuwun sewu, Gus Dur sepanjang hidupnya hanya benci pada yang berbau Masyumi, HMI, ICMI, dan kita senang dengan kebencian-kebencian diantara kita, maka kita bikin Maiyah ini untuk menyembuhkan semuanya. “KalauIndonseia tidak bisa ditolong oleh Maiyah, maka Indonesia kecil kita adalah Maiyah ini." Disini kita tidak ada masalah, Non-blok banget toh kita ini, pengajian tidak aturan, tidak ada hiasan, tidak ada slogan, tidak ada kaligrafi, coba cari di belahan dunia manapun ada pengajian seperti ini, "dikonkon nyumbang ae gak ono”, sindir Cak Nun.
“Gerakan Maiyah tidak akan diberi peluang, tidak usah oleh Amerika, Wahabi, Israel atau apapun, gerakan Maiyah tidak akan diberi peluang otomatis oleh mainstream dan atmosfir masyarakat Indonesia. Maka saya tidak cemas meski dulu Jamaah PadhangMbulan Jumlahnya mencapai ribuan, sekarang hanya tinggal sedikit, saya tidak cemas sama sekali, karena inilah yang sejati, inilah yang bener, inilah yang di jalan rasioanal, perkoro Indonesia menerima atau tidak ya silakan, tapi tetep tak tunjukkan jalannya. Kenapa kita bikin negara tiba-tiba copy paste dari Amerika. Termasuk undang-undangnya semua copy paste. Kan mestinya bikin gettuk dari kaspe, bukannya malah diserahkan ke Romo Mangun (Guyonan untuk ikon KFC)”, ujar Cak Nun dengan nada canda.
“Ayok kita khusnudzhon, jaga perdamaian, jaga kemashlahatan, jaga rahmatal lil’alamin, dan itulah Maiyah”, tegas Cak Nun yang dilanjutkan dengan do’a penutup.
[red-pb-adhon]
Sepenggal Jejak Maiyah Untuk Indonesia
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>