SESUNGGUHNYA setiap manusia harus bergerak ke tahap penyikapan dan posisi pasca nasionalisme. Siapapun ia, apapun nama dan profesinya, dari keluarga dan masyarakat jenis apapun serta warga negara macam apapun - akan harus sampai ke wilayah universalitas dari hakekat kemanusiaannya.
Setiap manusia, setiap warganegara, setiap anggota partai atau lembaga sejarah apapun, memerlukan penyempurnaan integritas dengan mentransendesikannya dari segala jenis kotak primordialisme dan provinsialisme. Manusia Indonesia diseyogyakan belajar dan bergerak untuk menjadi makhluk dengan kesadaran pasca-partai, pasca dikhotomi sipil-militer, pasca aliran dan ideologi, pasca etnik dan formalisme agama, dan seterusnya.
Pada mulanya dan pada akhirnya, term nasionalisme lebih bersifat metodis dibanding substansial. Hanya untuk konteks tertentu yang terbatas saja seorang Indonesia mengoranglainkan orang Brunei dan Rusia.
Nasionalisme, suatu lingkar komitmen berdasarkan kebangsaan, pada hakekatnya merupakan semacam tata birokrasi atau bahkan tata administrasi untuk memudahkan sehingga memerlukan pembatasan-pembatasan organisasional dan managerial. Tetapi tidak sampai akhir hayatnya seorang manusia membawa kotaknya: Ia akan kembali ke universalitas hakekatnya sebagai hamba Tuhan, sebagai 'hanya' seorang manusia. Kostumnya, kenangan tentang jabatan dan jasanya, kekayaan dan nama baiknya, hanya kenangan yang ditinggalkan.
Jadi nasionalisme pada pandangan saya tidak lebih dari suatu upaya teknis untuk mengelola nilai-nilai universal pada manusia, masyarakat dan kemanusiaan. Nasionalisme adalah 'perangkat keras' untuk menjalankan program software yang bernama universalitas nilai kemakhlukan manusia. Nasionalisme adalah dataran terendah dari hakiki kemanusiaan.
Dengan demikian, 'kendaraan' nasionalisme akan pada akhirnya menasia ke universalitas. Artinya, ujung pencapaian nasionalisme justru adalah pasca nasionalisme atau universalitas. Tidak saya sebut universalisme, karena universalitas bukanlah keberangkatan awal, melainkan pencapaian akhir. Kalau dalam universalisme, terkandung indikator penyikapan yang bisa menegaskan 'administrasi' nasionalisme. Subastansi nilai-nilai semacam itulah yang saya temukan pada bagaimana Rasulullah Muhammad SAW mengelola masyarakatnya.
Rasulullah menyampaikan ajaran dan melaksanakan nilai-nilai yang membebaskan manusia dari pengkotakan-pengkotakan. Islam adalah egaliterianisme yang dipeliharan oleh sejumlah batas dari Allah. Batas itu bukan pemenjaraan atas manusia, melainkan bentuk kasih sayang. Kalau Allah mempersilahkan makan-minum, Ia juga membatasi -"jangan berlebihan". Batasan tidak berlebihan itu mengandung ilmu kesehatan dan ajaran moral dan menal justru agar manusia memiliki kemungkinan untuk sempurna pada hakekat kemanusiaannya.
Pada mulanya dan pada akhirnya, term nasionalisme lebih bersifat metodis dibanding substansial. Hanya untuk konteks tertentu yang terbatas saja seorang Indonesia mengoranglainkan orang Brunei dan Rusia.
Nasionalisme, suatu lingkar komitmen berdasarkan kebangsaan, pada hakekatnya merupakan semacam tata birokrasi atau bahkan tata administrasi untuk memudahkan sehingga memerlukan pembatasan-pembatasan organisasional dan managerial. Tetapi tidak sampai akhir hayatnya seorang manusia membawa kotaknya: Ia akan kembali ke universalitas hakekatnya sebagai hamba Tuhan, sebagai 'hanya' seorang manusia. Kostumnya, kenangan tentang jabatan dan jasanya, kekayaan dan nama baiknya, hanya kenangan yang ditinggalkan.
Jadi nasionalisme pada pandangan saya tidak lebih dari suatu upaya teknis untuk mengelola nilai-nilai universal pada manusia, masyarakat dan kemanusiaan. Nasionalisme adalah 'perangkat keras' untuk menjalankan program software yang bernama universalitas nilai kemakhlukan manusia. Nasionalisme adalah dataran terendah dari hakiki kemanusiaan.
Dengan demikian, 'kendaraan' nasionalisme akan pada akhirnya menasia ke universalitas. Artinya, ujung pencapaian nasionalisme justru adalah pasca nasionalisme atau universalitas. Tidak saya sebut universalisme, karena universalitas bukanlah keberangkatan awal, melainkan pencapaian akhir. Kalau dalam universalisme, terkandung indikator penyikapan yang bisa menegaskan 'administrasi' nasionalisme. Subastansi nilai-nilai semacam itulah yang saya temukan pada bagaimana Rasulullah Muhammad SAW mengelola masyarakatnya.
Rasulullah menyampaikan ajaran dan melaksanakan nilai-nilai yang membebaskan manusia dari pengkotakan-pengkotakan. Islam adalah egaliterianisme yang dipeliharan oleh sejumlah batas dari Allah. Batas itu bukan pemenjaraan atas manusia, melainkan bentuk kasih sayang. Kalau Allah mempersilahkan makan-minum, Ia juga membatasi -"jangan berlebihan". Batasan tidak berlebihan itu mengandung ilmu kesehatan dan ajaran moral dan menal justru agar manusia memiliki kemungkinan untuk sempurna pada hakekat kemanusiaannya.
Muhammad menyampaikan ajaran untuk, misalnya berdisiplin ihram: dimana manusia pada kadar mendasarnya mentransendensikan dirinya dari segala macam atribut sosial dan 'bertelanjang' sebagai manusia di hadapan Allah, dengan kadar dilapisi sesobek kain putih untuk semacam sopan santun sosial. Sebab Allah tidak menghadapimu dan tidak engkau hadapi hanya ketika engkau bersembahyang. Allah ada bersamamu, di sisimu, di belakang dan di depanmu, kapan saja, ketika engkau mencangkul di sawah, rapat di kantor, berdagang di pasar, dan seterusnya.
Muhammad menyampaikan anjuran Allah agar manusia mengorientasikan parpolnya, ormasnya, kelompoknya, kesatuannya, komunitasnya, grupnya, golongannya dan apapun sajanya ke suatu tujuan universal yang bernama rahmatan lil'alamin --rahmat bagi seluruh alam semesta. Jadi, buka hanya pada saudara-saudara sebangsa, bukan hanya bagi semua manusia di muka bumi, namun juga bagi tanah, air, tetumbuhan, hewan, bumi, langit, udara, dan cakrawala.
- Bahwa Muhammad orang Arab, itu sekedar `administrasi` Allah dalam penciptaan drama kehidupan yang aneh-aneh ini What the hell is Arabian or Madura-ness! Ia didatangkan untuk dijadikan agen rahmatan lil alamin, anugerah bagi seluruh alam.
- Bahwa Muhammad seorang Nabi dan Rasul, itu juga cuma dapukan birokratik, ditugasi membawa amanah keselamatan, dengan juklak tertentu, misalnya “bilhikmati wa- almau`idlati- alhasanah”.
Amat penting memperhatikan Muhammad sebagai manusia. Ia bukan nabi-tiban, nabi karbitan atau nabi mendadak: proses dari maqam Muhammad-manusia menuju Muhammad-Nabi ia tempuh dengan cara yang sama persis seperti manusia siapa saja. Ia berjuang untuk jujur, tekun, bersih, kerja keras, sehingga dijuluki Al-Amin. Ia terlibat sosial, kontemplatif, bertanya, mempertanyakan, mengembangkan wawasan-wawasan tentang persoalan masyarakat di sekitarnya. Sampai usia 40 tahun, wawasannya masih kurang, sehingga Tuhan bilang: “Iqra. Bacalah. Baca apa? Qur`an? Qur`an belum ada, baru beberapa ayat pertama. Jadi bacalah problem disekitarmu. Muhammad pun membaca. Hasilnya bukan ini Arab itu non Arab, melainkan itu jahiliyyah ini Islam, itu kebodohan, ini ilmu. Itu penindasan, itu perlawanan untuk keadilan. Itu patronage, ini tauhid. Itu superioritas- inferioritas, ini kesamaan manusia di hadapan Allah. Ini monopoli, ini distribusi. Itu kekuasaan atas manusia, ini pengabdian manusia kepada Allah langsung dan lewat sesama. Itu eksistensialisme (ha-ana-dza!) Jahal-Lahab, ini tawadlu’. Itu hidup untuk makan, ini makan untuk hidup. Itu akumulasi dan kerakusan, ini “yang kupunya tinggal Allah”. Itu dominasi, ini sumeleh, Islam.Semua pengetahuan tentang nilai alternatif itu tidak datang ‘gratisan’ dari Tuhan, melainkan ‘dibeli’ olehnya dengan laku yang panjang dan sakit. Muhammad frustasi bertahun-tahun sendirian di tengah jaman edan yang bisa menikamkan pedang kapan saja ke perutnya. Ia sendirian merenung di Gua Hira, karena belum ada sarasehan NGO. Muhammad bersujud beratus kali lebih lama dari manusia lain, berpuasa lebih lapar, belajar tanpa buku, otodidak teladan. Itu semua tidak untuk cita-cita ke Araban, melainkan kemanusiaan dalam keIlahian. Tidak untuk obsesi “Arab Uber alles”, melainkan internasionalisme dan universalisme.
Sesudah menggarap kepribadian seperti demikian, Islam yang pertama-tama merupakan anjuran tentang kepribadian manusia, baru Muhammad pergi bergerilya. Qur’an memuat pokok-pokok ajaran syiar, Muhammad mengkreatifinya dengan menggali dan mengembangkan metode-metode perubahan sosial, perubahan masyarakat, perubahan sejarah. Diterapkannya metode sirri¸ jahri, usaha-usaha konsistensi yang nonstop di tengah pedang-pedang mengancam, organisasi dan koperasi, mengenali persis setiap entry-point sosio-kultural, menerapkan konsep hijrah, serta segala sesuatu yang menurut Simon Hate begitu relevan dan kontekstualnya untuk dikerjakan oleh kaum marginal di Dunia Ketiga dewasa ini.
Dan sesudah ia berhasil total merombak sejarah lingkungannya dalam waktu yang teramat singkat, apalagi menurut takaran periode sejarah ketika itu yang tanpa komputer dan tanpa grand dan foundation manapun, Muhammad tidak ‘menguasai’ apa yang dihasilkannya. Muhammad tidak bertengger di singgasana Bapak Pembangunan Arab, tidak memonopoli perdagangan ke Syam, tidak punya perusahaan, dan tidak merancang sebutir pasir pun buat makamnya. Muhammad tetap melanjutkan perjuangan untuk menjadi pribadi yang kuat dalam keimanan, kuat terhadap lapar dan haus, kuat memberikan apapun kepada keluarganya, kuat dalam berpakaian dan berharta pas-pasan, kuat dalam mempertahankan sifat mulia, jujur bersahaja dan terpercaya.Ia seorang rakyat yang bersedia cancut dan terluka, kehidupan materiilnya sama sekali tak berbeda dengan tetangga-tetanggany a yangmiskin, seorang pekerjakeras dan pekerja kasar, sekaligus pemikir dan perenung, seorang yang tenggelam bersama orang banyak, sekaligus seorang sufi yang frekwensi ibadatnya tak alang kepalang. Hari itu, karena tak ada kurma atau roti sekeratpun, maka ia mengajak Aisyah berpuasa. Muhammad lantas bersembahyang, berdzikir, beristighfar seharian. Namun menjelang sore ia kecapaian, dan tertidut di bawah pohon kurma, di atas sesobek daun yang membuat pipinya tergores-gores. Ibnu Mas’ud melintas dan terbengong. “Ini orang menguasai seluruh jazirah Arab, tapi hidupnya seperti ini.”
Ibnu Mas’ud bermaksud mengambilkan bantal, dan Muhammad menjawab, “Apa yang bisa diperbuat oleh bantal? Aku ini musafir di tengah padang pasir yang panas. Aku menjumpai sebuah pohon rindang, dan karena aku letih, aku berteduh dan istirahat. Nanti kulanjutkan perjalanan untuk menemui Tuhanku”.
Jika segala nilai hidup, segala konsep dan isme, digali dan dikelola oleh manusia (:kualitas kepribadiannya), maka komitmen kebangsaan Muhammad bukan saja tidak dibatasi oleh ras dan geografi, bukan saja meluas ke pembelaan atas kaum tertindas sebagai sebuah ‘bangsa’ tersendiri, namun bahkan juga bersih dari kehendak kekuasaan dan nafsu ekonomi yang berlebihan. Muhammad tidak mendirikan Negara Arab atau Negara Islam yang memaksa setiap warganya untuk beragama Islam, melainkan menyebarkan berita keselamatan, memperjuangkan keselamatan kemanusiaan, dengan tetap memelihara hak setiap manusia dalam “laa ikraha fiddin”. Muhammad tidak membebaskan budak-budak untuk menjadi juragan baru, apalagi atas kesatuan Negeri Arab, atas nama pembangunan post-Jahiliyyah yang dilaksanakan dengan korupsi nilai dan harta-harta alam.
Dengan mengemukakan faktor-faktor yang menyangkut kepribadian Muhammad, saya sebenarnya ingin boleh berpendapat bahwa yang perlu kita lakukan bukan sekedar usaha reproporsionalisasi pengertian dan penerapan nasionalisme. Lebih dari itu, kita amat butuh mempersoalkan ‘rongga dada’ kemanusiaan dari mana dan ke mana nasionalisme dikelola.
Berdasar paparan di atas bisa kita sebut bahwa, di Indonesia, hikmah nasionalisme (:Muhammad) yang semacam itu seolah-oleh ditolak oleh Ummat Islam sendiri. Baik oleh bagian Kaum Muslimin yang menjadi penyelenggara dan pendukung nasionalisme negara (yang sudah distorted) Indonesia, maupun oleh bagian lain dari Kaum Muslimin yang terjebak oleh eksklusivisme, puritanisme, dan formalisme kebangsaan. Sudah pasti hal itu disebabkan oleh, misalnya, berbagai ketidaksetiaan Ummat Islam atas Islam sendiri secara makro; oleh hasil pergumulan Jawa dengan Islam dalam peta sejarah politik dan kebudayaan Indonesia, dan seterusnya. Tetapi ada sebab khusus yang barangkali dapat lebih kita lacak.
Ialah bahwa sesudah Wali Sanga, Kaum Muslimin Indonesia hampir tidak pernah lagi memiliki tokoh-tokoh yang memiliki kualitas dan kepribadian yang katakanlah- mampu merangkum dua dimensi keulamaan sekaligus: Keulamaan Fiqih dan Keulamaan Tasawwuf. Para Wali di jaman awal pertumbuhan Islam di nusantara itu memiliki dua kecenderungan itu sekaligus sehingga membawa mereka untuk tidak sekedar menjadi pemimpin penerapan sistem budaya Islam (:Syariat, Thariqat), namun juga menampilkan sosok mereka sebagai negarawan, pemimpin dan rohaniawan dengan sepak terjang lebih universal dan mendalam.
Tokoh-tokoh Islam sesudah itu ibarat “burung dengan satu sayap”: para Ulama Fiqih membawa Ummatnya menjumudkan kehidupannya dengan hanya berkutat pada tradisionalisasi syariat sebatas ‘tulang tubuhnya’, tanpa terobosan thariqot-sosial yang terus menerus diaktualisir, dan kemudian dalam prosesnya bangunan syariat kebudayaan hidup Islam itu dicairkan, digusur dan dilunturkan oleh syariat-negara, baik di jaman ’Mataram Tradisional’ maupun di jaman ‘Mataram modern’ dewasa ini. Sementara itu para Ulama Tasawwuf betul-betul menjadi ulama zawiyyah (terpojok, tertepikan, marginal) yang berkembang eksklusif dan eskapistik karena kegagalannya memelihira kontak dengan tali-tali kepemimpinan rohaniahnya atas mekanisme masyarakat, bangsa dan negara.Maka kemudian terjadilah “Al Islamu mahjubun bil-Muslimin”. Islam ditutupi, dihalangi, ditolak, oleh Kaum Muslimin sendiri. Islam menjadi benda asing bagi pemeluk-pemeluknya sendiri. Muhammad pernah mengemukakan, “Islam itu dimulai dari keasingan, d itengah perjalanannya ia akan temui lagi keasingan demi keasingan. Namun beruntunglah siapa saja yang menjumpai dirinya sebagai pengembara yang terasing oleh lingkungannya. Karena dengan demikian, ia berada di suatu jarak yang mampu menilai kerusakan lingkungannya itu dan mengishlahnya” .
Siapa atau apakah ‘Islam yang asing’ itu hari ini?
Amat luas jawabannya. Namun saat sini saya ingat tentang kemungkinan remodifikasi fungsi para Wali Sanga. Baiklah mungkin tak bisa kita ‘lahirkan’ person-person sekualitas Wali Sanga: maka barangkali masih mungkin diusahakan rintisan fungsi-fungsinya secara impersonal, secara organisasional. Wali Sanga itu, secara kultural, mungkin lebih ‘dekat’ dengan kita dibanding Muhammad yang jelas-jelas orang Arab, dan yang terkadang secara aneh-subyektif kita curigai itu. []
Diambil dari :
Nasionalisme Muhammad
Emha AInun Nadjib, Sippress, Jogja, 1995
Nasionalisme Muhammad
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>