Oleh : Halim HD. *)
FENOMENA Emha, seperti juga kita menyaksikan fenomena Romo Mangunwijaya, Raden Haji Rhoma Irama, Arief Budiman, Iwan Fals, Ariel Heryanto, Nurcholis Madjid, Suprapto Suryodarmo, Gusmiyati Suid, Boedi S. Otong, Sardono W. Kusuma, Afrizal Malna, pimpinan Jamaah Nahdliyin KH. Abdurrahman Wahid, I Wayan Sadra, Djoko Pekik, Citrowaluyo, Sastro Gambar, Rahayu Supanggah, Pramoedya Ananta Toer, Dede Eri Supria, Goenawan Muhammad, Soedjatmoko, Sutan Takdir Alisyahbana, K(anjeng) H(aji) Umar Kayam dan sederet lainnya dari mereka yang terlibat dalam kesenian dan kebudayaan di Indonesia.
Pak Slamet, Mang Miran, Bi Saki
Fenomena Emha juga mengingatkan saya kepada Pak Slamet, pegawai rendah, tukang bersih-bersih Fakultas Filsafat UGM pada tahun 1970-an. Ia senantiasa sumarah dan begitu trakzim kepada tugasnya. Ia selalu menolak 2-3 bungkus rokok pemberian mahasiswa-panitia, atau sekadar uang saku atas jasanya itu, dan hanya mengambil sebatang rokok yang dibutuhkannya pada waktu itu juga. Pak Slamet datang paling awal, ketika para staff lainnya masih sarapan di rumah atau warung, dan pulang paling lambat, setelah seluruh bagian pojok ruangan kuliah dan kantor bersih.
Emha juga mengingatkan saya kepada Mang Miran, tetangga saya di kampung, di Banten. Tetangga saya yang penghulu ini senang sekali bercengkerama tentang dunia-akhirat, sambil mengelus-elus ayam jago kesayangannya. Dia adalah salah seorang guru adik saya dalam dunia sabung ayam. Dan kalau mengaji atau membacakan doa di rumah kami waktu slametan Ruwahan atau Mauludan, suaranya merdu. Banyak keahliannya, bukan Cuma mengaji, tapi juga bisa mengobati, dan banyak anak muda yang berguru kepadanya, mencari keslametan dan juga bekal untuk menghadapi “musuh”.
Bi Saki, pembantu keluarga kami yang hampir 40-an tahun menjadi bagian paling dalam dari kehidupan kami, senang sekali sembahyang tahajud, dan suaranya lirih waktu mengaji, membuat rumah dan keluarga kami yang non muslim, dalam keadaan tenteram. Dari gadis sampai punya cicit, baru dia minta “pensiun” lantaran rindu kepada tanah garapan yang Cuma sepetak, dan juga ingin momong cicitnya. Tubuhnya yang sedikit melengkung dimakan umur, nampak kokoh kalau berjalan. Kerutan dibibirnya serta sorot matanya yang tajam, menandakan kekerasan hati. Bi Saki yang lancar berbahasa Melayu di samping bahasa Jawa dan Sunda Banten, serta tutur sapanya yang ramah, membuat orang segan. Tapi juga dia menegur siapa saja, tak terkecuali anak dan sanak famili “majikannya”, jika ada sesuatu yang nggak beres.
Bu Darmini, penjual nasi di warung depan keraton Surakarta Hadiningrat, yang menempel di antara tembok-tembok menjulang masa lampau, dikenal sangat ramah, senang ngobrol. Kemampuannya menghidupi keluarga tiada tara, di samping menampung utangan para seniman yang menunggu gajian atau honor pertunjukkan. Bukan berpuluh, tapi beratus seniman, dose, wartawan pernah merasakan jasanya. Dia tulang punggung, salah satunya dengan warung sederhana menunjang kegiatan kesenian di sekitar pendapa Sasanamulya, infrastruktur yang tak pernah tercatat dalam gejolak kebudayaan maupun kesenian.
Orang-orang yang pernah nongkrong di sekitar pendapa Sasanamulya pada akhir tahun 70-an sampai pertangahan 80-an akanmengenang Pak Karjo “Bengok”. Sosoknya yang kering, tangkas, tak segan mengulurkan tangannya untuk membantu orang lain. Hidupnya dari isah-isah, mencuci piring-gelas di sekitar lingkungan keraton. Banyak orang yang menganggap Pak Karjo Bengok sebagai orang “gila” lantaran suka bicara, yang dianggap, terlalu banyak. Dibilang bengok lantaran dia suka berteriak, maki-maki, tak peduli kepada siapa pun, jika di dadanya ada yang menyesakkan dirinya. Dia pengagum Bung Karno. Menurut Pak Karjo, Bung Karno itu tukang bongkar segala sesuatu yang mapan. Salah satu di antaranya yang saya senangi dari dirinya, kalau Pak Karjo punya uang, dia selalu pergi ke pasar dan membeli buah-buahan. Dibagikannya kepada anak-anak, juga ditawarkannya kepada orang yang ada di warung. Sering juga Pak Karjo datang ke pendapa Sasanamulya dengan oleh-olehnya itu untuk seorang-dua cantrik almarhum Gendon Humardani, yang memang enak dipandang. Pak karjo “Bengok” orang yang titis dalam melihat “keindahan”.
Melebar, Mencair
Fenomena Emha juga bisa kita lihat dari perspektif lain, di samping lewat kenalan saya itu. Ketika kondisi sosial politik dan birokrasi menjadi begitu angkuh dalam menghadapi manusia, kita akan terkenang kepada puisi-puisi Emha, seperti juga kita mengingat karya-karya Rendra atau Taufiq Ismail. Kebrengsekan mekanisme sosial politik yang menelikung diri kita setiap hari, atau lalu lintas jalanan yang bisa juga jadi cerminan kondisi kebudayaan-politik kita, maka kita sering berpaling kepada sesuatu yang lain, yang bisa membuat kita mengingat tentang makna kehidupan: puisi atau juga teater,atau juga musik, atau jenis kesenian lainnya. Di antaranya, sosok Emha mengisi kepada kita tentang harapan kepada yang bukan cuma untuk “bla-bla-bla” tapi juga refleksi dan aksi, praxis.
Fenomena Emha adalah fenomena kebudayaan. Kita bisa melihat dari catatan kita di media massa, ketika pada tahun 80-an partai politik Islam mengalami buldoserisasi oleh kekuatan politik-birokrasi penguasa, dan partai diarahkan kepada watak teknoratis, dan dicoba dipisahkan dari akar di lingkungan pendidikan Islam yang namanya pesantren dan Kiai, sosok Emha muncul bukan cuma sebagai penyair, bukan juga sekedar penulis lakon dan prajurit idea bersama kelompok Teater Dinasti. Tapi, lebih dari itu, segala macam masalah kebudayaan digarapnya sampai dengan lingkungan NGO (Non Governmental Organization) di pedesaan. Tulisan atau esai-esainya di berbagai media massa membanjiri pmbaca. “Image” tentang dirinya semakin melebar dan mencair memasuki segala arah. Bukan cuma lingkungan kampus, pesantren, tapi juga dari lingkungan non muslim mengundangnya, memintanya berbicara sebagai saksi dari peristiwa di nusantara ini. Ibu-ibu pengajian, kalangan Dharma Wanita, anak-anak sekolah menengah memintanya untuk memberikan kesaksian. Sementar itu di level yang lebih tinggi, sosoknya semakin kukuh oleh kehadirannya di berbagai kegiatan seminar dan kajian. Dan visi-visinya tentang kebudayaan serta keadaan jaman sekarang, membuatnya terlibat untuk ikut mendongkrak partai Islam yang mengalami kemerosotan. Pada tahun-tahun itu, berkibarnya Emha seiring sejalan dengan kemunculan Nurcholis Madjid dan Gus Dur, dengan caranya masing-masing memberikan kontribusi pemikiran kepada masyarakat.
Banyak kenalan saya, lama maupun baru, ketika ngobrol tentang sobat kita, Emha, bertanya tentang hal-hal pribadi sampai soal visi dalam kebudayaan maupun kesenian. Pada masalah pribadi, saya bilang, letakkanlah sobat kita itu pada sosok manusianya, dengan segala kemungkinan yang bisa terjadi, sebagaimana pada diri orang lain. Saya kira, meletakkan diri Emha pada posisi “pen-dewa-an” merupakan langkah yang keliru, yang bisa membuat penganggap atau pemujanya menjadi mudah kecewa dan frustasi. Hal yang paling penting, saya merasa yakin, sangat mungkin kalau sohib kita yang komplit sebutannya; dari penyair, penulis lakon, budayawan, kiai, eseis, kolumnis, komentator sepak bola, seniman dan lainnya, merasa tak pernah menjadi dewa dan senantiasa menolak kedudukan pada posisi itu. Keyakinannya mengharuskan dirinya secara konsekuen, dan konsistensi yang harus diambil adalah berupa penistaan kepada usaha “pen-dewa-an” kepada dirinya maupun orang lain.[]
FENOMENA Emha, seperti juga kita menyaksikan fenomena Romo Mangunwijaya, Raden Haji Rhoma Irama, Arief Budiman, Iwan Fals, Ariel Heryanto, Nurcholis Madjid, Suprapto Suryodarmo, Gusmiyati Suid, Boedi S. Otong, Sardono W. Kusuma, Afrizal Malna, pimpinan Jamaah Nahdliyin KH. Abdurrahman Wahid, I Wayan Sadra, Djoko Pekik, Citrowaluyo, Sastro Gambar, Rahayu Supanggah, Pramoedya Ananta Toer, Dede Eri Supria, Goenawan Muhammad, Soedjatmoko, Sutan Takdir Alisyahbana, K(anjeng) H(aji) Umar Kayam dan sederet lainnya dari mereka yang terlibat dalam kesenian dan kebudayaan di Indonesia.
Pak Slamet, Mang Miran, Bi Saki
Fenomena Emha juga mengingatkan saya kepada Pak Slamet, pegawai rendah, tukang bersih-bersih Fakultas Filsafat UGM pada tahun 1970-an. Ia senantiasa sumarah dan begitu trakzim kepada tugasnya. Ia selalu menolak 2-3 bungkus rokok pemberian mahasiswa-panitia, atau sekadar uang saku atas jasanya itu, dan hanya mengambil sebatang rokok yang dibutuhkannya pada waktu itu juga. Pak Slamet datang paling awal, ketika para staff lainnya masih sarapan di rumah atau warung, dan pulang paling lambat, setelah seluruh bagian pojok ruangan kuliah dan kantor bersih.
Emha juga mengingatkan saya kepada Mang Miran, tetangga saya di kampung, di Banten. Tetangga saya yang penghulu ini senang sekali bercengkerama tentang dunia-akhirat, sambil mengelus-elus ayam jago kesayangannya. Dia adalah salah seorang guru adik saya dalam dunia sabung ayam. Dan kalau mengaji atau membacakan doa di rumah kami waktu slametan Ruwahan atau Mauludan, suaranya merdu. Banyak keahliannya, bukan Cuma mengaji, tapi juga bisa mengobati, dan banyak anak muda yang berguru kepadanya, mencari keslametan dan juga bekal untuk menghadapi “musuh”.
Bi Saki, pembantu keluarga kami yang hampir 40-an tahun menjadi bagian paling dalam dari kehidupan kami, senang sekali sembahyang tahajud, dan suaranya lirih waktu mengaji, membuat rumah dan keluarga kami yang non muslim, dalam keadaan tenteram. Dari gadis sampai punya cicit, baru dia minta “pensiun” lantaran rindu kepada tanah garapan yang Cuma sepetak, dan juga ingin momong cicitnya. Tubuhnya yang sedikit melengkung dimakan umur, nampak kokoh kalau berjalan. Kerutan dibibirnya serta sorot matanya yang tajam, menandakan kekerasan hati. Bi Saki yang lancar berbahasa Melayu di samping bahasa Jawa dan Sunda Banten, serta tutur sapanya yang ramah, membuat orang segan. Tapi juga dia menegur siapa saja, tak terkecuali anak dan sanak famili “majikannya”, jika ada sesuatu yang nggak beres.
Bu Darmini, penjual nasi di warung depan keraton Surakarta Hadiningrat, yang menempel di antara tembok-tembok menjulang masa lampau, dikenal sangat ramah, senang ngobrol. Kemampuannya menghidupi keluarga tiada tara, di samping menampung utangan para seniman yang menunggu gajian atau honor pertunjukkan. Bukan berpuluh, tapi beratus seniman, dose, wartawan pernah merasakan jasanya. Dia tulang punggung, salah satunya dengan warung sederhana menunjang kegiatan kesenian di sekitar pendapa Sasanamulya, infrastruktur yang tak pernah tercatat dalam gejolak kebudayaan maupun kesenian.
Orang-orang yang pernah nongkrong di sekitar pendapa Sasanamulya pada akhir tahun 70-an sampai pertangahan 80-an akanmengenang Pak Karjo “Bengok”. Sosoknya yang kering, tangkas, tak segan mengulurkan tangannya untuk membantu orang lain. Hidupnya dari isah-isah, mencuci piring-gelas di sekitar lingkungan keraton. Banyak orang yang menganggap Pak Karjo Bengok sebagai orang “gila” lantaran suka bicara, yang dianggap, terlalu banyak. Dibilang bengok lantaran dia suka berteriak, maki-maki, tak peduli kepada siapa pun, jika di dadanya ada yang menyesakkan dirinya. Dia pengagum Bung Karno. Menurut Pak Karjo, Bung Karno itu tukang bongkar segala sesuatu yang mapan. Salah satu di antaranya yang saya senangi dari dirinya, kalau Pak Karjo punya uang, dia selalu pergi ke pasar dan membeli buah-buahan. Dibagikannya kepada anak-anak, juga ditawarkannya kepada orang yang ada di warung. Sering juga Pak Karjo datang ke pendapa Sasanamulya dengan oleh-olehnya itu untuk seorang-dua cantrik almarhum Gendon Humardani, yang memang enak dipandang. Pak karjo “Bengok” orang yang titis dalam melihat “keindahan”.
Melebar, Mencair
Fenomena Emha juga bisa kita lihat dari perspektif lain, di samping lewat kenalan saya itu. Ketika kondisi sosial politik dan birokrasi menjadi begitu angkuh dalam menghadapi manusia, kita akan terkenang kepada puisi-puisi Emha, seperti juga kita mengingat karya-karya Rendra atau Taufiq Ismail. Kebrengsekan mekanisme sosial politik yang menelikung diri kita setiap hari, atau lalu lintas jalanan yang bisa juga jadi cerminan kondisi kebudayaan-politik kita, maka kita sering berpaling kepada sesuatu yang lain, yang bisa membuat kita mengingat tentang makna kehidupan: puisi atau juga teater,atau juga musik, atau jenis kesenian lainnya. Di antaranya, sosok Emha mengisi kepada kita tentang harapan kepada yang bukan cuma untuk “bla-bla-bla” tapi juga refleksi dan aksi, praxis.
Fenomena Emha adalah fenomena kebudayaan. Kita bisa melihat dari catatan kita di media massa, ketika pada tahun 80-an partai politik Islam mengalami buldoserisasi oleh kekuatan politik-birokrasi penguasa, dan partai diarahkan kepada watak teknoratis, dan dicoba dipisahkan dari akar di lingkungan pendidikan Islam yang namanya pesantren dan Kiai, sosok Emha muncul bukan cuma sebagai penyair, bukan juga sekedar penulis lakon dan prajurit idea bersama kelompok Teater Dinasti. Tapi, lebih dari itu, segala macam masalah kebudayaan digarapnya sampai dengan lingkungan NGO (Non Governmental Organization) di pedesaan. Tulisan atau esai-esainya di berbagai media massa membanjiri pmbaca. “Image” tentang dirinya semakin melebar dan mencair memasuki segala arah. Bukan cuma lingkungan kampus, pesantren, tapi juga dari lingkungan non muslim mengundangnya, memintanya berbicara sebagai saksi dari peristiwa di nusantara ini. Ibu-ibu pengajian, kalangan Dharma Wanita, anak-anak sekolah menengah memintanya untuk memberikan kesaksian. Sementar itu di level yang lebih tinggi, sosoknya semakin kukuh oleh kehadirannya di berbagai kegiatan seminar dan kajian. Dan visi-visinya tentang kebudayaan serta keadaan jaman sekarang, membuatnya terlibat untuk ikut mendongkrak partai Islam yang mengalami kemerosotan. Pada tahun-tahun itu, berkibarnya Emha seiring sejalan dengan kemunculan Nurcholis Madjid dan Gus Dur, dengan caranya masing-masing memberikan kontribusi pemikiran kepada masyarakat.
Banyak kenalan saya, lama maupun baru, ketika ngobrol tentang sobat kita, Emha, bertanya tentang hal-hal pribadi sampai soal visi dalam kebudayaan maupun kesenian. Pada masalah pribadi, saya bilang, letakkanlah sobat kita itu pada sosok manusianya, dengan segala kemungkinan yang bisa terjadi, sebagaimana pada diri orang lain. Saya kira, meletakkan diri Emha pada posisi “pen-dewa-an” merupakan langkah yang keliru, yang bisa membuat penganggap atau pemujanya menjadi mudah kecewa dan frustasi. Hal yang paling penting, saya merasa yakin, sangat mungkin kalau sohib kita yang komplit sebutannya; dari penyair, penulis lakon, budayawan, kiai, eseis, kolumnis, komentator sepak bola, seniman dan lainnya, merasa tak pernah menjadi dewa dan senantiasa menolak kedudukan pada posisi itu. Keyakinannya mengharuskan dirinya secara konsekuen, dan konsistensi yang harus diambil adalah berupa penistaan kepada usaha “pen-dewa-an” kepada dirinya maupun orang lain.[]
(Pengantar dalam Terus Mencoba Budaya Tanding, oleh Halim HD, seorang networker pada jaringan kerja untuk kebudayaan)
FENOMENA EMHA (I)
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>