Judul Buku: Folklore Madura;
Penulis: Emha Ainun Nadjib;
Penerbit: Progress, Yogyakarta;
Cetakan: Pertama, Agustus 2005;
Tebal: xii+151 halaman.
SUNGGUH pas rasanya bila judul buku Cak Nun ini menggunakan istilah Folklore. Pasalnya, seperti kata Oxford Dictionary, folklore mengandung arti keyakinan atau kisah-kisah lama (tradisional) mengenai rakyat, sekaligus juga bisa dimengerti sebagai studi atas kisah atau keyakinan rakyat itu sendiri. Rakyat di sini bisa suku, masyarakat, atau penduduk suatu wilayah dengan ragam budayanya sendiri. Membaca buku setebal 151 halaman yang terpilah ke dalam kurang lebih 27 judul cerita ini memang lebih terasa sebagai sebuah tamasya kultural melalui tokoh-tokoh yang ditampilkan Cak Nun. Di tangan Cak Nun, cerita-cerita parodis, satiris, dan is-is lainnya, dihadirkan dengan penuh tafsir dan makna. Ideas atau ide-ide di balik cerita itu bisa dicerap dengan mudah dan tak bertele-tele. Dengan begitu, buku ini tak sebatas kompilasi cerita yang memaksa kita tersenyum pahit atau, sebaliknya, tertawa terkekeh-kekeh.
Simak saja misalnya Saridin, salah satu tokoh utama buku ini. Kisah-kisah Saridin justru menyodorkan nilai-nilai religius yang amat dalam. Saridin, si santri Sunan Kudus, yang tak bisa membaca syahadat, tetapi hanya bisa bersyahadat dengan cara menjatuhkan diri dari ujung tertinggi pohon kelapa dan sesudah tiba di bumi tak cuil sedikit pun anggota badannya, adalah pelajaran penting tentang bagaimana seyogyanya kita menghayati religiusitas atau hubungan dengan Tuhan. Uniknya, kisah-kisah Saridin ini malahan menempati hampir separuh halaman buku ini (66 halaman), di bagian awal lagi!. Seolah urutan buku ini hendak berujar kepada kita, “Sebelum Anda tersenyum dan tertawa, simak dulu kedalaman dan filosofi Saridin ini, supaya senyum atau tawa Anda tidak salah posisi! (Wallahu wa Saridin ya’lam). Baru setelah kisah Saridin usai, mulailah buku ini mengajak masuk ke dunia Gus Dur, Mohammad Sobary, Pak Profesor, dan Amang Rahman, serta puncaknya folklore Madura.
Dalam episode-episode Saridin, kita bisa menemukan kalimat-kalimat atau kata-kata kunci yang menggambarkan wawasan spiritual yang dikuakkan oleh Cak Nun di balik cerita Saridin. Misalnya dialog Saridin dengan Sang Sunan. Kata Saridin dalam menanggapi Sang Sunan yang mencemaskan orang-orang bakal memanggil Saridin dengan panggilan bunglon, “Kalau syarat untuk terhindar dari mati atau kelaparan bagi mereka adalah dengan menyebutku bunglon, aku mengikhlaskannya. Bahkan kalau Allah memang memerintahkanku agar menjadi bunglon, aku rela. Sebab diriku bukanlah bunglon, diriku adalah kepatuhanku kepada-Nya.” Atau dialog lainnya tatkala saridin kehilangan istri dan anaknya, “…Kamu melihatku persis seperti Tuhan memandangku: aku adalah orang bumi, khalifatullah fil ardl”, berkata sang Sunan, Maka sekarang kenapa kau yakin bahwa anakmu itu adalah anakmu? Bukankah ia sekadar seseorang yang dilewatkan kamu, sebagaimana orang lain dilahirkan lewat bapak dan ibunya? Maka bukankah di mata Tuhan semua anak adalah sama saja?
Jadi sekarang berbaiklah dan bersantunlah kepada anak siapapun yang kau jumpai. Maka anak yang kau anggap anakmu itu pun akan memperoleh perlakuan yang sama dari orang yang mengasuhnya. Jadi kenapa kau menangis, tolol?”. Penggalan dialog di atas dengan tegas memperlihatkan bagaimana sang penulis menafsirkan folklore Saridin. Sebuah tafsir sufistik atas Saridin. Sosok yang bisa dibilang the other di tengah kecenderungan keberagamaan publik yang kurang memasuki dimensi kedalaman agama itu sendiri. Saridin adalah sosok yang mengejawantahkan kausalitas ilahiah yang tak banyak dipahami dan diamalkan orang. Jadi, saridin adalah sebuah interupsi yang harus kita dengar dan perhatikan.
***
Adapun folklore Madura, seperti kita tahu, lebih mencerminkan sikap budaya, resistensi politik, gaya hidup, pola dan muatan komunikasi khas orang Madura yang lugas, simpel, mengena, dan bersahaja. Di bagian ini, sebanyak 13 judul tulisan, banyak kita jumpai humor-humor atau anekdot ala Madura. Yang paling populer, misalnya, pesan seorang Madura pada anaknya yang menuntut ilmu atau merantau: “kalau cari suami, Nak, hati-hati. Carilah yang Islam, minimum Muhammadiyah…”. (hal. 114). Boleh jadi ini ungkapan yang bisa “menyakitkan”, tetapi bagi Cak Nun justru tidak demikian. Itu sebuah kemajuan, katanya. Sebab, bila kita memahami kultur beragama orang Madura, segera kita ketahui bahwa lingkungan NU yang kuat telah menginternalkan kesadaran bahwa Islam itu identik dengan NU, begitu pula sebaliknya. Tetapi, bukankah gejala yang sama juga acap kali kita alami tanpa sadar (atau dengan sadar!)?. Kita mengekslusikan kelompok lain karena memiliki ketidaksamaan dengan apa yang kita punya. Lantaran sedikit berbeda keyakinan atau pemahaman, sebuah kelompok kita singkirkan dari suatu identitas besar yang misalnya bernama Islam. Dan, kita tahu hari-hari ini, persoalan semacam ini menyeruak dengan hangat. MUI mengeluarkan fatwa tentang sesatnya Ahmadiyah. MUI menuntut agar Ahmadiyah tidak dianggap dan tidak menganggap dirinya sebagai bagian dari Islam. Ahmadiyah boleh ada, asal tidak menyebut dirinya Islam. Maka, seperti ulas Cak Nun, anekdot tentang orang Madura ini yang “meminimunkan” Muhammadiyah justru memperlihatkan gejala sebaliknya: kemajuan dan keberanian untuk menerima (tidak sama dengan membenarkan keyakinan) kehadiran kelompok lain.
Masih ada bejibun anekdot lain yang disuguhkan Cak Nun di dalam buku ini menyangkut detail-detail komunikasi orang Madura tatkala menyampaikan gagasan. Sebuah pola komunikasi yang menunjukkan ulet dan kuatnya psikologi orang Madura (setidaknya yang ditampilkan di sini) dalam menghadapi dan menyiasati hidup. Ada dimensi keseriusan (Play=Mainan Boy=Anak-anak) , ada dimensi humoris (Buang Sial ke Singapura), ada dimensi ilmu meringankan hidup (Gitu Saja Kok Ribut), ada dimensi resistensi budaya politik (RT Spontanitas RW Alamiah), bahkan ada ilmu seksologi anti kemapanan (Doh-Adoh,…Anak Ini!).
Walhasil, (cerita ini tidak termaktub di buku ini) suatu ketika sekelompok pemuda yang tergabung dalam suatu laskar muda NU sedang dilatih baris-berbaris oleh petugas dari Koramil. Setiap instruksi dari Koramil—mulai siap grak! Hormat grak!, istirahat di tempat grak!, sampai setengah lencang kanan grak!—diikuti dan dipatuhi dengan baik oleh laskar pemuda ini. Hanya ada satu yang tidak dipatuhi. Yaitu, ketika acara latihan akan usai. Setelah memberi aba-aba siap grak!, istirahat di tempat grak!, dan akhirnya petugas Koramil mengeluarkan aba-aba, “bubar barisan, grak!,” namun, ternyata laskar pemuda itu tetap pada posisinya, tak satu pun yang coba membubarkan diri. Sang petugas bingung. Ada apa ini kok tidak bubar. Belum sempat terpahami olehnya, salah seorang di antara pemuda itu berteriak lantang, “allahumma shalli ala muhammad!!!”. Kemudian, satu persatu bubarlah barisan. Rupanya pemuda yang meneriakkan sahalawat itu biasa mengikuti acara tahlilan atau kondangan/kenduren yang sudah menjadi tradisinya bahwa untuk mengakhiri acara itu dengan mengumandangkan shalawat. Jadi, dia paham bagaimana membubarkan suatu majelis. Jadi, jelas pula bahwa Pak Koramil yang jarang ikut pengajian, tahlilan, kenderun, dan lain seterusnya. Apakah ini terjadi di Madura dan apakah pemuda tadi itu Saridin? Wallahu a’lam bishhawab. Selamat membaca![]
Yogyakarta, 17 Agustus 2005
Helmi Mustofa
Penulis: Emha Ainun Nadjib;
Penerbit: Progress, Yogyakarta;
Cetakan: Pertama, Agustus 2005;
Tebal: xii+151 halaman.
SUNGGUH pas rasanya bila judul buku Cak Nun ini menggunakan istilah Folklore. Pasalnya, seperti kata Oxford Dictionary, folklore mengandung arti keyakinan atau kisah-kisah lama (tradisional) mengenai rakyat, sekaligus juga bisa dimengerti sebagai studi atas kisah atau keyakinan rakyat itu sendiri. Rakyat di sini bisa suku, masyarakat, atau penduduk suatu wilayah dengan ragam budayanya sendiri. Membaca buku setebal 151 halaman yang terpilah ke dalam kurang lebih 27 judul cerita ini memang lebih terasa sebagai sebuah tamasya kultural melalui tokoh-tokoh yang ditampilkan Cak Nun. Di tangan Cak Nun, cerita-cerita parodis, satiris, dan is-is lainnya, dihadirkan dengan penuh tafsir dan makna. Ideas atau ide-ide di balik cerita itu bisa dicerap dengan mudah dan tak bertele-tele. Dengan begitu, buku ini tak sebatas kompilasi cerita yang memaksa kita tersenyum pahit atau, sebaliknya, tertawa terkekeh-kekeh.
Simak saja misalnya Saridin, salah satu tokoh utama buku ini. Kisah-kisah Saridin justru menyodorkan nilai-nilai religius yang amat dalam. Saridin, si santri Sunan Kudus, yang tak bisa membaca syahadat, tetapi hanya bisa bersyahadat dengan cara menjatuhkan diri dari ujung tertinggi pohon kelapa dan sesudah tiba di bumi tak cuil sedikit pun anggota badannya, adalah pelajaran penting tentang bagaimana seyogyanya kita menghayati religiusitas atau hubungan dengan Tuhan. Uniknya, kisah-kisah Saridin ini malahan menempati hampir separuh halaman buku ini (66 halaman), di bagian awal lagi!. Seolah urutan buku ini hendak berujar kepada kita, “Sebelum Anda tersenyum dan tertawa, simak dulu kedalaman dan filosofi Saridin ini, supaya senyum atau tawa Anda tidak salah posisi! (Wallahu wa Saridin ya’lam). Baru setelah kisah Saridin usai, mulailah buku ini mengajak masuk ke dunia Gus Dur, Mohammad Sobary, Pak Profesor, dan Amang Rahman, serta puncaknya folklore Madura.
Dalam episode-episode Saridin, kita bisa menemukan kalimat-kalimat atau kata-kata kunci yang menggambarkan wawasan spiritual yang dikuakkan oleh Cak Nun di balik cerita Saridin. Misalnya dialog Saridin dengan Sang Sunan. Kata Saridin dalam menanggapi Sang Sunan yang mencemaskan orang-orang bakal memanggil Saridin dengan panggilan bunglon, “Kalau syarat untuk terhindar dari mati atau kelaparan bagi mereka adalah dengan menyebutku bunglon, aku mengikhlaskannya. Bahkan kalau Allah memang memerintahkanku agar menjadi bunglon, aku rela. Sebab diriku bukanlah bunglon, diriku adalah kepatuhanku kepada-Nya.” Atau dialog lainnya tatkala saridin kehilangan istri dan anaknya, “…Kamu melihatku persis seperti Tuhan memandangku: aku adalah orang bumi, khalifatullah fil ardl”, berkata sang Sunan, Maka sekarang kenapa kau yakin bahwa anakmu itu adalah anakmu? Bukankah ia sekadar seseorang yang dilewatkan kamu, sebagaimana orang lain dilahirkan lewat bapak dan ibunya? Maka bukankah di mata Tuhan semua anak adalah sama saja?
Jadi sekarang berbaiklah dan bersantunlah kepada anak siapapun yang kau jumpai. Maka anak yang kau anggap anakmu itu pun akan memperoleh perlakuan yang sama dari orang yang mengasuhnya. Jadi kenapa kau menangis, tolol?”. Penggalan dialog di atas dengan tegas memperlihatkan bagaimana sang penulis menafsirkan folklore Saridin. Sebuah tafsir sufistik atas Saridin. Sosok yang bisa dibilang the other di tengah kecenderungan keberagamaan publik yang kurang memasuki dimensi kedalaman agama itu sendiri. Saridin adalah sosok yang mengejawantahkan kausalitas ilahiah yang tak banyak dipahami dan diamalkan orang. Jadi, saridin adalah sebuah interupsi yang harus kita dengar dan perhatikan.
***
Adapun folklore Madura, seperti kita tahu, lebih mencerminkan sikap budaya, resistensi politik, gaya hidup, pola dan muatan komunikasi khas orang Madura yang lugas, simpel, mengena, dan bersahaja. Di bagian ini, sebanyak 13 judul tulisan, banyak kita jumpai humor-humor atau anekdot ala Madura. Yang paling populer, misalnya, pesan seorang Madura pada anaknya yang menuntut ilmu atau merantau: “kalau cari suami, Nak, hati-hati. Carilah yang Islam, minimum Muhammadiyah…”. (hal. 114). Boleh jadi ini ungkapan yang bisa “menyakitkan”, tetapi bagi Cak Nun justru tidak demikian. Itu sebuah kemajuan, katanya. Sebab, bila kita memahami kultur beragama orang Madura, segera kita ketahui bahwa lingkungan NU yang kuat telah menginternalkan kesadaran bahwa Islam itu identik dengan NU, begitu pula sebaliknya. Tetapi, bukankah gejala yang sama juga acap kali kita alami tanpa sadar (atau dengan sadar!)?. Kita mengekslusikan kelompok lain karena memiliki ketidaksamaan dengan apa yang kita punya. Lantaran sedikit berbeda keyakinan atau pemahaman, sebuah kelompok kita singkirkan dari suatu identitas besar yang misalnya bernama Islam. Dan, kita tahu hari-hari ini, persoalan semacam ini menyeruak dengan hangat. MUI mengeluarkan fatwa tentang sesatnya Ahmadiyah. MUI menuntut agar Ahmadiyah tidak dianggap dan tidak menganggap dirinya sebagai bagian dari Islam. Ahmadiyah boleh ada, asal tidak menyebut dirinya Islam. Maka, seperti ulas Cak Nun, anekdot tentang orang Madura ini yang “meminimunkan” Muhammadiyah justru memperlihatkan gejala sebaliknya: kemajuan dan keberanian untuk menerima (tidak sama dengan membenarkan keyakinan) kehadiran kelompok lain.
Masih ada bejibun anekdot lain yang disuguhkan Cak Nun di dalam buku ini menyangkut detail-detail komunikasi orang Madura tatkala menyampaikan gagasan. Sebuah pola komunikasi yang menunjukkan ulet dan kuatnya psikologi orang Madura (setidaknya yang ditampilkan di sini) dalam menghadapi dan menyiasati hidup. Ada dimensi keseriusan (Play=Mainan Boy=Anak-anak) , ada dimensi humoris (Buang Sial ke Singapura), ada dimensi ilmu meringankan hidup (Gitu Saja Kok Ribut), ada dimensi resistensi budaya politik (RT Spontanitas RW Alamiah), bahkan ada ilmu seksologi anti kemapanan (Doh-Adoh,…Anak Ini!).
Walhasil, (cerita ini tidak termaktub di buku ini) suatu ketika sekelompok pemuda yang tergabung dalam suatu laskar muda NU sedang dilatih baris-berbaris oleh petugas dari Koramil. Setiap instruksi dari Koramil—mulai siap grak! Hormat grak!, istirahat di tempat grak!, sampai setengah lencang kanan grak!—diikuti dan dipatuhi dengan baik oleh laskar pemuda ini. Hanya ada satu yang tidak dipatuhi. Yaitu, ketika acara latihan akan usai. Setelah memberi aba-aba siap grak!, istirahat di tempat grak!, dan akhirnya petugas Koramil mengeluarkan aba-aba, “bubar barisan, grak!,” namun, ternyata laskar pemuda itu tetap pada posisinya, tak satu pun yang coba membubarkan diri. Sang petugas bingung. Ada apa ini kok tidak bubar. Belum sempat terpahami olehnya, salah seorang di antara pemuda itu berteriak lantang, “allahumma shalli ala muhammad!!!”. Kemudian, satu persatu bubarlah barisan. Rupanya pemuda yang meneriakkan sahalawat itu biasa mengikuti acara tahlilan atau kondangan/kenduren yang sudah menjadi tradisinya bahwa untuk mengakhiri acara itu dengan mengumandangkan shalawat. Jadi, dia paham bagaimana membubarkan suatu majelis. Jadi, jelas pula bahwa Pak Koramil yang jarang ikut pengajian, tahlilan, kenderun, dan lain seterusnya. Apakah ini terjadi di Madura dan apakah pemuda tadi itu Saridin? Wallahu a’lam bishhawab. Selamat membaca![]
Yogyakarta, 17 Agustus 2005
Helmi Mustofa
Hidup Sehat ala Saridin, Mati Serius ala Madura
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>