KONON istilah mula-mula muncul sebagai kesepakatan sesuatu kelompok atau kalangan tertentu. Istilah-istilah hadis, misalnya, muncul dari kesepakatan kalangan muhadditsin; istilah-istilah kesenian dari kalangan seniman; dan. seterusnya. Namun kemudian istilah-istilah yang beredar di masyarakat itu sering mengalami kerancuan pengertian.
Antara lain, karena orang seenaknya saja menggunakan istilah itu, dan tidak mau —atau tak sempat— merujuk ke sumber asalnya. Kerancuan itu ternyata membawa dampak dalam kehidupan bermasyarakat. Inilah yang terjadi dengan istilah “ulama”, “kiai” dan “mubalig”. Celakanya, yang bersangkutan -yang dengan tidak tepat disebut ulama, kiai, atau mubalig— biasanya malah mcrasa bangga dan tidak membantah. Kalaupun membantah, biasanya dengan gaya basa-basi, sehingga semakin mendukung penyebutan itu, atau setidaknya makin mengaburkan maknanya. Sebab, meskipun sebutan ulama, kiai, atau mubalig itu mengundang kehormatan dan tanggung jawab, yang segera tampak menggiurkan justru kehormatannya. Baru setelah yang bersangkutan terbukti melakukan hal yang tak sesuai dengan maqam, atau kedudukan terhormat itu, orang menjadi bingung sendiri.
Yang lebih merepotkan, istilah "ulama" yang beredar dalam masyarakat kita -seperti berbagai istilah lain- mempunyai "kelamin ganda" dan berasal tidak hanya dari satu sumber. Dalam bahasa Indonesia, ulama berarti "orang yang ahli dalam hal atau dalam pengetahuan agama Islam" (lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 985). Sedangkan di Arab sendiri, 'ulama (bentuk jamak dari ‘alim) hanya mempunyai arti "orang yang berilmu".
'Ulama dalam peristilahan itulah yang sering disebut-sebut ulama sebagai waratsatul anbiyaa (pewaris para Nabi). Merekalah yang disebut sebagai hamba Allah yang paling takwa, pelita ummat dan sebagainya. Banyak definisi mengenainya, tetapi semuanya mengacu kepada satu pokok pengertian: ilmu dan amal.
Karena itu, disamping menguasai kandungan Al-Qur'an dan Sunnah, mereka juga -sebagaimana Nabi- mesti yang pertama mengamalkannya. Sebagai pewaris Nabi, setidaknya ulama mewarisi -di atas rata-rata ummat mereka- ilmu, ketakwaan, kekuatan iman, akhlak mulia, rasa tidak tahan melihat penderitaan ummat, pengayoman, keberanian dalam menegakkan kebenaran dan keadilan, dan keikhlasan serta keuletan dalam mengajak kepada kebaikan. Dengan kelebihan-kelebihan itu, ulama tentulah merupakan hamba-hamba yang paling takwa kepada Allah.
Dari sini saja, kita -atau setidaknya saya- merasa pesimistis: apakah kini masih ada ulama? Ada saatnya ulama dengan pengertian itu menjadi sinonim dari istilah kiai yang lebih bersifat budaya dalam masyarakat kita. Bila orang menyebut kiai, segera teringat pengertian ulama pewaris Nabi itu. Kenapa? Karena, meski dari segi ilmu dan lain sebagainya, kiai -betapapun hebatnya- tidak bisa mendekati ulama seperti yang dicontohkan dalam kitab-kitab kuning. Setidaknya masyarakat masih melihat mereka mewarisi sifat-sifat keteladanan mulia dan pengayoman yang teduh. Mereka membangun surau dan pesantren untuk kepentingan masyarakat. Mendarmakan hidupnya untuk Allah melalui khidmah (pelayanan)-nya kepada ummat. Karena itu, bahkan tidak hanya kiainya secara pribadi, tapi juga keluarga dan putra-putranya dihormati. Putranya yang laki-laki diberi julukan terhormat: (ba)gus, dengan harapan kelak akan menjadi kiai sebagaimana ayahnya.
Penghormatan yang terlalu dini kepada gus inilah yang mungkin sering justru mencelakakan yang bersangkutan. Apalagi bila ternyata kemudian -setelah sampai saatnya menggantikan orang tuanya- kapasitas ilmu maupun keteladanan; budi pekertinya tidak mampu mengatrolnya, minimal mendekati kapasitas orang tuanya.
Di pesantren, disamping pengajaran, sebenarnya yang lebih penting lagi adalah pendidikan kiainya. Sulitnya, menyerap pendidikan tidak semudah menyerap pelajaran. Maka janganlah heran apabila kemudian lebih banyak santri yang menjadi pintar ketimbang yang berakhlak.
Dari segi penampilan, boleh jadi orang yang pintar lebih tampak wah dan cepat ngepop. Dengan menggelar ilmunya, orang akan segera terpesona dan teringat kepada kiai sepuh yang juga berilmu. Apalagi jika pandai bicara, dijamin cepat kondang. Orang pun lalu menyebutnya sebagai kiai mubalig.
Istilah kiai mubalig ini pun agak rancu. Apalagi akhir-akhir ini di mana-mana muncul mubalig yang tak jarang dengan sendirinya disebut kiai. Mungkin karena keterbatasan memahami hadis "Sampaikanlah dariku meski hanya satu ayat," maka meskipun hanya punya satu ayat-dua ayat, ditambah ghirah ber-amar ma'ruf nahi munkar, plus modal pintar ngomong jadilah seseorang sebagai mubalig. Karena sebelumnya ada kiai yang bertablig, maka siapa pun yang bertablig disebut juga kiai.
Lalu, seiring dengan maraknya kebidupan keagamaan, artis yang memang luwes dan pelawak yang memang pintar bicara, yang beragama Islam, pun tak mau hanya mendapatkan 'fid-dunya hasanah'. Mengapa tidakjuga mencari ‘fid-akhirati khasanah’ Bukankah gerak-kegiatannya tidak begitu berbeda dan bahan tersedia di mana-mana? Dan kiprah mereka di mimbar taklim tak kalah dengan di pentas show, bahkan tak jarang mengalahkan mubalig betulan.
Begitulah, lalu menjadi campur-aduk -barangkali sesuai zaman globalisasi! Yang ulama, yang kiai, yang mubalig kiai (kiai yang bertablig), yang kiai mubalig (disebut kiai karena tablig), yang artis mubalig, dan yang mubalig artis, semuanya menjadi sulit dibedakan. Apalagi bila gaya ulama dan kiai -termasuk berfatwa- juga dengan baik telah ditiru mubalig dan artis; gaya mubalig dan artis -termasuk "keluwesan" pergaulan dan glamour- juga sudah menulari ulama dan kiai. Masya Allah!
Tuhan, apalagi yang hendak Engkau pertunjukkan kepada kami? Ampunilah kami semua!***
A.Mustofa Bisri
Ulama, Kiai, Mubalig, Artis
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>