Judul Buku : Panduan Praktis Mendidik Anak Cerdas Intelektual & Emosional
Penulis : Widian Nur Indriyani
Penerbit : Logung Pustaka, Yogjakarta
Cetakan : I, 2008
Tebal : 232 halaman
Peresensi : Em. Syuhada’ *)
SETIAP orang pasti menginginkan memiliki anak yang cerdas dan berhasil dalam kehidupan. Kecerdasan yang dimaksud tentu bukan hanya kecerdasan intelektual semata, namun kecerdasan yang menyangkut seluruh aspek kemanusiaan. Anak adalah permata kehidupan yang segala harapan terpanggul di pundaknya. Ibarat pelita, kehadirannya mampu memantulkan cahaya. Karena anaklah, orang tua rela melakukan apa saja agar si anak berhasil dalam kehidupan.
Namun, untuk mendapatkan anak yang cerdas dan berhasil ternyata bukanlah perkara mudah. Ada banyak hal yang harus dilalui, supaya anak sukses dan berhasil. Dalam pemahaman Islam, eksistensi anak adalah fitrah. Di tangan orang tua-lah hitam putih kehidupan anak ditentukan. Maka sangat tidak dibenarkan jika dalam mengawal tumbuh-kembang seorang anak, orang tua hanya memperhatikan kebutuhan fisik semata, dengan mengabaikan sisi-sisi kemanusiaan lainnya. Orang tua harus memperhatikan seluruh kebutuhan anak, supaya anak bisa menjadi manusia seutuhnya yang sukses menapaki kehidupan.
Buku bertajuk Panduan Praktis Mendidik Anak Cerdas Intelektual & Emosional ini begitu apik dalam menjelaskan hal tersebut. Widian Nur Indriyani, sang penulis tak hanya memberikan kiat bagaimana mendidik anak cerdas. Namun segala permasalahan yang menyangkut anak dijelaskan dalam buku ini. Menurutnya, bekal kecerdasan supaya anak berhasil dalam kehidupan ternyata tak bisa sepenuhnya mengandalkan pada sekolah. Sebab, cerdas secara akademik saja tak menjadi jaminan bahwa anak akan berhasil dalam kehidupan. Bill Gates, Albert Einstein, Sir Isaac Newton, Thomas Alva Edison, adalah sederetan nama orang-orang besar dalam sejarah. Tapi siapa sangka bahwa mereka adalah “orang-orang bodoh” ketika masih kanak-kanak dan dianggap sangat tidak berhasil dalam dunia sekolah.
Lantas, apa sebenarnya kunci utama agar anak berhasil dalam kehidupan? Menurut Widian, ada sembilan jenis kecerdasan, atau yang lebih dikenal dengan istilah Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligence). Yang harus dilakukan orang tua adalah menemukan dan melatih agar tiap-tiap kecerdasan itu berkembang secara optimal. Kecerdasan yang dimaksud meliputi Cerdas Bahasa (cerdas dalam mengolah kata), Cerdas Gambar (memiliki imajinasi tinggi), Cerdas Musik (peka terhadap suara dan irama), Cerdas Tubuh (terampil dalam mengolah tubuh dan gerak), Cerdas Matematika dan Logika (cerdas dalam sains dan berhitung), Cerdas Sosial (kemampuan tinggi dalam membaca pikiran dan perasaan orang lain), Cerdas Diri (menyadari kekuatan dan kelemahan diri), Cerdas Alam (peka terhadap alam sekitar), dan Cerdas Spiritual (menyadari makna eksistensi diri dalam hubungannya dengan pencipta alam semesta). Memang sangat jarang ada manusia yang memiliki kecerdasan yang tinggi di semua bidang. Namun kenyataannya, manusia bisa benar-benar sukses jika ia memiliki kombinasi 4 atau 5 kecerdasan yang menonjol. (hal. 68)
Lebih jauh Widian mengemukakan, ada dua faktor yang mempengaruhi kecerdasan anak, yakni faktor keturunan (bawaan, genetik) dan faktor lingkungan, yang terkait satu sama lain. Meskipun secara genetik seorang anak memiliki kecerdasan karena turunan orang tua, namun jika lingkungan keluarga dan sosial sama sekali tidak mendukung, maka potensi kecerdasan anak tidak akan berkembang secara optimal. Maka peran orang tua sesungguhnya yang terpenting adalah mengawal secara terus-menerus tumbuh-kembang anak dengan memenuhi seluruh kebutuhan pokok yang meliputi kebutuhan fisik-biologis, kebutuhan emosi-kasih sayang, dan stimulasi dini. Hal tersebut diberikan ketika anak masih berbentuk janin, dan terutama ketika anak melewati masa-masa keemasan (Golden Age).
Apa yang dipaparkan Widian dalam buku ini sungguh sayang jika dilewatkan oleh para orang tua. Sebab, segala bentuk permasalahan anak dituturkan tak hanya menyangkut masalah psikis, namun juga fisik-biologis. Tentang bagaimana caranya menangani anak yang sulit makan, anak sembelit, kolik pada bayi, mengatasi anak pemalu, menangani anak fobia sekolah, dan sebagainya. Semuanya dituturkan dengan bahasa praktis sehingga mudah dipraktekkan oleh para orang tua. Namun sayangnya, jenis kecerdasan terakhir berupa cerdas spiritual sama sekali tak disinggung dalam buku ini. Padahal, kecerdasan tersebut bukan hanya penting, bahkan sesuatu yang “wajib”, karena menyangkut hubungan manusia dengan pencipta-Nya.
Terkait hal tersebut, Emha Ainun Nadjib (2001) pernah bertutur mengenai kecerdasan spiritual. Bagi Emha, manusia boleh menyandang predikat budaya apapun dalam kehidupan, namun yang terpenting adalah bagaimana ia bisa lulus “menjadi” manusia. Kurikulum dasar pendidikan anak menurutnya ada dua macam, ialah ketakjuban dan tanggung jawab kepada Allah. Sesempat-sempatnya orang tua menumbuh-kembangkan dua potensialitas rohaniah dan intelektual tersebut. Setiap kali berkomunikasi dengan anak, diusahakan agar mengarahkannya pada dua hal itu. Anak melihat air, diajak menemukan asal muasal dan manfaat air, sehingga ia takjub kepada Allah. Anak melihat pagi hari, embun yang jatuh, cacing menembus bumi, menatap, mendengar, dan mengalami apapun saja dalam kehidupan selalu diajak mencenderungkannya pada kesadaran ketuhanan.
Pada titik yang sama, secara dini anak juga dilatih bertanggung jawab. Bahwa segala yang tersebar di alam semesta ini adalah milik-Nya semata. Yang harus dilakukan orang tua adalah membangun kesadaran pada jiwa anak, bahwa ia tak berhak menentukan apa yang harus dan tak boleh dilakukan. Satu-satunya jalan adalah mendengarkan kata si Pemilik Kehidupan. Maka tak ada kemungkinan lain bagi manusia selain harus taat kepada-Nya. Insya Allah, jika kedua hal itu telah tertanam dalam sanubari anak, kelak jika ia dewasa dan melakukan apapun saja dalam kehidupan, semata-mata sedang menjalankan kegembiraan bertanggung jawab pada pencipta-Nya. Bukan lantaran taat pada kita, atau takut pada polisi atau negara.
Terlepas dari kekurangan buku ini, kehadirannya sungguh penting, terutama bagi siapa saja yang menginginkan menjadi orang tua yang terbaik bagi anak-anaknya. Dengan membaca buku ini, setidaknya kita akan mengerti bahwa menjadi orang tua ternyata bukan persoalan gampang. Tapi percayalah, dengan totalitas menjalankan amanah, kebahagiaan itu akan segera menyeruak jika kelak berkat kepengasuhan kita, anak-anak kita benar-benar menjadi permata dalam kehidupan. Semoga.***
Penulis : Widian Nur Indriyani
Penerbit : Logung Pustaka, Yogjakarta
Cetakan : I, 2008
Tebal : 232 halaman
Peresensi : Em. Syuhada’ *)
SETIAP orang pasti menginginkan memiliki anak yang cerdas dan berhasil dalam kehidupan. Kecerdasan yang dimaksud tentu bukan hanya kecerdasan intelektual semata, namun kecerdasan yang menyangkut seluruh aspek kemanusiaan. Anak adalah permata kehidupan yang segala harapan terpanggul di pundaknya. Ibarat pelita, kehadirannya mampu memantulkan cahaya. Karena anaklah, orang tua rela melakukan apa saja agar si anak berhasil dalam kehidupan.
Namun, untuk mendapatkan anak yang cerdas dan berhasil ternyata bukanlah perkara mudah. Ada banyak hal yang harus dilalui, supaya anak sukses dan berhasil. Dalam pemahaman Islam, eksistensi anak adalah fitrah. Di tangan orang tua-lah hitam putih kehidupan anak ditentukan. Maka sangat tidak dibenarkan jika dalam mengawal tumbuh-kembang seorang anak, orang tua hanya memperhatikan kebutuhan fisik semata, dengan mengabaikan sisi-sisi kemanusiaan lainnya. Orang tua harus memperhatikan seluruh kebutuhan anak, supaya anak bisa menjadi manusia seutuhnya yang sukses menapaki kehidupan.
Buku bertajuk Panduan Praktis Mendidik Anak Cerdas Intelektual & Emosional ini begitu apik dalam menjelaskan hal tersebut. Widian Nur Indriyani, sang penulis tak hanya memberikan kiat bagaimana mendidik anak cerdas. Namun segala permasalahan yang menyangkut anak dijelaskan dalam buku ini. Menurutnya, bekal kecerdasan supaya anak berhasil dalam kehidupan ternyata tak bisa sepenuhnya mengandalkan pada sekolah. Sebab, cerdas secara akademik saja tak menjadi jaminan bahwa anak akan berhasil dalam kehidupan. Bill Gates, Albert Einstein, Sir Isaac Newton, Thomas Alva Edison, adalah sederetan nama orang-orang besar dalam sejarah. Tapi siapa sangka bahwa mereka adalah “orang-orang bodoh” ketika masih kanak-kanak dan dianggap sangat tidak berhasil dalam dunia sekolah.
Lantas, apa sebenarnya kunci utama agar anak berhasil dalam kehidupan? Menurut Widian, ada sembilan jenis kecerdasan, atau yang lebih dikenal dengan istilah Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligence). Yang harus dilakukan orang tua adalah menemukan dan melatih agar tiap-tiap kecerdasan itu berkembang secara optimal. Kecerdasan yang dimaksud meliputi Cerdas Bahasa (cerdas dalam mengolah kata), Cerdas Gambar (memiliki imajinasi tinggi), Cerdas Musik (peka terhadap suara dan irama), Cerdas Tubuh (terampil dalam mengolah tubuh dan gerak), Cerdas Matematika dan Logika (cerdas dalam sains dan berhitung), Cerdas Sosial (kemampuan tinggi dalam membaca pikiran dan perasaan orang lain), Cerdas Diri (menyadari kekuatan dan kelemahan diri), Cerdas Alam (peka terhadap alam sekitar), dan Cerdas Spiritual (menyadari makna eksistensi diri dalam hubungannya dengan pencipta alam semesta). Memang sangat jarang ada manusia yang memiliki kecerdasan yang tinggi di semua bidang. Namun kenyataannya, manusia bisa benar-benar sukses jika ia memiliki kombinasi 4 atau 5 kecerdasan yang menonjol. (hal. 68)
Lebih jauh Widian mengemukakan, ada dua faktor yang mempengaruhi kecerdasan anak, yakni faktor keturunan (bawaan, genetik) dan faktor lingkungan, yang terkait satu sama lain. Meskipun secara genetik seorang anak memiliki kecerdasan karena turunan orang tua, namun jika lingkungan keluarga dan sosial sama sekali tidak mendukung, maka potensi kecerdasan anak tidak akan berkembang secara optimal. Maka peran orang tua sesungguhnya yang terpenting adalah mengawal secara terus-menerus tumbuh-kembang anak dengan memenuhi seluruh kebutuhan pokok yang meliputi kebutuhan fisik-biologis, kebutuhan emosi-kasih sayang, dan stimulasi dini. Hal tersebut diberikan ketika anak masih berbentuk janin, dan terutama ketika anak melewati masa-masa keemasan (Golden Age).
Apa yang dipaparkan Widian dalam buku ini sungguh sayang jika dilewatkan oleh para orang tua. Sebab, segala bentuk permasalahan anak dituturkan tak hanya menyangkut masalah psikis, namun juga fisik-biologis. Tentang bagaimana caranya menangani anak yang sulit makan, anak sembelit, kolik pada bayi, mengatasi anak pemalu, menangani anak fobia sekolah, dan sebagainya. Semuanya dituturkan dengan bahasa praktis sehingga mudah dipraktekkan oleh para orang tua. Namun sayangnya, jenis kecerdasan terakhir berupa cerdas spiritual sama sekali tak disinggung dalam buku ini. Padahal, kecerdasan tersebut bukan hanya penting, bahkan sesuatu yang “wajib”, karena menyangkut hubungan manusia dengan pencipta-Nya.
Terkait hal tersebut, Emha Ainun Nadjib (2001) pernah bertutur mengenai kecerdasan spiritual. Bagi Emha, manusia boleh menyandang predikat budaya apapun dalam kehidupan, namun yang terpenting adalah bagaimana ia bisa lulus “menjadi” manusia. Kurikulum dasar pendidikan anak menurutnya ada dua macam, ialah ketakjuban dan tanggung jawab kepada Allah. Sesempat-sempatnya orang tua menumbuh-kembangkan dua potensialitas rohaniah dan intelektual tersebut. Setiap kali berkomunikasi dengan anak, diusahakan agar mengarahkannya pada dua hal itu. Anak melihat air, diajak menemukan asal muasal dan manfaat air, sehingga ia takjub kepada Allah. Anak melihat pagi hari, embun yang jatuh, cacing menembus bumi, menatap, mendengar, dan mengalami apapun saja dalam kehidupan selalu diajak mencenderungkannya pada kesadaran ketuhanan.
Pada titik yang sama, secara dini anak juga dilatih bertanggung jawab. Bahwa segala yang tersebar di alam semesta ini adalah milik-Nya semata. Yang harus dilakukan orang tua adalah membangun kesadaran pada jiwa anak, bahwa ia tak berhak menentukan apa yang harus dan tak boleh dilakukan. Satu-satunya jalan adalah mendengarkan kata si Pemilik Kehidupan. Maka tak ada kemungkinan lain bagi manusia selain harus taat kepada-Nya. Insya Allah, jika kedua hal itu telah tertanam dalam sanubari anak, kelak jika ia dewasa dan melakukan apapun saja dalam kehidupan, semata-mata sedang menjalankan kegembiraan bertanggung jawab pada pencipta-Nya. Bukan lantaran taat pada kita, atau takut pada polisi atau negara.
Terlepas dari kekurangan buku ini, kehadirannya sungguh penting, terutama bagi siapa saja yang menginginkan menjadi orang tua yang terbaik bagi anak-anaknya. Dengan membaca buku ini, setidaknya kita akan mengerti bahwa menjadi orang tua ternyata bukan persoalan gampang. Tapi percayalah, dengan totalitas menjalankan amanah, kebahagiaan itu akan segera menyeruak jika kelak berkat kepengasuhan kita, anak-anak kita benar-benar menjadi permata dalam kehidupan. Semoga.***
MENGOPTIMALKAN KECERDASAN ANAK
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>