Kualitas Manusia Pasca Ramadan
Reportase Maiyah
SUASANA masih cenderung sepi ketika saya tiba di
Menturo. Kira-kira jam delapan lewat seperempat, saya lihat masih belum
begitu banyak jamaah yang hadir. Sebagian bersantai di Masjid, sebagian
yang lain bergerombol di kios barakahnya Pak Ndut. Hanya beberapa orang
duduk di terpal yang telah digelar di teras nDalem kasepuhan, tempat
yang dipersiapkan untuk pengajian. Malam hari itu, bersama enam orang
teman saya mengendorkan urat syaraf sejenak setelah sebelumnya menempuh
jarak kurang lebih satu setengah jam perjalanan menuju Menturo.
MASIH
dalam suasana halal bihalal, pengajian yang dilaksanakan hari senin
(12/9/2011) itu dibuka oleh Mas Toto Raharjo -akrab dipanggil Mas
Totok-, dengan penampilan khasnya. Jarum jam sudah menunjukkan angka
sembilan lebih. Dzikriyah Ma’iyah sebelumnya telah dilaksanakan
dipimpin oleh Cak Rudd Blora, Kang Miftachul Huda, dan Kang Munir.
Tidak banyak yang disampaikan oleh Mas Totok. Beliau hanya menceritakan
pengalamannya selama mudik di kampung halaman ibundanya terkait
fenomena lebaran dua kali tahun ini. Kata Mas Totok, lebaran dua kali
itu bukan persoalan sederhana. Sebab, kebijakan pemerintah yang
menetapkan 1 syawal mundur satu hari itu memunculkan akibat yang tidak
remeh, terutama bagi masyarakat di kampungnya yang tidak memiliki
pengalaman berlebaran dua kali.
Beberapa pertanyaan pun
dilontarkan, apakah tidak bisa jika penentuan waktu puasa atau lebaran
dilaksanakan jauh-jauh hari, sehingga tidak memunculkan masalah
sebagaimana yang terjadi tahun ini. Apakah sebenarnya ru’yah atau hisab itu? Mas Totok juga melemparkan wacana kualitas manusia pasca
Ramadan. Ketika selesai puasa, mungkinkah manusia bisa lahir kembali
sebagaimana bayi yang baru dilahirkan. Apakah mungkin manusia bisa
kembali menjadi bayi? Jika dikaitkan dengan idul fitri, apakah
sebenarnya fitri itu?
Hal-hal itulah yang
kemudian direspon oleh Cak Fuad – sapaan akrab Ahmad Fuad Effendi –
setelah sebelumnya Mas Zainul Arifin melantunkan shalawat dan
puji-pujian bersama jamaah . Menurut Cak Fuad, perbedaan hari raya tahun
ini disebabkan cara penentuannya yang memang tidak sama. Jika kaum
Nahdliyin melakukan ru’yah untuk menentukan awal Ramadan ataupun Syawal, itu didasarkan pada sebuah hadits: shumu liru’yatihi wa afthiruu liru’yatihi... dst. (berpuasalah jika melihat hilal, dan berbukalah (berhari-rayalah) jika melihat hilal...dst).
Kata ru’yah (melihat) itu dipahami oleh teman-teman Nahdliyin secara tekstual melihat bulan baru (hilal)
dengan menggunakan mata kepala. Hal tersebut berbeda dengan sebagian
golongan yang menggunakan perspektif lain. Bahwa melihat tidak harus
menggunakan mata. Melihat bisa dilakukan melalui perhitungan-perhitungan
tertentu, atau yang lebih dikenal dengan ilmu hisab. Permasalahannya, jika secara hitungan (hisab) posisi hilal
masih sekian derajat diatas ufuk dan kecil kemungkinannya bisa dilihat
dengan mata, hal itulah yang kemudian rentan menimbulkan perbedaan.
Selama
ini, perbedaan pendapat di kalangan umat islam kerap terjadi dan
diyakini sebagai hal-hal yang tidak prinsipil. Pertanyaan balik yang
kemudian diajukan oleh Cak Fuad, kalau memang tidak prinsip, mengapa
diantara sebagian golongan harus ada yang bertahan dengan pendapatnya
dan tidak saling berkompromi satu sama lain? Mengapa tidak ada kesediaan
duduk satu meja demi kemaslahatan bersama? Cak Fuad lantas menarik
kesimpulan, bahwa permasalahan sebenarnya bukan terletak pada ru’yah atau hisab itu sendiri. Bahwa ru’yah atau hisab, qunut atau tak qunut, taraweh 20 atau 8 rakaat, dan lain-lain sudah dijadikan trade mark atau ciri khusus dari golongan, sehingga yang muncul kemudian adalah sifat ashobiyah
(fanatik secara belebihan kepada sebuah golongan keagamaan tertentu).
Alhasil, jika diantara umat islam tidak bersedia merenungi kembali bahwa
innama al-mu’minuuna ikhwatun, faashlihuu baina akhawaikum, maka perbedaan itu akan terus terjadi sepanjang hayat.
Tentang idul fitri, Cak Fuad menjelaskan bahwa kata fitri memiliki
dua pengertian. Yang pertama, artinya berbuka. Idul fitri adalah hari
berbuka. Ini sejalan dengan pengetahuan dalam islam, bahwa ketika idul
fitri berlangsung memang tidak diperkenankan untuk berpuasa, bahkan
haram. Jadi idul fitri adalah hari raya makan-makan. Sedangkan
pengertian kedua dihubungkan dengan kata fitrah sebagaimana pernah disampaikan oleh Nabi, bahwa puasa yang dilakukan oleh manusia imanan wa ihtisaban menawarkan kemungkinan diampuni dosanya yang telah lalu, sehingga menyeretnya pada situasi kama waladathu ummuhu,
seperti ketika pertama kali dilahirkan oleh ibunya suci tanpa dosa.
Maka, Idul Fitri adalah hari dimana manusia kembali kepada fitrah karena dosa-dosanya sudah diampuni olleh Allah SWT.
“Dengan
keadaan itu, apakah kemudian ada manusia yang begitu yakin bahwa
sesudah puasa, dosa-dosanya telah diampuni Allah SWT, sehingga ketika 1
Syawal ia telah bersih dan suci dari dosa-dosa? Saya kira tidak ada,”
tegas Cak Fuad,”Jadi itu semua lebih bersifat harapan. Bahwa sesudah
puasa, kita berharap dosa-dosa kita akan diampuni Allah sehingga kita
benar-benar mencapai idul fitri.”
Ungkapan lain tentang fitrah menurut Cak Fuad adalah hadits Nabi kullu mauludin yuladu ala al-fitrah,
setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Fitrah yang dimaksud
memiliki bermacam-macam penafsiran. Salah-satu penafsiran sesuai dengan
al-Qur’an adalah keadaan meyakini bahwa Allah itu Esa. Maka, jika
kemudian ada manusia memiliki keyakinan bahwa Allah itu lebih dari satu,
maka ia sesungguhnya telah keluar dari fitrah kemanusiaan.
Lebih lanjut Cak Fuad menjelaskan kualitas manusia pasca
Ramadan. Bahwa puasa yang dilaksanakan sebulan penuh tidak secara
otomatis mengubah kualitas kepribadian manusia menjadi bertaqwa. Ini
setidaknya ditunjukkan dengan idiom taqwa dalam ayat tentang puasa yang
menggunakan fiil mudlori’ (tattaqun). Berbeda dengan fiil madli yang bermakna sudah terjadi (sudah bertaqwa), fiil mudlori memilki
arti harus diusahakan terus-menerus. Artinya, posisi taqwa memang harus
diperjuangkan sepanjang kehidupan. Bahkan kalaupun toh sesudah
puasa manusia berhasil meraih predikat taqwa, jika sesudah Ramadan ia
tidak berhati-hati dalam sikapnya sehingga melakukan tindakan yang
merugikan orang lain, predikat taqwa itu akan hilang pada saat itu juga.
Tentang
taqwa, maupun puasa yang harus dilaksanakan terus-menerus dalam hidup,
Cak Fuad menyitir ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang puasa
(QS.Al.Baqarah:183-188). Bukan sebuah kebetulan jika ayat tentang puasa
itu diakhiri dengan pernyataan Allah wala takuulu amwalakum bainakum bilbathil...dst
(janganlah kamu memakan harta diantaramu dengan cara bathil...dst). Itu
menunjukkan, bahwa yang halal saja diharamkan oleh Allah pada waktu
tertentu (apalagi yang haram), maka pasca Ramadan manusia ditegaskan
agar tidak memakan sesuatu yang haram (termasuk didalamnya memakan harta
orang lain secara tidak sah). Ini berlangsung sepanjang kehidupan.
Artinya,
keberhasilan puasa Ramadan sesungguhnya lebih ditunjukkan oleh apakah
sesudah 1 Syawal, manusia tetap berpuasa dari hal-hal yang dimurkai oleh
Allah SWT atau tidak. Jika dikaitkan dengan pencapaian Idul Fitri, maka
upaya mencapai situasi fitri tidak hanya sekedar melakukan puasa selama sebulan penuh kemudian selesai. Kondisi fitri maupun derajat taqwa memang harus diperjuangkan secara terus-menerus sepanjang kehidupan. (*)