DALAM menggambarkan tipikal kiai terkait fungsinya sebagai pembawa lentera, simbolisasi “kiai ceret” memang cocok diperuntukkan bagi kiai yang aktif mengucurkan ilmunya di pelbagai bidang dalam kehidupan. Ibarat ceret, bukanlah gelas atau cingkir yang mengunduh air kandungannya, tapi ceretlah yang aktif mengucurkan air kedalam gelas yang siap dituangi apa saja. Hal yang mungkin perlu dipahami, keaktifan kiai ceret dalam menawarkan ‘air’ itu tak hanya melulu dalam olah vokal dengan kemampuan retorika yang mencengangkan. Namun kiai yang memiliki kemampuan olah tulis pun bisa distigmakan sebagai kiai ceret jika proses transformasi itu sendiri berangkat dari keaktifan sang kiai. Sehingga menurut saya, simbolisasi kiai ceret dalam beberapa tulisan terakhir, yang hanya diperuntukkan bagi kiai yang mengucurkan ayat-ayat Tuhan melalui lisannya tampaknya perlu dikaji ulang.
Berbeda dengan kiai ceret, ada satu jenis kiai yang mungkin lebih ‘ampuh’. Sebut saja “kiai gentong”. Ia adalah tipe kiai yang mungkin tak dikenal oleh siapapun, tak memiliki kefasihan lisan sebagaimana kiai ceret, tak pernah tampil di depan media, tak bisa memberikan mauidloh hasanah, dan lain sebagainya. Namun sesungguhnya, kiai gentong memiliki keistimewaan yang sungguh luar biasa. Gentong dengan ketenangan dan kebeningan airnya tak perlu repot mengucurkan air ke semua wilayah dalam kehidupan. Justru cingkir yang datang padanya untuk nyiduk kebeningan airnya. Gelaslah yang hadir untuk mengeruk dan menimba kedalaman isinya. Kalau mau diperpanjang, simbolisasi kiai mungkin tak cukup jika hanya beredar pada kiai ceret maupun kiai gentong, bahkan mungkin ada juga kiai cingkir, kiai sumur, kiai mangkuk, dan lain sebagainya.
Tulisan Ahmad Khotib (AK) berumbul Kiai Kampung Saya Bukan Kiai Ceret yang dimuat dalam Jawa Pos (11/05/08), yang menanggapi tulisan Fahruddin Nasrulloh (Catatan Suram Kiai Ceret, 27/04/08), dan mungkin juga tulisan saya sebelumnya (Secercah Sinar dari Lirboyo, 20/04/08), lebih menunjukkan betapa AK sangat tak rela jika kiai dibatasi wilayah geraknya hanya berkutat pada wilayah kultural semata. Berdalih keragaman (pluralitas), adalah kebijaksanaan jika membiarkan kiai memilih jalan hidupnya sendiri. Karena sebagai manusia, kiai tak ubahnya manusia lain yang memiliki hak sama merambah pelbagai bidang dalam kehidupan. Bahkan menurutnya, kiai yang melenggang ke wilayah politik memiliki jejaring dakwah yang semakin luas, dan tentu saja akan menambah suplemen bagi diri mereka sendiri.
Hal tersebut mengingatkan saya pada KH. Musthofa Bisri Rembang. Beberapa tahun silam, Gus Mus – demikian beliau akrab dipanggil – pernah menulis sebuah essay singkat berjudul Kiai Yang Malang. Tulisan yang terangkum dalam buku berlabel Pesan Islam Sehari-hari, Ritus Dzikir dan Gempita Umat (Risalah Gusti:1999) itu lebih mengeluh-kesahkan nasib kiai sebagai warga negara yang bernasib sangat malang di negeri ini. Bagaimana tidak? Sebagai manusia biasa, kiai tak bisa leluasa menggunakan hak asasinya. Ia harus rela menjalani kehidupan dengan mengikuti standar yang diberikan oleh orang lain. Ada kiai baca puisi, orang bilang, ”Kiai kok baca puisi!”. Ada kiai jajan di warung, orang bilang, ”Kiai kok nongkrong di warung!”. Ada kiai berpolitik, orang bilang, “Kiai kok berpolitik!”.
Singkatnya, menjadi kiai menurut Gus Mus harus siap untuk “diatur” dan tentu saja madlum (loro kabeh). Barangkali tak masalah, jika standar yang diberikan orang lain itu sesuai dengan esensi substansial kiai. Namun jika standar itu hanya berdasar pada wilayah kulit, ragam busana, dan standar yang bersifat artifisial maupun superfisial, kiai harus siap diolok-olok dan dilecehkan jika tak bersedia mengikuti standar yang diberikan oleh khalayak.
Pada titik ini, tak ada yang salah dengan tulisan AK. Bahkan keseriusannya menghadirkan sejumlah fakta tentang “kiai lokal” yang juga berpolitik praktis, namun mampu melahirkan sejumlah karya tulis yang berkualitas patut diapresiasi secara arif. Namun permasalahannya, apakah data yang dipaparkan AK tersebut bisa dijadikan cermin yang memantulkan keberadaan kiai yang bertebaran di penjuru negeri ini. Tidakkah AK terjebak pada kegenitan generalisasi sebagaimana yang ia tudingkan, bahwa fakta tersebut hanya berlaku di daerah tertentu dan tak berlaku secara menyeluruh di daerah-daerah lain?
Terlepas dari soal kreatifitas dalam berkarya (tulis), keberpihakan AK terhadap kiai politisi tampaknya perlu dikritisi secara bijak. Islam memang tak pernah secara jelas melarang hal tersebut. Kalau toh dikatakan bahwa islam sepenuhnya politik, harus dibedakan politik dalam pandangan islam dengan kondisi riil perpolitikan nasional. Nyuwun sewu, tak bisa dipungkiri bahwa politik mutakhir seringkali dimaknai secara dangkal oleh sebagian masyarakat modern dengan hanya aktifitas seputar pencalonan caleg, perebutan kursi di DPR, pilbup, pilkada, atau bahkan pilpres (yang ujung-ujungnya adalah kekuasaan atau bahkan perolehan materi). Bukankah teramat riskan jika kiai terlibat dengan pola perpolitikan semacam itu. Tidakkah lebih baik jika kiai tetap berada pada garisnya sebagai khadimul ummah dengan ketulusannya mengabdikan diri pada masyarakat untuk melakukan proses pencerahan. Kalau toh yang dipersoalkan adalah munculnya pemimpin yang islami, tak adakah jalan lain semisal ikut bertanggung jawab membidani lahir dan tumbuh-kembangnya politisi bermoral tanpa harus berkubang didalamnya. Bukankah kiai bisa melakukan pendidikan politik kepada masyarakat tentang bagaimana seharusnya memilih pemimpin (umara’) yang baik.
Dalam konteks ini, pelajaran shalat berjamaah hanyalah secuil ajaran islam tentang imamah. Dimanapun tempat, dengan memperhatikan kapabilitas serta kredibilitas, makmumlah yang menentukan siapa yang harus menjadi imam. Tak ada ceritanya imam menyodor-nyodorkan dirinya agar menjadi imam. Pun pula, adalah kelucuan luar biasa jika ada imam berani membayar sejumlah uang hanya supaya ia dijadikan imam. Maka, tugas terberat kiai sesungguhnya melakukan pencerahan kepada masyarakat makmum, agar ketika memilih imam, bukan orientasi materi yang terutama. Namun bagaimana ia dengan rela hati memilih imam dengan benar, sehingga sinergi antara ulama dan umara bisa diterjemahkan sesuai dengan koridor yang telah ditentukan.
Alhasil, kepada kiai kita memang tak henti berharap, ditengah aktifitas mengurusi kehidupan dengan segala pernak-perniknya, sungguh indah jika kiai tetap berposisi sebagai tali tasbih yang merekatkan biji-biji tasbih. Di sela-sela itu, sejengkal harapan yang juga tak kunjung selesai, luangkan waktu untuk menulis dengan bahasa yang bisa dimengerti oleh semua orang. Alangkah sayangnya jika denyut keilmuan pesantren yang berpendar-pendar memenuhi jiwa raga hanya terejawantahkan melalui kefasihan lisan yang menguap begitu saja di angkasa ruang maupun waktu. Bukankah ketika dituangkan dalam risalah, kiai dapat mewariskan sesuatu yang bermakna bagi generasi mendatang sebagai tabungan pahala tak habis-habis?***
*) Em. Syuhada’, Staff pengajar di Lembaga Pendidikan Roudlotun Nasyiin Mojokerto.
Berbeda dengan kiai ceret, ada satu jenis kiai yang mungkin lebih ‘ampuh’. Sebut saja “kiai gentong”. Ia adalah tipe kiai yang mungkin tak dikenal oleh siapapun, tak memiliki kefasihan lisan sebagaimana kiai ceret, tak pernah tampil di depan media, tak bisa memberikan mauidloh hasanah, dan lain sebagainya. Namun sesungguhnya, kiai gentong memiliki keistimewaan yang sungguh luar biasa. Gentong dengan ketenangan dan kebeningan airnya tak perlu repot mengucurkan air ke semua wilayah dalam kehidupan. Justru cingkir yang datang padanya untuk nyiduk kebeningan airnya. Gelaslah yang hadir untuk mengeruk dan menimba kedalaman isinya. Kalau mau diperpanjang, simbolisasi kiai mungkin tak cukup jika hanya beredar pada kiai ceret maupun kiai gentong, bahkan mungkin ada juga kiai cingkir, kiai sumur, kiai mangkuk, dan lain sebagainya.
Tulisan Ahmad Khotib (AK) berumbul Kiai Kampung Saya Bukan Kiai Ceret yang dimuat dalam Jawa Pos (11/05/08), yang menanggapi tulisan Fahruddin Nasrulloh (Catatan Suram Kiai Ceret, 27/04/08), dan mungkin juga tulisan saya sebelumnya (Secercah Sinar dari Lirboyo, 20/04/08), lebih menunjukkan betapa AK sangat tak rela jika kiai dibatasi wilayah geraknya hanya berkutat pada wilayah kultural semata. Berdalih keragaman (pluralitas), adalah kebijaksanaan jika membiarkan kiai memilih jalan hidupnya sendiri. Karena sebagai manusia, kiai tak ubahnya manusia lain yang memiliki hak sama merambah pelbagai bidang dalam kehidupan. Bahkan menurutnya, kiai yang melenggang ke wilayah politik memiliki jejaring dakwah yang semakin luas, dan tentu saja akan menambah suplemen bagi diri mereka sendiri.
Hal tersebut mengingatkan saya pada KH. Musthofa Bisri Rembang. Beberapa tahun silam, Gus Mus – demikian beliau akrab dipanggil – pernah menulis sebuah essay singkat berjudul Kiai Yang Malang. Tulisan yang terangkum dalam buku berlabel Pesan Islam Sehari-hari, Ritus Dzikir dan Gempita Umat (Risalah Gusti:1999) itu lebih mengeluh-kesahkan nasib kiai sebagai warga negara yang bernasib sangat malang di negeri ini. Bagaimana tidak? Sebagai manusia biasa, kiai tak bisa leluasa menggunakan hak asasinya. Ia harus rela menjalani kehidupan dengan mengikuti standar yang diberikan oleh orang lain. Ada kiai baca puisi, orang bilang, ”Kiai kok baca puisi!”. Ada kiai jajan di warung, orang bilang, ”Kiai kok nongkrong di warung!”. Ada kiai berpolitik, orang bilang, “Kiai kok berpolitik!”.
Singkatnya, menjadi kiai menurut Gus Mus harus siap untuk “diatur” dan tentu saja madlum (loro kabeh). Barangkali tak masalah, jika standar yang diberikan orang lain itu sesuai dengan esensi substansial kiai. Namun jika standar itu hanya berdasar pada wilayah kulit, ragam busana, dan standar yang bersifat artifisial maupun superfisial, kiai harus siap diolok-olok dan dilecehkan jika tak bersedia mengikuti standar yang diberikan oleh khalayak.
Pada titik ini, tak ada yang salah dengan tulisan AK. Bahkan keseriusannya menghadirkan sejumlah fakta tentang “kiai lokal” yang juga berpolitik praktis, namun mampu melahirkan sejumlah karya tulis yang berkualitas patut diapresiasi secara arif. Namun permasalahannya, apakah data yang dipaparkan AK tersebut bisa dijadikan cermin yang memantulkan keberadaan kiai yang bertebaran di penjuru negeri ini. Tidakkah AK terjebak pada kegenitan generalisasi sebagaimana yang ia tudingkan, bahwa fakta tersebut hanya berlaku di daerah tertentu dan tak berlaku secara menyeluruh di daerah-daerah lain?
Terlepas dari soal kreatifitas dalam berkarya (tulis), keberpihakan AK terhadap kiai politisi tampaknya perlu dikritisi secara bijak. Islam memang tak pernah secara jelas melarang hal tersebut. Kalau toh dikatakan bahwa islam sepenuhnya politik, harus dibedakan politik dalam pandangan islam dengan kondisi riil perpolitikan nasional. Nyuwun sewu, tak bisa dipungkiri bahwa politik mutakhir seringkali dimaknai secara dangkal oleh sebagian masyarakat modern dengan hanya aktifitas seputar pencalonan caleg, perebutan kursi di DPR, pilbup, pilkada, atau bahkan pilpres (yang ujung-ujungnya adalah kekuasaan atau bahkan perolehan materi). Bukankah teramat riskan jika kiai terlibat dengan pola perpolitikan semacam itu. Tidakkah lebih baik jika kiai tetap berada pada garisnya sebagai khadimul ummah dengan ketulusannya mengabdikan diri pada masyarakat untuk melakukan proses pencerahan. Kalau toh yang dipersoalkan adalah munculnya pemimpin yang islami, tak adakah jalan lain semisal ikut bertanggung jawab membidani lahir dan tumbuh-kembangnya politisi bermoral tanpa harus berkubang didalamnya. Bukankah kiai bisa melakukan pendidikan politik kepada masyarakat tentang bagaimana seharusnya memilih pemimpin (umara’) yang baik.
Dalam konteks ini, pelajaran shalat berjamaah hanyalah secuil ajaran islam tentang imamah. Dimanapun tempat, dengan memperhatikan kapabilitas serta kredibilitas, makmumlah yang menentukan siapa yang harus menjadi imam. Tak ada ceritanya imam menyodor-nyodorkan dirinya agar menjadi imam. Pun pula, adalah kelucuan luar biasa jika ada imam berani membayar sejumlah uang hanya supaya ia dijadikan imam. Maka, tugas terberat kiai sesungguhnya melakukan pencerahan kepada masyarakat makmum, agar ketika memilih imam, bukan orientasi materi yang terutama. Namun bagaimana ia dengan rela hati memilih imam dengan benar, sehingga sinergi antara ulama dan umara bisa diterjemahkan sesuai dengan koridor yang telah ditentukan.
Alhasil, kepada kiai kita memang tak henti berharap, ditengah aktifitas mengurusi kehidupan dengan segala pernak-perniknya, sungguh indah jika kiai tetap berposisi sebagai tali tasbih yang merekatkan biji-biji tasbih. Di sela-sela itu, sejengkal harapan yang juga tak kunjung selesai, luangkan waktu untuk menulis dengan bahasa yang bisa dimengerti oleh semua orang. Alangkah sayangnya jika denyut keilmuan pesantren yang berpendar-pendar memenuhi jiwa raga hanya terejawantahkan melalui kefasihan lisan yang menguap begitu saja di angkasa ruang maupun waktu. Bukankah ketika dituangkan dalam risalah, kiai dapat mewariskan sesuatu yang bermakna bagi generasi mendatang sebagai tabungan pahala tak habis-habis?***
*) Em. Syuhada’, Staff pengajar di Lembaga Pendidikan Roudlotun Nasyiin Mojokerto.
KIAI CERET, KIAI GENTONG, ATAUKAH KIAI CINGKIR .....
4/
5
Oleh
Admin
Untuk menyisipkan kode pendek, gunakan <i rel="code"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan <i rel="pre"> ... KODE ... </i>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan <i rel="image"> ... URL GAMBAR ... </i>